Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-hari belakangan ini Resimen Mahasiswa memang sedang sibuk.
Mulai 6 Pebruari sampai 7 April sejumlah 60 anggota Menwa
digodok di Komando Pendidikan 11, Pangalengan, Bandung. Juni
nanti mereka akan diberangkatkan ke Timur Tengah, menggantikan
30 orang rekan mereka yang bertugas di sana sebagai anggota
pasukan perdamaian PBB.
April ini pula diberangkatkan satu Satuan Tugas Menwa
beranggotakan 70 lebih ke Timor Timur, setelah beberapa minggu
dilatih di Jakarta. Dan Rapat Kerja Menwa seluruh Indonesia
keempat dilaksanakan di Cisarua, Bogor, 5-9 April lalu.
Tidak itu saja dalam Raker Menwa itu pula ada pidato pengarahan
dari Wapangab/Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Kata Sudomo, Menwa
akan diikutsertakan dalam operasi tertib - baik di pusat maupun
daerah. Lho, mau dibawa ke mana Menwa?
"Menwa memang ada dalam 3 dimensi," kata Kepala Puscadnas (Pusat
Cadangan Nasional) Mayjen Henuhili di kantornya. Diuraikannya
lebih lanjut, dalam perguruan tinggi dia memang sebagai
mahasiswa, dalam soal pertahanan dan keamanan dia adalah resimen
mahasiswa dan dalam masyarakat luas dia adalah anggota
masyarakat juga. Karena itulah, tugas apa pun yang menyangkut
satu atau lebih dari dimensi itu, bukan merupakan sesuatu yang
aneh atau menyimpang.
Tapi kemudian menimbulkan pertanyaan: Lalu apakah beda antara
mahasiswa anggota Menwa dan yang bukan? Ternyata memang ada
bedanya. "Anggota Menwa terikat pada postur, " jawab Henuhili.
Dan postur atau identitas atau kode etik Menwa itu ada lima bab.
Postur itu pula yang akan membedakan tanggungjawab anggota
Menwa dan yang mahasiswa biasa. Bab kelima postur itu antara
lain berbunyi " . . . mengutamakan kepentingan nasional di atas
kepentingan pribadi maupun golongan."
Lalu apakah ada sanksinya kalau anggota Menwa menyalahi postur
itu tadi? Eelum jelas benar. Yang jelas, menurut Henuhili,
sejak pembentukan Menwa empat tahun yang lalu sudah disepakati
kalau kepentingan akademis mahasiswa dijadikan pertimbangan
utama. Karena itulah agaknya, seorang anggota Menwa dari ITB
yang hendak berangkat ke Timur Tengah bisa ditarik kembali.
Mahasiswa itu oleh ITB dipersilakan merampungkan skripsinya --
yang memang aktuil -- ialah tentang kawah Sinila di Dieng. Ini
sesuai dengan pernyataan Mahar kepada TEMPO beberapa waktu lalu
bahwa Menwa pertama-tama adalah mahasiswa dan di kampus
'sayalah yang berkuasa."
Tapi, kalau begitu, lalu apa perlunya dibentuk Menwa? Mayjen
Henuhili bercerita. Katanya, kita musti melihat ke belakang, ke
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Inti cerita itu: perjuangan
Indonesia berhasil karena ada keikutsertaan pelajar, mahasiswa
dan pemuda. Nah, Menwa adalah salah satu usaha mewujudkan itu
secara formil.
Juga diingatkan Henuhili pasal 30 UUD '45 -- tentang hak dan
kewajiban warga negara dalam membela bansa dan tanah air --
yang melandasi dibentuknya Menwa. Dan "sesuai dengan kelompok
umur pemuda Indonesia, sebenarnya mereka sudah dibekali dengan
semangat dasar pembelaan negara." Dan diharapkan semangat itu
dari mahasiswa menular ke masyarakat.
Tapi sekali lagi dinyatakan Henuhili, "apapun tugas yang
dibebankan kepada Menwa harus ada rekomendasi dari rektor. "
Menyinggung pidato pengarahan Pangkopkamtib, Henuhili hanya
mengatakan: "Mekanismenya sedang akan diatur."
Lalu apa hasil Raker Menwa IV ini? Antara lain, rencana
pembinaan Menwa 5 tahun mendatang dan perumusan kedudukan Menwa
dalam Normalisasi Kampus. Bagaimana jelasnya, sampai pertengahan
April konsep hasil Raker masih diperbaiki di sana-sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo