Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Manuver Anyar PDI Perjuangan

PDI Perjuangan mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tapi tanpa mengubah jadwal pilkada 2024.

24 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PDI Perjuangan mengusulkan revisi Undang-Undang Pemilu tanpa mengubah jadwal pemilihan kepala daerah 2024.

  • Partai Kebangkitan Bangsa mendukung usul PDI Perjuangan, tapi Partai Persatuan Pembangunan menolaknya.

  • Perludem menilai sikap PDI Perjuangan hanya sebatas persoalan kepentingan partai politik.

JAKARTA – PDI Perjuangan membuka peluang mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, syaratnya, revisi tersebut dilakukan tanpa mengubah jadwal pelaksanaan pilkada serentak 2024. "Mari sempurnakan Undang-Undang Pemilu agar pemilihan umum lebih berkualitas," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, Senin lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PDI Perjuangan, sebagai bagian utama dari koalisi pemerintah, sebelumnya berkeras menolak revisi Undang-Undang Pemilu. Sikap partai berlambang kepala banteng itu didukung enam partai lain, yakni Gerindra, Golkar, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Salah satu agenda utama yang mereka kawal adalah pelaksanaan pilkada serentak 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Djarot menjelaskan, revisi Undang-Undang Pemilu yang ia maksudkan adalah memperbaiki sistem penghitungan dan rekapitulasi suara secara elektronik. Menurut dia, merujuk pada Pemilu 2019, banyak petugas penyelenggara pemilu yang kelelahan karena sistem penghitungan suara dan rekapitulasi masih dilakukan secara manual.

Djarot juga menyoroti ambang batas parlemen. PDI Perjuangan mengusulkan kenaikan ambang batas parlemen dari 4 persen menjadi 5 persen untuk Dewan Perwakilan Rakyat, 4 persen untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi, dan 3 persen untuk DPRD kabupaten/kota. Usul ini, kata dia, untuk menjaga jumlah partai politik peserta pemilu. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebutkan perlunya mengevaluasi penentuan alokasi kursi di daerah pemilihan. Intinya, menurut dia, PDI Perjuangan ingin alokasi keterwakilan di daerah pemilihan dikurangi.

PDI Perjuangan juga mengusulkan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Dengan sistem itu, kata Djarot, pemilih hanya akan mencoblos partai politik, tidak lagi mencoblos calon anggota legislatif. Menurut dia, sistem proporsional terbuka menyebabkan banyak calon berlomba-lomba melakukan praktik politik uang, sehingga politik menjadi berbiaya mahal. "Kaderisasi di partai terhambat. Munculnya orang-orang baru karena punya uang, akhirnya mencalonkan diri sebagai caleg," ujar anggota Komisi II DPR bidang pemerintahan ini.

Menurut Djarot, partainya sudah menyampaikan sikap di Komisi Pemilu dan Pemerintahan DPR. Fraksi PDI Perjuangan mengajak fraksi lain merevisi Undang-Undang Pemilu tanpa mengubah jadwal pilkada serentak 2024. "Kami membuka komunikasi dengan partai pendukung pemerintah maupun dari PKS dan Demokrat untuk menyamakan persepsi," kata dia.

Djarot Saiful Hidayat di kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, 2018. Dok Tempo/Fakhri Hermansyah

Partai Kebangkitan Bangsa mendukung PDI Perjuangan. "Dari awal, posisi PKB menginginkan revisi UU Pemilu dan menolak revisi UU Pilkada," kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari PKB, Luqman Hakim, kemarin. Meski begitu, PKB, yang merupakan anggota partai koalisi pemerintah, menyatakan siap bergerak jika pemerintah dan partai koalisi sudah bersedia membahas revisi UU Pemilu.

Luqman menyatakan PKB punya sembilan alasan perlunya merevisi UU Pemilu dengan melihat pelaksanaan Pemilu 2019. Alasan tersebut antara lain banyaknya petugas yang menjadi korban akibat kelelahan, praktik politik uang, kegagalan pemilu memperkuat sistem presidensialisme, serta aturan pemilu yang belum cukup memberikan afirmasi kepada perempuan.

Adapun Partai Persatuan Pembangunan, yang juga anggota koalisi pemerintah, tetap menolak revisi Undang-Undang Pemilu. Sekretaris Jenderal PPP, Arwani Thomafi, mengatakan tak ada problem krusial dan substansial dalam UU Pemilu saat ini. Jika ada problem dalam penyelenggaraan pemilu, kata Arwani, hal tersebut muncul lantaran adanya masalah pada manajemen teknis. Menurut dia, masalah teknis tersebut cukup diperbaiki lewat Peraturan Komisi Pemilihan Umum.

Menurut Arwani, UU Pemilu idealnya diterapkan dua kali pelaksanaan pemilihan umum sebelum dievaluasi. "Dengan begitu, tidak setiap saat akan menggelar pemilu, kita selalu bergantung pada kebutuhan harus mengubah undang-undangnya," kata dia, kemarin.

Sekretaris Fraksi PPP, Achmad Baidowi, menyatakan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada merupakan konsekuensi atas putusan Mahkamah Konstitusi. "Jika tidak direvisi, ya, tidak direvisi semuanya," ujarnya, kemarin. Dia mengatakan UU Pemilu dan Pilkada harus dievaluasi secara komprehensif sebagai satu kesatuan aturan pelaksanaan pemilihan umum. Karena itu, Baidowi mengusulkan revisi kedua undang-undang tersebut dilakukan setelah pemilihan serentak pada 2024.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan hingga saat ini partainya masih mendukung revisi Undang-Undang Pemilu. Salah satu isu utama yang mereka kejar adalah mengembalikan jadwal pilkada 2022 dan 2023. Mardani tak heran akan sikap PDI Perjuangan yang mengincar revisi Undang-Undang Pemilu, tapi tetap menjaga pilkada serentak 2024. "Mereka konsisten, termasuk soal sistem pemilu proporsional tertutup," kata dia, kemarin.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan sikap PDI Perjuangan menggambarkan tujuan revisi Undang-Undang Pemilu akhirnya hanya sebatas persoalan kepentingan partai politik. "Itu bukan karena ingin meningkatkan kualitas pemilihan dan menjawab problem pemilu terdahulu," ucapnya ketika dihubungi, kemarin.

Lembaga pemantau pemilu ini menyatakan revisi Undang-Undang Pemilu seharusnya berangkat dari semangat mewujudkan proses dan hasil pemilu yang demokratis. Harapannya, pejabat yang terpilih dari sistem demokrasi yang benar mampu mengemban mandat rakyat. "Pernyataan tak ada tawar-menawar terhadap jadwal pilkada menggambarkan ada kepentingan kekuasaan yang sangat dominan," kata Titi.

BUDIARTI UTAMI PUTRI | INDRA WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus