Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masih diintai bencana

Sebagian penduduk penanggal, lumajang, yang kena bencana banjir bandang dari lereng g. semeru tak mau ditransmigrasikan. tetap bertahan di kawasan tersebut walaupun daerah itu area bahaya. (dh)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR bandang di lereng Gunung Semeru, Jawa Timur, medio Mei lalu, selain menewaskan 257 penduduk di sekitarnya, malah memancing kedatangan pelancong domestik. "Menyaksikan bencana alam ternyata merupakan obyek wisata yang menarik," kata Menko Kesra Soerono. Minggu 24 Mei lalu, Soerono berkunjung ke dukuh Sumbersari -- salah satu di antara 7 pedukuhan yang terparah menderita amukan alam di Desa Penanggal di Kecamatan Candipuro. Pamong desa setempat ternyata berhasil memanfaatkan kedatangan para pelancong yang rupanya menganggap tempat bencana itu sebagai tempat bersantai. Ketika Soerono ke sana malah Seksi Logistik Posko Penanggal yang dikoordinasi Camat Candipuro, Mansur, mengaut sumbangan dari para pengunjung. Uang itu kemudian disalurkan untuk 1.446 pengungsi yang bertebar di berbagai pelosok di kecamatan tersebut. Sisanya dibagikan kepada penduduk di 5 desa lain yang juga ditimpa bencana. Uang sumbangan itu juga dipakai untuk biaya penguburan 114 jenazah, kenduri, membuat 3 barak tempat penampungan 300 pengungsi serta membeli alat-alat dapur. Desa Penanggal dihuni 7.025 penduduk. Ketika bencana, terjadi, 76 jiwa tewas. Setelah kejadian itu ada 66 orang yang ditransmigrasikan ke Sekayu, Sumatera Selatan. Mereka memang tak mau lagi bertahan di kawasan Semeru itu setelah mengetahui bahwa daerah tersebut merupakan "area bahaya utama". Menurut catatan petugas Proyek Semeru-Penanggal, radius yang amat berbahaya itu meliputi 271 km persegi. Bila Semeru meletus lagi, kemungkinan besar alur lahar Besuk Sat- Kali Mujur, siap melepas endapan lumpur 20 juta m3 longsoran 3 anak gunung di desa itu ditambah 3,3 juta m3 lahar panas. Seorang pejabat di Lumajang mengatakan, sebenarnya kawasan Penanggal bukan daerah pemukiman. Tapi penduduk bersikeras tinggal di situ. Lurahnya, Slamet Siswanto, 50 tahun, mengatakan, penduduk Penanggal umumnya terdiri pendatang dari Solo, Yogya, Kediri, Tulungagung, Ponorogo dan Madura. Kini desa yang luasnya 1.164 hektar itu berantakan. Selain itu, tidak kurang dari 300 hektar sawah sedang diancam kekeringan karena saluran irigasinya tertimbun lumpur. Luas sawah di sini seluruhnya 707 hektar. Menurut Bupati Lumajang, Suwandi, sewaktu-waktu banjir bandang siap mengancam daerahnya. Dulu pembenahan terutama ditujukan pada alur Kali Glidik dan Rejali. Kini perhatian khusus terpaksa ditujukan ke alur lahar Kali Mujur di sebelah timur. Menurut Pak Bupati itu, setelah bungkam selama 70 tahun, tiba-tiba alur ini memperlihatkan ancaman ganas -- di antaranya menjadi penyebab kejadian pada Mei lalu itu. Selain lahar-lahar yang sudah mengalir, di situ kini masih tersimpan material longsoran 3 anak gunung (Batok, Leker dan Papak) berkisar 20 juta meter kubik lagi. "Yang sudah longsor dalam kejadian baru-baru ini hanya 10 juta meter kubik," kata Suwandi. Alur tersebut juga bakal mengancam Kota Lumajang, ibukota kabupaten yang jaraknya 32 km dari Desa Penanggal. Jika tanggul Leces dan Kertosari tak segera diperbaiki, keadaan memang cukup gawat. Sebab pada kejadian yang lalu itu-banjir bandang ternyata tak selalu melewati alur yang telah ada. Bertolak Belakang Dari pengalaman itu Bupati Suwandi sedang berusaha memindahkan penduduk ke daerah yang lebih aman. Masih di Penanggal, tempat pemukiman baru itu sebenarnya sudah disiapkan. Hanya menunggu persetujuan pihak Perhutani saja. Pilihan lokasi ini sebenarnya bertolak belakang dengan yang telah disarankan dan direkomendasikan Tim Vulkanologi dari Bandung yang pernah melakukan survei ke sana. Tim menunjuk lokasinya di kawasan belakang Gunung Sawur. Tapi penduduk keberatan tinggal di sana. "Mereka tak ingin beranjak jauh dari desa asal mereka," tutur Widjimoeljo, Kepala Dinas PU Kabupaten Lumajang. Meski sudah diperingatkan bakal ada bahaya mendadak berikutnya, penduduk Penanggal justru yang masih tersisa tetap bertahan. Kepada mereka juga ditawarkan agar bertransmigrasi. Mereka menolak, dengan alasan, "daripada bertransmigrasi bakal mati digigit nyamuk banjir lahar 'kan tidak setiap tahun terjadi." Akhirnya lokasi terpaksa dipertahankan, tetap di tempat masing-masing. "Yang sudah dipilih itu adalah lokasi yang teraman dibanding dengan semua tempat yang berbahaya," kata Suwandi. Lurah Penanggal, Slamet Siswanto menutup cerita: "Mungkin karena kesuburan Penanggal yang membuat penduduk tak mau beranjak dari desa ini. Mereka tetap nekat menghadapi ancaman bencana. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus