Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUGROHO, 44 tahun, tak beragama Islam. Warga Desa Wirobrajan, Kota Yogyakarta, ini sejatinya sejak kecil menganut Sumarah, salah satu kepercayaan yang berpasrah kepada Tuhan. Nugroho adalah cucu Raden Ngabehi Soekino Hartono, yang mendirikan Sumarah pada 1935.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi lebih dari seperempat abad Nugroho menyimpan kartu tanda penduduk dengan kolom agama bertulisan "Islam". Nugroho mengatakan ia menyematkan "Islam" di kolom agama untuk memudahkan pengurusan tetek-bengek administrasi birokrasi. Lagi pula dia tak pernah melihat "kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa" dalam daftar pilihan agama kala membuat KTP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditambah aliran kepercayaan seperti Sumarah kerap dianggap tak bertuhan alias ateis. "Jadi saya pilih Islam supaya praktis saja," katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu. Istri dan keluarga Nugroho melakukan hal yang sama. Meski demikian, Nugroho sebenarnya rindu menanggalkan "Islam" dari KTP-nya dan mengganti dengan apa yang dipercayainya.
Peluang itu datang setelah Mahkamah Konstitusi pada November 2017 menganulir Pasal 61 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Mahkamah juga membatalkan Pasal 64 ayat 1 dan 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Isi ayat itu adalah kolom agama untuk penduduk yang agamanya belum diakui atau penghayat kepercayaan tak diisi, tapi tetap dilayani dan dicatat dalam basis data kependudukan.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, penghayat kepercayaan berhak mencantumkan kepercayaan mereka di identitas kependudukan, seperti KTP dan kartu keluarga. Maka, awal Februari lalu, Nugroho pun pergi ke Kecamatan Wirobrajan untuk membuat KTP elektronik. Tapi hasilnya mengecewakan. Kolom agamanya hanya berisi tanda setrip atau garis. "Ini bukan kesetaraan. Kalau setara, yang beragama juga harus dikosongkan," ujar Nugroho.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Sumarah Yogyakarta, Kuswijoyo Mulyo, mengatakan masih ada penganut Sumarah-jumlahnya sekitar 250 orang yang tersebar di seluruh Yogyakarta-yang dianggap sebagai aliran tidak jelas ketika mengurus KTP. "Masih ada yang dicap ateis dan PKI," katanya. Menurut Kuswijoyo, sebagian anak-anak pengikut Sumarah juga masih mengalami diskriminasi di sekolahnya. Misalnya, guru agama kerap ragu terhadap keimanan mereka.
Diskriminasi serupa dialami Dedi Kurnadi, 31 tahun, penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Setelah menikah pada September 2017, warga Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, itu mengurus KTP karena statusnya berubah. Dia sempat mendapat surat keterangan sementara pengganti KTP. Tertulis dalam keterangan agama: "kepercayaan". Awal April lalu, enam bulan setelah putusan Mahkamah Konstitusi, KTP elektroniknya terbit. Kata "kepercayaan" hilang dan berganti menjadi tanda setrip. "Seolah-olah saya ini ateis. Padahal saya juga punya tuntutan hidup," ujar Dedi.
Kekecewaannya yang lain, ia juga tak bisa memiliki akta perkawinan karena pernikahannya diselenggarakan secara adat. Kini Dedi khawatir anaknya kelak tidak bisa mendapatkan akta kelahiran karena ia tak bisa menunjukkan akta perkawinan. Persoalan ini juga sudah cukup lama dialami Dewi Kanti, Girang Pangampi Sunda Wiwitan. Menikah sejak 2002 dan punya dua anak, Dewi hingga kini tak bisa mendapatkan akta perkawinan. Anak-anaknya pun tak memiliki akta kelahiran. "Kami masih menjadi warga negara kelas dua," kata Dewi.
Diskriminasi dalam administrasi kependudukan ini sebenarnya sudah lama terjadi. Nur Kholis, 28 tahun, penganut Syiah asal Sampang, Madura, Jawa Timur, mengaku pernah kesulitan membuat identitas diri. Salah satu sebabnya, sejumlah kepala desa di kampungnya membuat kesepakatan dengan ulama dan tokoh masyarakat penolak Syiah agar pengikut Syiah tak dilayani saat mengurus administrasi kependudukan.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mohammad Choirul Anam, mengatakan lembaganya kerap menemukan kejadian seperti yang dialami penganut Sumarah, Sunda Wiwitan, dan agama minoritas lain setelah putusan Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, tidak masuknya "aliran kepercayaan" ke kolom agama menunjukkan negara belum mengakui penuh keyakinan tersebut. "Pemerintah masih setengah hati menjalankan putusan MK," ucapnya.
Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrulloh, membantah anggapan bahwa pemerintah membiarkan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan. Rencananya, kata Zudan, pencantuman "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa" dalam kolom agama diberlakukan setelah pemilihan kepala daerah serentak bulan ini. Kementerian Dalam Negeri perlu mengubah aplikasi sistem informasi administrasi kependudukan serta format KTP elektronik dan kartu keluarga, lalu mensosialisasi kebijakan itu ke 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. "Kami sangat serius mempersiapkan ini," ujarnya.
Kementerian menyiapkan dua format KTP elektronik. Pertama untuk pemeluk agama yang diakui pemerintah dan kedua untuk penghayat kepercayaan. Perbedaannya, kolom agama di KTP penghayat kepercayaan ditulis "kepercayaan". Ini berarti nantinya tak ada lagi tanda setrip di kolom agama. Menurut Zudan, penggunaan dua format tersebut merupakan hasil konsultasi pemerintah dengan berbagai organisasi keagamaan. Sedangkan soal akta perkawinan, Zudan mengatakan semua penghayat kepercayaan berhak mendapatkannya sepanjang dinikahkan oleh pemuka kepercayaannya.
Rencana pemerintah menerbitkan dua jenis KTP tersebut dikritik oleh para penghayat kepercayaan. Engkus Ruswana, anggota Presidium Majelis Luhur Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Indonesia, perhimpunan berbagai organisasi penghayat kepercayaan, mengatakan para penghayat kepercayaan tidak meminta nama organisasi mereka yang beraneka ragam dikategorikan sebagai agama dalam KTP. Tapi dua jenis KTP itu justru menunjukkan diskriminasi oleh pemerintah. "Kalau mau setara, seharusnya hanya ada satu KTP untuk semua orang dari semua agama dan kepercayaan," kata Engkus.
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, diskriminasi masih terjadi tidak hanya untuk administrasi kependudukan. Peneliti Setara Institute, Halili, mencatat masih ada penghayat kepercayaan yang kesulitan menjadi pegawai negeri ataupun anggota Tentara Nasional Indonesia dan polisi. Kalaupun ada yang menjadi pegawai pemerintah, menurut Halili, hampir pasti orang itu sudah mengubah agama aslinya menjadi salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah. "Untuk melayani negara, mereka pun tidak bisa sepenuhnya menjadi diri sendiri," ujar Halili.
Pramono, Raymundus Rikang (Jakarta), Shinta Maharani (Yogyakarta), Nur Hadi (Sidoarjo)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo