Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarno mengalirkan air irigasi ke sawahnya. Ia berkeliling ke seperÂempat hektare lahan miliknya di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, memastikan seluruh tanaman padi terendam air. Hamparan padi yang menghijau itu mulai berbulir dan siap dipanen sebulan mendatang.
Air di Pesanggaran tergolong barang mahal. Setiap petani hanya mendapat jatah air dua hari dalam sepekan. Menurut Jarno, persediaan air pun sangat bergantung pada kondisi hutan di Gunung Tumpang Pitu. Dari gunung setinggi 450 meter di atas permukaan laut itu mengalir Kali Gonggo, yang mengairi sawah para petani. "Kalau hutannya gundul, pastilah kami akan kesulitan air," kata pria 37 tahun itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Jarno dan ribuan petani lain di kaki Gunung Tumpang Pitu sedang dirundung gelisah. Hutan lindung Tumpang Pitu, yang dulu ijo royo-royo, kini makin terancam kuasa pertambangan. Hati Jarno kian kebat-kebit karena tahun depan tahapan eksploitasi dimulai.
Sejak 2007, PT Indo Multi Niaga (IMN) mengantongi kuasa eksplorasi tambang emas seluas 11.621,45 hektare—sebanyak 1.251,5 hektare di dalamnya adalah hutan lindung di gunung itu. Potensi emas Tumpang Pitu diyakini mencapai 2 juta ounce dan perak 80 juta ounce. Nilai tambangnya ditaksir sekitar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 48,2 triliun. Selain IMN, investor asal Australia, Intrepid Mines Limited, ikut berkongsi. Belakangan dua perusahaan ini pecah lantaran IMN dijual ke PT Bumi Suksesindo.
Operasional IMN sudah menuai pro-kontra sedari awal. Ribuan nelayan dan petani menolak aktivitas tambang. Menurut Rosdi Bahtiar Martadi, Koordinator Pemuda Pecinta Lingkungan Banyuwangi, yang berafiliasi dengan Jaringan Advokasi Tambang, Tumpang Pitu memiliki potensi air bawah tanah tingkat tinggi dengan debit di atas 30 liter per detik. "Bila hutannya rusak, ketersediaan air akan terancam," ujarnya.
Aktivitas tambang juga sangat rakus air. Menurut dokumen analisis mengenai dampak lingkungan IMN, diketahui pemisahan bijih emas setiap hari membutuhkan 2,038 juta liter air. Air sebanyak itu sudah pasti disedot dari Kalibaru dan Kali Gonggo, yang selama ini jadi gantungan hidup warga.
Bahaya lain yang akan dihadapi, kata Rosdi, adalah penggunaan sianida untuk pemurnian emas dan logam lainnya. Dia mengatakan, bila tambang beroperasi, tailing yang mengandung ribuan ton sianida akan dibuang ke Teluk Pancer setiap hari. Tailing ini akan membunuh biota laut dan meluas hingga ke Jember.
Tailing juga mengancam kehidupan tiga taman nasional yang mengelilingi Banyuwangi, yakni Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, dan Taman Nasional Baluran. Menurut Rosdi, Meru Betiri paling terancam karena hanya berjarak 4,7 kilometer dari batas luar wilayah pertambangan. Taman nasional ini dikenal sebagai rumah terakhir harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).
Beruntung masih ada pagar terakhir. Kementerian Kehutanan pada November tahun lalu menetapkan moratorium alih fungsi hutan lindung Tumpang Pitu melalui Surat Keputusan Nomor SK.6315/Menteri KehutananVII/IPSDH/2012. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Tahun 2011-2031 juga menegaskan Tumpang Pitu sebagai hutan lindung.
Namun status hutan lindung itu terancam dicabut. Pemerintah Banyuwangi gencar mengusulkan perubahan peraturan RTRW ke Gubernur Jawa Timur dan Kementerian Kehutanan. Kawasan hutan lindung diminta diubah menjadi Âkawasan tambang. "Pemerintah daerah sangat pragÂmatis karena hanya mengejar jatah saham," ucap Rosdi.
Ia merujuk pada negosiasi Bupati Banyuwangi dengan PT Bumi Suksesindo agar daerah mendapatkan jatah saham melalui mekanisme golden share (jatah saham tanpa membeli). Diduga Bupati aktif memperjuangkan perubahan RTRW hutan Gunung Tumpang Pitu karena janji saham itu. Bila mendapat jatah 10 persen saham saja, daerah akan memperoleh Rp 7 triliun.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menolak mengomentari hal tersebut. "Ada beberapa strategi yang belum bisa kami sampaikan ke media," katanya Senin pekan lalu.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pertambangan Hary Cahyo Purnomo membenarkan kabar bahwa Banyuwangi mengajukan alih fungsi hutan lindung itu. Bahkan tim dari pemerintah provinsi menindaklanjuti usul itu dengan meninjau ke lapangan awal Februari lalu.
Dia menilai Tumpang Pitu sudah tak relevan lagi sebagai hutan lindung karena tidak ada flora dan fauna khas ditemukan di hutan itu. "Tidak ada harimau ataupun bantengnya," ujar Hary. Namun dia membantah jika alih fungsi hutan lindung disebut untuk memuluskan eksploitasi tambang. "Bila disetujui, belum tentu untuk tambang. Bisa jadi untuk kawasan wisata, perikanan, atau potensi lain."
Kepala Dinas Kehutanan Jawa Timur Gatot Soebaktiono mengakui mengirimkan tim untuk mengecek kondisi teraktual hutan lindung. "Setiap saya ke Banyuwangi, selalu ngecek ke sana. Tapi tepatnya kapan, lupa."
Menurut dia, perubahan tata ruang atau alih fungsi bisa saja dilakukan. Yang berwenang memutuskan adalah pemerintah pusat. Dinas hanya memberi pertimbangan. Sebelum disetujui, akan ada banyak tim yang meninjau dari berbagai aspek guna memastikan kelaikannya. Dampak perekonomian daerah, menurut Gatot, merupakan aspek terpenting.
Kuasa hukum PT Bumi Suksesindo, Bontor O.L. Tobing, menyatakan pihaknya tidak bisa terburu-buru mengerjakan proyek tambang emas di Tumpang Pitu. Proses pertambangan akan dilaksanakan sesuai denganketentuan hukum dan memperhatikan kelestarian lingkungan. "Kami harus mematuhi good mining practice," katanya dalam surat elektronik kepada Tempo.
Agus Supriyanto, Ika Ningtyas, Agita Sukma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo