Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengurangan hukuman uang pengganti terhadap Surya Darmadi menjadi preseden buruk.
Eksekusi pengembalian kerugian negara banyak yang tidak berjalan.
Kerusakan lingkungan membutuhkan anggaran yang sangat besar.
JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperberat hukuman penjara bagi Surya Darmadi dianggap tidak memiliki relevansi dengan perkara kejahatan lingkungan. Sebab, pada saat yang sama, MA justru mengurangi hukuman uang pengganti, yaitu dari Rp 41,9 triliun menjadi hanya Rp 2,2 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kasus Surya Darmadi ini terjadi di sektor sumber daya alam dan berlangsung selama puluhan tahun,” kata Direktur Hukum Yayasan Auriga, Rony Saputra, Rabu, 20 September 2023. Kejahatan yang dilakukan perusahaan Surya telah menimbulkan kerusakan kawasan hutan. Penambahan jumlah hukuman penjara dari 15 menjadi 16 tahun, kata Rony, tentu tidak bisa memulihkan kerusakan itu. “Justru uang pengganti yang seharusnya ditambah agar bisa digunakan untuk memperbaiki fungsi hutan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1 Agustus 2022, Kejaksaan Agung menetapkan Surya Darmadi sebagai tersangka atas dugaan penyerobotan lahan sawit dengan luas 37.095 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Lahan tersebut digarap tanpa izin oleh Duta Palma Group, perusahaan perkebunan sawit milik Surya alias Apeng, sepanjang 2003-2022.
Kejaksaan menjerat Surya dengan pasal tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 78 triliun. Dalam persidangan pada 6 Februari lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Surya dituntut penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Selain itu, ia diwajibkan membayar uang pengganti Rp 78,8 triliun. Di pengadilan yang sama pada 23 Februari lalu, pengadilan menjatuhi Surya hukuman 15 tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 42 triliun.
Tak terima putusan itu, Surya mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim tinggi pada 13 Juni lalu memberi putusan yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Sementara itu, di tingkat kasasi, pada 14 September lalu, MA memperberat hukuman untuk Surya dari 15 tahun bui menjadi 16 tahun kurungan. Sedangkan jumlah uang pengganti dikurangi hingga Rp 39,8 triliun.
Perkebunan sawit PT Cerenti Subur, Duta Palma Group, di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, 2021. Dok TEMPO
Rony mengatakan, dalam berbagai kasus kejahatan lingkungan, uang pengganti itu sepertinya tidak dianggap penting. Sebab, banyak eksekusi pengembalian kerugian negara yang tidak dijalankan.
Dia mencontohkan, pada 22 Januari 2019, Pengadilan Negeri Meulaboh menerbitkan surat perintah eksekusi terhadap PT Kallista Alam. Perusahaan sawit itu divonis bersalah karena membakar hutan gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Pengadilan mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi ke negara senilai Rp 114,3 miliar dan biaya pemulihan senilai Rp 251,76 miliar.
Namun, kata Rony, sampai kini eksekusi itu tidak pernah terlaksana. Bahkan, ironisnya, perusahaan perkebunan sawit itu masih terus beroperasi. “Padahal tahun lalu pemerintah sudah membentuk tim penilai untuk menghitung aset perusahaan agar bisa dieksekusi,” kata Rony. “Namun sampai sekarang tidak ada eksekusi.”
Kallista hanya satu dari 31 korporasi yang tercatat oleh Rony melakukan kejahatan perdata perusakan lingkungan dalam rentang waktu 2012-2020. Mayoritas bentuknya adalah pembakaran hutan dan lahan, pembabatan hutan, perusakan lingkungan, serta pencemaran lingkungan. “Hampir semua kasus sudah diadili di pengadilan tingkat pertama dan banding. Sebagian lainnya sudah kasasi, peninjauan kembali, bahkan sudah dieksekusi,” ucap Rony.
Dari 31 kasus tersebut, gugatan ganti rugi yang diajukan ke pengadilan mencapai Rp 42,55 triliun. Sedangkan di pengadilan, nilai kerugian negara yang harus dikembalikan secara keseluruhan sebesar Rp 18,83 triliun. Jumlah itu belum termasuk beban biaya pemulihan kerusakan lingkungan yang mencapai Rp 3,2 triliun.
Rata-rata perusahaan dibebani kerugian keuangan negara dan biaya pemulihan mencapai ratusan miliar rupiah. Sayangnya, kata Rony, sampai saat ini nyaris tidak ada korporasi yang membayar uang kompensasi kerugian negara itu. Hanya beberapa perusahaan yang sudah dieksekusi, itu pun dengan nominal tak lebih dari belasan miliar rupiah.
Persoalan juga muncul pada eksekusi jenis kejahatan perdata yang melibatkan korporasi. Berdasarkan data Auriga Nusantara, sepanjang 2015-2019, sebanyak 50 perusahaan dikenai sanksi pidana. Beberapa di antaranya dibebani denda dan pidana tambahan dengan nilai miliaran rupiah. Pengadilan selalu menghukum orang-orang yang terbukti membakar hutan dan lahan. “Tapi soal denda dan pidana tambahan, kami tak tahu sudah sejauh mana eksekusinya,” ucap Rony.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani. Dok. Menlhk
Menurut Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, sepanjang 2015-2023, pihaknya sudah melayangkan gugatan terhadap 22 korporasi yang terseret kasus kebakaran hutan dan lahan. “Sebanyak 22 korporasi tergugat perdata, baik terkait dengan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan maupun tindakan-tindakan tertentu, khususnya pemulihan lahan,” kata Rasio pada 18 Agustus lalu.
Menurut Rasio, dari 22 perusahaan yang diadili, sedikitnya 14 korporasi dinyatakan bersalah dan telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah. Nilai kerugian negara yang dibebankan ke korporasi mencapai Rp 5,6 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak tujuh perusahaan dalam persiapan eksekusi senilai Rp 2,55 triliun dan tujuh korporasi sedang proses eksekusi dengan nilai Rp 3,05 triliun. Satu di antaranya adalah PT Kallista Alam, yang sampai saat ini belum membayarkan denda ke negara.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, tak memungkiri banyak kasus kejahatan lingkungan di sektor pidana dan perdata mangkrak dalam proses eksekusi. Terutama ketika eksekusi pengembalian kerugian negara yang disebabkan oleh kejahatan korporasi. “Saya melihat ini lebih pada kualitas hakimnya yang tidak bernyali dalam proses eksekusi, bahkan cenderung mengabaikan,” ucap Ilhamdi.
Padahal upaya pengembalian kerugian negara merupakan cara paling efektif untuk menciptakan efek jera atas kejahatan korupsi atau kejahatan lain yang dilakukan perusahaan. Sebab, tujuan utama korupsi adalah upaya memperkaya diri. Jadi, paradigma hukuman seharusnya mengedepankan sanksi ekonomi melalui pengembalian kerugian anggaran atau perekonomian negara.
Karena itu, Ilhamdi menilai putusan MA terhadap Surya Darmadi justru menjadi preseden buruk. Dia mendesak Komisi Yudisial menyelidiki dugaan pelanggaran perilaku dan etik hakim agung. Hal ini berkaca pada beberapa hakim di MA yang sebelumnya terjerat kasus suap karena dugaan memberi diskon hukuman kepada pihak-pihak yang beperkara.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo