Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalur Cepat Vaksin Terawan

Terawan Agus Putranto mempromosikan vaksin Nusantara ke sejumlah pejabat. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tak bulat mendukung rencana penelitian vaksin berbasis sel dendritik tersebut. Terawan diduga mencantumkan nama peneliti tanpa izin.

6 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah pejabat mempertanyakan pengembangan vaksin Nusantara yang didorong Terawan Agus Putranto.

  • Metode dendritik dalam vaksin Nusantara dibawa oleh mantan staf Terawan, Taruna Ikrar.

  • Sejumlah peneliti merasa nama mereka dicatut dalam daftar tim peneliti vaksin Nusantara.

HAMPIR tiga bulan lengser sebagai Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto menghadiri rapat pembahasan vaksin produksi dalam negeri yang digelar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dalam rapat yang digelar secara daring dan luring tersebut, Terawan memaparkan perkembangan vaksin Nusantara. “Beliau memang menjelaskan soal vaksin Nusantara,” ujar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri kepada Tempo pada Jumat, 5 Maret lalu.

Firli hadir dalam pertemuan yang dipimpin oleh Ketua KPC-PEN sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, itu. Hadir juga Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro dan peneliti vaksin Nusantara dari Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi, Semarang. Menurut Firli, tim peneliti vaksin Nusantara juga memaparkan hasil kajian sementara.

Vaksin Nusantara menggunakan metode berbasis sel dendritik—bagian dari sistem imun bawaan yang berpatroli di dalam tubuh untuk mendeteksi penyusup, seperti bakteri atau virus, dan melahapnya. Metode ini dikembangkan oleh perusahaan asal Irvine, California, Amerika Serikat, Aivita Biomedical Inc. Aivita memberikan lisensi kepada PT Rama Emerald Multi Sukses, perusahaan asal Surabaya, untuk mengembangkan penelitian vaksin dendritik di Indonesia. Penelitian ini juga melibatkan Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, RSUP dr. Kariadi, dan Universitas Diponegoro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Audiensi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Hans S. Keirstead (kiri) dari Aivita Biomedical Inc, di Jakarta, Oktober 2020. Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang pejabat setingkat menteri yang hadir dalam pertemuan itu bercerita, para peserta rapat lebih banyak bertanya mengenai vaksin Nusantara. Sebab, nama vaksin Nusantara belum cukup dikenal. Mereka lebih mengenal vaksin Merah-Putih yang sedang dikembangkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, PT Bio Farma, dan PT Kalbe Farma. Vaksin Merah-Putih masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Masih ada tahap pengembangan bibit vaksin, uji praklinis, dan uji klinis.

Adapun vaksin Nusantara dilaporkan sudah menjalani uji klinis tahap pertama pada 23 Desember 2020 hingga 6 Januari lalu dengan melibatkan 27 relawan. Sebagian peserta rapat menanyakan prosedur serta izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Menteri Riset Bambang Brodjonegoro mengatakan rapat itu memang menjadi perkenalan vaksin Nusantara. “Sebelum rapat itu, kami belum mendapat informasi lengkap, hanya sepotong-potong,” tutur Bambang kepada Tempo.

Menurut Bambang, salah satu kesepakatan rapat berdurasi 2,5 jam itu adalah vaksin Nusantara bisa masuk ke dalam konsorsium vaksin Nusantara. Syaratnya, pihak yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan vaksin itu mengajukan permohonan resmi ke Tim Nasional Percepatan Pengembangan Vaksin Covid-19. “Agar jelas latar belakang serta pihak-pihak yang terlibat,” ucap Bambang.

Terawan belum bisa dimintai tanggapan. Pesan, panggilan telepon, dan surat permohonan wawancara dari Tempo tak dijawabnya hingga Sabtu, 6 Maret lalu. Peneliti vaksin Nusantara, Yetty Movieta Nency, enggan menanggapi pertanyaan soal rapat tersebut. “Kami belum bisa memberikan informasi karena sedang fokus penelitian,” ujarnya ketika dihubungi, Jumat, 5 Maret lalu.

 

•••

NAMA vaksin Nusantara muncul setelah Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi, Semarang, pada Selasa, 16 Februari lalu. Ketika itu, Terawan Agus Putranto yang menemani anggota Dewan menyebutkan vaksin Nusantara merupakan revolusi vaksin karena menggunakan metode sel dendritik. “Di kemudian hari bisa diproduksi massal sampai 10 juta per bulan,” ujar Terawan, mengklaim. Ia optimistis jumlah itu akan membuat Indonesia mandiri dalam memproduksi vaksin Covid-19.

Wakil Ketua Komisi Kesehatan DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan dia sempat berbincang dengan Terawan soal pengadaan vaksin tersebut. Kepada politikus Partai Golkar itu, Terawan mengaku mulai mencari vaksin Covid-19 sejak Agustus 2020. Kala itu, dia diperintahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo untuk memburu vaksin yang bisa digunakan di Tanah Air. Menurut Melkiades, Terawan juga ingin vaksin bisa diteliti dan diproduksi di dalam negeri. Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan lembaganya sudah lama mempersiapkan vaksin Nusantara.

Seorang peneliti yang mengetahui proses pengadaan vaksin Nusantara bercerita, Terawan mulai mengenal metode sel dendritik pada pertengahan 2020. Kala itu, metode dendritik dibawa oleh Taruna Ikrar, salah satu anggota staf ahli Terawan saat dia menjabat Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Kepada Tempo, Taruna mengaku membawa metode itu dibawa dari Aivita Biomedical ke Indonesia. “Tapi Pak Terawan yang berada di depan sehingga semua prosesnya bisa berjalan,” ucap Taruna di kantornya, Rabu, 3 Maret lalu.

Dia juga mengaku mengenal pemilik Aivita Biomedical, Hans S. Keirstead, sejak 2004. Pada 2017, Taruna yang bermukim di California, Amerika Serikat, bergabung sebagai peneliti di Aivita Biomedical. Ia mendalami penggunaan sel dendritik yang memicu antibodi pada tubuh manusia dan biasa digunakan untuk penderita kanker. Saat pandemi melanda Indonesia pada Maret 2020, Taruna yang sedang berada di Amerika Serikat berdiskusi dengan Keirstead mengenai kemungkinan membuat vaksin Covid-19 dengan sel dendritik.

Cara kerja sistem dendritik berbeda dengan vaksin-vaksin corona lain yang dikembangkan berbagai perusahaan farmasi di dunia. Sistem ini mengambil darah dari tubuh pasien, lalu memisahkan sel dendritik dari sel darah putih. Sel dendritik kemudian dipertemukan dengan antigen virus corona dan diinkubasi selama tiga-tujuh hari. Setelah itu, sel tersebut diinjeksi kembali ke dalam tubuh manusia.

Menurut Taruna, Aivita pun sedang mengembangkan penelitian tersebut. Tapi perusahaan yang berdiri pada 2016 itu awalnya enggan membuka pintu bagi Indonesia untuk mengadakan penelitian bersama. “Belakangan mereka mau karena tertarik dengan masalah kehalalan,” ujar Taruna yang sejak Agustus 2020 menjabat Ketua Konsil Kedokteran. Dalam surat yang diteken oleh Keirstead pada Juli 2020 lalu, Taruna ditunjuk untuk mengelola investigasi klinis dari Aivita Biomedical di Indonesia. Ia bertugas mengawasi penelitian vaksin, mendapatkan investor untuk penelitian, hingga membuat program kemitraan untuk vaksinasi di Indonesia.

Ahli biologi molekuler John Curtin School of Medical Research and Australian National University di Canberra, Ines Atmosukarto, juga pernah mempertanyakan pendekatan sel dendritik untuk pengembangan vaksin Covid-19. Menurut dia, dalam pengobatan belum ada bukti penggunaan sel dendritik dalam vaksin bisa memicu produksi antibodi. Ines juga menengarai vaksin Nusantara berbiaya mahal karena membutuhkan laboratorium khusus.

Seorang peneliti yang mengetahui proses vaksin Nusantara bercerita, para pejabat di Kementerian Kesehatan tak bulat menyepakati penelitian vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah efektivitas vaksin dan minimnya penjelasan ilmiah mengenai pendekatan sel dendritik. Namun Terawan memutuskan sistem dendritik tetap diteliti di Indonesia.

Peneliti yang sama mengatakan, sejak teknologi itu dibawa ke Indonesia, Terawan pun memperkenalkannya ke Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri kabinet. Terawan, ujar peneliti ini, pernah menjelaskan penelitian vaksin berbasis sel dendritik kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Sedangkan Taruna pernah dipanggil oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut peneliti tersebut, ketika itu Luhut menanyakan kemungkinan vaksin Nusantara masuk daftar vaksin lokal.

Taruna irit bicara ketika ditanyai mengenai pertemuannya dengan Luhut. “Yang jelas pemerintah sangat mendukung vaksin buatan dalam negeri ini,” katanya. Juru bicara Kementerian Kemaritiman, Jodi Mahardi, mengatakan bosnya selalu mendukung karya dalam negeri. Ihwal pertemuan antara Luhut dan Taruna, Jodi menyatakan tidak tahu-menahu. “Saya tidak mendampingi,” ujarnya.

Airlangga belum bisa dimintai konfirmasi. Pesan dan panggilan telepon dari Tempo tak berbalas. Adapun juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, belum mengetahui adanya pertemuan antara Presiden dan Terawan yang membahas gagasan awal vaksin Nusantara. “Saya belum mendapat konfirmasi terkait dengan hal tersebut,” ucapnya.

Audiensi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan Hans S. Keirstead (kiri) dari Aivita Biomedical Inc di Jakarta, Oktober 2020. Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Pengembangan vaksin tak sepenuhnya berjalan mulus. Empat pejabat yang mengetahui proses penelitian ini menyebutkan Terawan sempat kesal dengan Badan Penelitian dan Pengembangan  Kesehatan Kementerian Kesehatan. Sebabnya, Balitbangkes tak segera memulai penelitian vaksin Nusantara. Ini membuat Terawan merombak sejumlah pejabat di Balitbangkes. Namun juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menampik kabar itu. “Enggak ada itu,” tuturnya.

Permasalahan juga muncul setelah Terawan mengeluarkan dua keputusan tentang Tim Penelitian Uji Klinis Vaksin Sel Dendritik Sars-Cov-2. Dua warkat yang dikeluarkan pada  16 November 2020 dan 18 Desember 2020 berisi nama-nama peneliti dari sejumlah universitas dan rumah sakit. Salah satu universitas yang tercantum dalam keputusan menteri yang diteken oleh Terawan pada 18 Desember 2020 tersebut adalah Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Dekan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Ova Emilia mengatakan kekagetannya karena fakultas dan nama sejumlah dosen dicantumkan dalam tim tersebut. “Kami sudah mengajukan protes secara resmi, karena sejak awal tidak terlibat dalam rapat ataupun penelitian,” ucapnya. Menurut Ova, Terawan pernah menghubunginya sebelum mengeluarkan surat keputusan. Saat itu, Terawan meminta nama peneliti untuk mendukung rencana pemerintah membuat vaksin. Namun, menurut Ova, permintaan itu tidak disertai surat resmi dan penjelasan vaksin yang akan dibuat.

Kini, vaksin Nusantara sedang menunggu izin uji klinis tahap II dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Rencananya, akan ada 180 relawan yang akan mengikuti uji klinis. Anggota Komite Nasional Penilai Obat dari UGM, Jarir At Thabari, meminta penelitian vaksin Nusantara sesuai dengan aturan sebelum diedarkan ke publik. Ia pun meminta para pengembang vaksin menjelaskan tujuan penelitian untuk menangani pandemi atau bersifat umum. “Pertimbangannya, vaksin Nusantara menggunakan sampel darah pasien,” kata Jarir, yang namanya juga dicatut dalam tim peneliti yang diteken oleh Terawan.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEVY ERNIS, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), JAMAL ABDUL NASHR (SEMARANG), AHMAD RAFIQ (SOLO)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus