MENTERI Agama membeberkan oleh-oleh kunjungannya ke Vatikan. Dan
muncullah kembali masalah yang sebenarnya memang simpanan lama.
Bahkan sampai 28 Desember, Mengeri masih memberi jawaban sekitar
hal yang menjadi kontroversial itu.
Oleh-oleh Mukti Ali tersebut, seperti dinyatakan kepada pers
sehabis bertemu dengan Presiden di Cendana, menyangkut usul
Delegasi RI agar, pertama, murid yang beragama Islam di sekolah
Katolik diberi kebebasan memperoleh pelajaran agama Islam. Kedua
agar rumah ibadah Islam tidak dibangun di lingkungan Katolik,
dan sebaliknya. Dan ketiga agar dijaga pemberian bantuan dari
kalangan Katorik luar negeri ke Indonesia tidak menimbulkan
kesan kristenisasi.
Menteri menyatakan, Vatikan sudah menyetujui hal itu (usul-usul
Delegasi RI yang dituangkan dalam kertas kerja Mukti Ali dan
dibacakan dalam pertemuan) dan akan mengirim surat kepada
pimpinan Gereja Katolik di Indonesia.
Dan MAWI terkejut. MAWI, Majelis Agung Waligereja Indonesia yang
mengkoordinir kebijaksanaan nasional keuskupan di seluruh tanah
air, heran mengapa mereka tidak menerima surat dari Vatikan itu.
Dan setelah akhirnya mereka terima, surat itu bahkan menyatakan
pembicaraan di Vatikan sebenarnya tidak untuk menghasilkan
keputusan bersama. "Hanya dimaksud sebagai sebuah dialog," kata
Mgr. Leo Sukoto S.J., Sekretaris Jenderal MAWI dan Uskup Agung
Jakarta. Lebih dari itu, menurut MAWI, Vatikan bahkan
menyerahkan masalah sekolah itu kepada para uskup Indonesia. Dan
sementara masalah ruinah ibadat hanya disinggung pihak Indonesia
dan tidak dirundingkan, dalam masalah bantuan Vatikan
menunjukkan betapa kompleks persoalannya.
Kedua: "keuskupan-keuskupan di Indonesia memang sudah berdiri
sendiri, dan bukan lagi merupakan propinsi Misi," kata Sekjen.
Bahkan sesudah Konsili Vatikan ke-II 1965 (yang dinilai sebagal
menunjukkan sikap lebih ramah kepada agama-agama non-Kristen)
justru sangat ditonjolkan kedudukan Gereja setempat yakni
keuskupan masing-masing wilayah, dalam soal-soal non-dogmatik.
Sehirlgga kalaupun masalah Indonesia mau diputusi di Vatikan
sudah tentu MAWI akan diajak serta.
Dan ketiga, semua Sekretariat dari Tahta Suci, termasuk
Sekretariat Untuk Agama-agama non-Kristen, tidak pernah
memutuskan sesuatu. Keputusan hanya di tangan Paus.
"Trauma Kerukunan"
Mungkinkah telah terjadi "kesalahan penafsiran"? Mukti Ali
sendiri menyatakan, ia datang ke sana atas undangan Sekretariat
Non-Kristen itu - bersama Dirjen Katolik Ign. Djokomulyono Kuasa
Usaha RI di Vatikan, Kepala Penerangan Kedutaan Besar RI di
Roma, antara lain. Dalam pertemuan :bersama Dutabesar sehari
setelah dialog, semua hasil pembicaraan dilaporkan kepada
Menteri - dan isi laporan itulah yang kemudian disampaikan
kepada Presiden. Hanya Mukti Ali memang tidak melihat tindasan
surat Vatikan kepada MAWI itu. Orang mungkin bertanya: tidak
terjadikah satu-dua "kekhilafan" dalam proses itu?
Ataukah Menteri, atau rombongan, salah tangkap: Vatikan
mengatakan:
"Ya, itu bagus sekali, nanti kami mengirim surat kepada pimpinan
Gereia di negeri Tuan" (dengan keyakinan bahwa Menteri tentunya
sudah tahu bahwa keputusan toh nantinya di 'sana')? Ataukah
Mukti Ali begitu dibebani "trauma kerukunan agama", sehingga
menyatakan dengan pasti sesuatu yang sudahatau belum begitu
pasti? Tidak ada keterangan tentu saja - juga tidak dari Dirjen
Katolik, yang menyatakan kepada TEMPO "sudah cukup dari Pak
Menteri dan Pak Leo Sukoto saja."
Menteri hanya mengingatkan akan dilakukannya pertukaran
memorandum antara RI dan Vatikan mengenai hasil hasil dialog,
secepatnya. Tetapi, katanya, tidak mustahil adanya kemungkinan
penafsiran yang berbeda atas hasil-hasil tersebut. Itu misalnya
pernah terjadi dengan dialog Vatikan-Libya 1976.
Soal-soal yang dibicarakan itu memang penting. "Mungkin
Presidium MAWI akan membahasnya dalam rapatnya yang terdekat,
awal Pebruari mendatang," kata Sekjen kepada George Y.
Adicondrodari TEMPO. Tentang pendidikan misalnya. Dalam
wawancara pers seusai sidang MAWI yang lalu, Leo Sukoto
menyatakan keberatan Gereja untuk memberikan pelajaran agama
bukan-Katolik di sekolah Katolik. Dapat difaham: ini sekolah
swasta, seperti juga sekolah Islam atau Taman Siswa misalnya,
yang masing-masing punya "ideologi".
'Public School'
Mukti Ali mungkin melihat kenyataan bahwa yang masuk sekolah
Katolik itu sebagian (besar) adalah anak-anak Islam
juga--sementara di sekolah Islam tidak terjadi kebalikannya -
sedang mereka itu diwajibkan mengikuti pelajaran agama Katolik
(kewajiban mengikuti ibadat sudah dihapuskan).
Meski begitu sekolah Katolik toh tidak menutup kemungkinan
murid-murid Islam mencari guru agama sendiri dan menggunakan
ruang kelas sekolah, asal itu bersifat ekstra-kurikuler --
seperti pendidikan pramuka - dan "bisa dibicarakan antara
sekolah dan guru yang bersangkutan," kata Leo Sukoto. Maka bila
'kebebasan untuk mendapat pelajaran agama Islam' yang dimaksud
Menteri Agama hanya terbatas pada arti itu, dan bukan permintaan
kepada sekolah Katolik untuk memberi pelajaran agama Islam,
tidakkah sebenarnya keduanya paralel saja?
Toh sikap formil Gereja Katolik ini, bisa menemui sedikit
perbedaan di kalangan perseorangan. Romo Danuwinata S.Y.
misalnya, Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, bulan
Oktober 1973 menyatakan kepada TEMPO: tidak berkeberatan
terhadap pengajaran agama Islam di sekolah Katolik.
Dan sebagai bandingan dari kalangan Protestan: Dr. Latuihamallo,
salah-seorang Ketua BPH-DGI. Alasan yang terakhir ini: sekolah
yang diasuh yayasan pendidikan Kristen sifatnya adalah public
school, bukan sekolah agama seperti madrasah. Hanya sebaliknya
Latui (puteranya sendiri, seorang murid di Cikini, disuruhnya
mengikuti pelajaran agama Islam) juga ingin tahu apakah public
school Islam dapat memberikan pelajaran agama Kristen bagi
anak-anak Kristen, kalau ada. Bagaimana?
Bisa ditikirkan tentunya, kalau memang dirasa perlu difikirkan.
Siapa tanu dalam dialog para pemuka Islam Indonesia dengan
Vatikan yang akan dilaksanakan di sana bulan Oktober mendatang
atau barangkali juga tahun depan bila Sergio Kardinal Pignedoli
Ketua Sekretariat Non-Kristen Vatikan - berkunjung ke sini.
Dalam dialog itu juga akan diminta hadir para tokoh MAWI.
Orang mengingat Musyawarah Antar Agama 1977. Dan orang melihat
10 tahun kemudian. Sambil mengingat berbagai dialog antar agama
yang sudah diselenggarakan, masalah sekitar penyiaran agama toh
masih yang itu-itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini