Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Balik Peretasan Awak Narasi

Peretasan terhadap awak redaksi Narasi dalam dua pekan terakhir terhitung masif. Motif dan pelaku peretasan masih gelap.

30 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Motif dan pelaku peretasan terhadap awak redaksi Narasi hingga kini masih menjadi misteri. Aparat penegak hukum didesak untuk proaktif mengusut pelaku peretasan.

Najwa Shihab, pendiri Narasi, perusahaan rintisan yang bergerak di bidang jurnalisme dan media massa, enggan menduga-duga motif ataupun pemicu di balik serangan itu. "Saya tidak tahu persis apakah serangan tersebut terkait dengan kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh saya dan Narasi," ujar Najwa kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun Najwa menyebutkan serangan yang diarahkan kepadanya dalam dua pekan terakhir ini memang berbeda dan lebih masif dari sebelum-sebelumnya. "Kali ini jauh lebih insinuatif, fitnah ke ranah urusan pribadi, lebih absurd dari sebelumnya," ujar Najwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dua pekan belakangan, Najwa getol mengkritik gaya hidup mewah para polisi. Kritik itu ia sampaikan lewat video di akun YouTube Najwa Shihab pada 14 September lalu. "Kemarin kan sempat ramai Citayam Fashion Week, sekarang ramainya Police Fashion Week," ujar Najwa dalam video itu. "Polisi itu kerap kali enggak malu dan sungkan mempertontonkan kemewahan, gaya hidup hedon."

Tanpa menyebutkan nama, Najwa menyentil seorang petinggi Polri yang tampil dengan baju merek Burberry seharga jutaan rupiah saat menggelar konferensi pers soal kasus Ferdy Sambo. "Masalahnya adalah, ketika kita tahu pejabat-pejabat ini gajinya berapa, tunjangannya berapa, enggak matching gaya hidup mewahnya dengan pendapatan mereka. Wajar orang bertanya-tanya, halal enggak sih duit lo?" ujar Najwa.

Di situs web Narasi TV dan YouTube Narasi Newsroom, juga diulas lengkap pakaian Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi, yang diduga seharga belasan juta rupiah tersebut. Narasi menyertakan kritik dari peneliti Indonesia Corruption Watch dalam video itu.

Selang beberapa hari, saat menjadi pembicara di sebuah kampus, Najwa kembali menyentil polisi. "Jangan mau ditakut-takuti polisi, suruh urus dulu tuh Ferdy Sambo,” kata Najwa Shihab. "Sepanjang kita tahu apa yang kita lakukan benar, kita tidak merugikan orang lain, jangan mau ditakut-takuti dengan pasal."

Dua pernyataan Najwa tersebut ramai di jagat dunia maya. Video pernyataan Najwa ramai dicuplik di Twitter, Instagram, dan Tiktok. Banyak warganet yang merasa terwakilkan oleh pernyataan Najwa. Namun ada pula segelintir pihak yang menyerang Najwa, salah satunya seorang selebritas. Najwa diserang hingga masuk ke ranah pribadi. Namun ia tidak pernah menanggapi serangan itu.

Najwa Shihab. Dok Tempo/Nurdiansah

Sabtu, 24 September 2022, Pemimpin Redaksi Narasi, Zen R.S., mengumumkan serangan peretasan terhadap awak redaksi Narasi. Peretas mengambil alih akun media sosial milik redaksi Narasi, seperti Facebook, Instagram, Telegram, dan WhatsApp.

Zen R.S. menuturkan peretasan pertama kali diketahui saat nomor WhatsApp milik produser Narasi, Akbar Wijaya alias Jay Akbar, menerima pesan teks dari orang tak dikenal. Pesan itu berisi sebuah tautan. Jay membaca pesan tersebut. Ia tidak mengklik tautan itu, tapi seketika akun WhatsApp-nya diambil alih peretas.

Berawal dari Jay, satu per satu awak redaksi Narasi lainnya mengalami serangan. Hingga saat ini tercatat ada 37 awak redaksi yang menjadi korban peretasan. Mereka berasal dari berbagai level, seperti pemimpin redaksi, manajer, produser, hingga reporter. Telegram dan Facebook menjadi dua platform yang paling banyak diserang. Akun-akun yang teretas kini sudah bisa dikuasai kembali, terutama Telegram.

Namun, kata Zen, masih ada akun yang belum bisa dikuasai kembali, yaitu akun WhatsApp milik korban pertama, yakni Jay Akbar. "Keamanan jaringan dari seluler yang dipakai korban pertama disinyalir masih jauh dari aman karena hingga kemarin dia belum bisa menerima kode OTP (one time password) saat hendak login WhatsApp," ujar Zen.

Hingga kemarin, kata Zen, serangan masih berlanjut. Peretas masih berupaya menguasai beberapa akun Telegram milik awak Narasi. Serangan juga mulai menyasar server website Narasi. Beruntung, tim Narasi bisa menanganinya.

Zen belum mengetahui modus dan motif pelaku. Namun dia menduga pelaku yang menyerang puluhan awak Narasi itu berada di pihak yang sama. Sebab, peretasan itu berasal dari Internet protocol address dan perangkat yang identik. Hasil pemeriksaan internal menunjukkan bahwa IP address itu menggunakan salah satu Internet service provider lokal.

Untuk semua akun Telegram yang sempat diambil alih pelaku, kata Zen, polanya juga sama. Pelaku mencoba masuk dengan mengambil alih kode OTP—password sekali pakai—yang berfungsi sebagai sistem keamanan.

Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyebutkan pernah menjadi korban peretasan Telegram dan WhatsApp dengan pola serupa. Akunnya diambil alih pelaku. "OTP tidak masuk ke device saya. Namun akun bisa saya ambil lagi karena mengaktifkan two factor authentication atau two step verification,” katanya. “Dalam kasus saya, para pelaku tidak meminta OTP karena sepertinya mereka mempunyai akses untuk mendapatkan OTP."

Pratama menjelaskan, secara teknis, ada banyak cara yang memungkinkan tindakan peretasan ke sejumlah aset digital seseorang, seperti media sosial dan aplikasi pesan instan. Bisa dengan malware, lalu bisa juga dengan mengakses kode OTP. "Mengakses OTP ini bisa dengan beberapa cara,” katanya. Cara pertama adalah memalsukan identitas, lalu membuat SIM card di provider. Sedangkan cara kedua adalah mengakses kode OTP lewat provider telekomunikasi.

Selain itu, ujar dia, pelaku peretasan bisa mengakses OTP provider telekomunikasi yang dibantu layanan pihak ketiga. Tujuannya untuk mendapatkan OTP yang dikirimkan setelah ada permintaan dari aplikasi. Jadi, pelaku tidak perlu mengirim pesan penipuan untuk meminta OTP ke target. Hal ini disebutnya sering dilakukan para penipu dengan mengaku sebagai kasir minimarket dan meminta OTP.

Dalam kasus ini, para pelaku tidak meminta OTP karena diduga mereka mempunyai akses untuk mendapatkan OTP. "Karena itu, perlu dicek ke layanan pihak ketiga yang membantu OTP provider telekomunikasi,” ujar Pratama.

Chairman lembaga keamanan siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) itu menyebutkan metode peretasan dengan cara-cara seperti ini biasa dilakukan oleh hacker atau oknum yang punya akses ke peralatan khusus untuk sistem intrusion atau penyadapan.

Dalam kasus oknum aparat yang bisa mengakses operator layanan OTP sehingga bisa digunakan untuk mengambil alih akun, diduga pelaku bekerja sama dengan oknum operator telekomunikasi. "Makanya saya bilang, itu oknum kalau benar terjadi," ujar dia.

Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute (PVRI), Usman Hamid, menyampaikan pendapat yang sama. Ia menilai cara-cara peretasan seperti itu tidak mungkin terjadi tanpa adanya keterlibatan aparat negara dan penyelenggara jasa telekomunikasi. "Karena itu, Public Virtue menduga terdapat indikasi kuat adanya oknum aparat keamanan berada di balik peretasan atas akun-akun yang dimiliki dan digunakan oleh awak media Narasi," ujar Usman.

Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, enggan mengomentari tuduhan adanya indikasi oknum aparat keamanan berada di balik peretasan. "Itu hoaks dan tidak benar karena tidak ada buktinya," ujar Dedi melalui pesan pendek.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Komisaris Besar Nurul Azizah, meminta pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk melaporkan kasus peretasan tersebut kepada Bareskrim Polri atau Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk ditindaklanjuti. "Agar jangan ada persepsi yang melebar ke mana-mana," ujarnya.

DEWI NURITA | FENTI GUSTINA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus