KEMELUT PPP bagaikan cerita silat panjang dan tak tamat-tamat. Pekan lalu, kekisruhan yang sudah berlangsung hampir empat tahun itu memasuki periode baru. Syarifuddin Harahap, penentang utama Naro, hengkang dari kubu Soedardji. "Usaha-usaha yang mengatasnamakan DPP Sudardji-Mokobombang sudah tidak efektif. Hal itu bisa dianggap merusak upaya kerukunan yang dilakukan pemerintah," tulis Syarifuddin kepada Soedardji dan Ismail Mokobombang, gengnya ketika aktif menggedor kepemimpinan Naro. Surat itu, yang dibuat Syarifuddin tiga hari menjelang Puasa, lebih banyak bernada nasihat. Misalnya, tindakan kelompok ini bila diteruskan, kata Syarifuddin, akan menyebabkan Dardji-Mokobombang berada di luar sistem politik, yang bisa membuat mereka terisolir. Karena itu, ujarnya lebih lanjut, tak ada jalan lain, kecuali kembali berada di bawah kepemimpinan DPP hasil Muktamar I, yang memilih Naro sebagai ketua umum. "Saya memang mengakui Naro, lepas dari suka atau tak suka," ujar Syarifuddin tokoh SI itu. Syarifuddin menyerah? "Apa pun istilahnya saya terima. Saya kalah, atau menyerah, terserah. Tetapi ini tindakan terbaik," ujarnya. Dilihat dari sikap Syarifuddin selama ini, tindakannya itu tak begitu mengejutkan. "Ia 'kan orang yang sebentar pagi, sebentar malam," komentar Soedardji. Maksudnya: Syarifuddin, dari dulu, memang gampang berubah. Tapi banyak juga yang melihat perubahan sikap Syarifuddin ini sebagai sesuatu yang realistis. "Politikus 'kan mestinya tahu ke mana angin bertiup," ujar seorang anggota FPP kepada TEMPO. Artinya, Syarifuddin tentu sudah menghitung sikap pemerintah yang selalu menunjuk ikrar kerukunan 17 Juni 1985, dan hanya mengakui satu DPP PPP di bawah Naro. Dan, jangan lupa, nominasi calon anggota DPR, dan hanya ini yang bakal diakui pemerintah, akan segera disusun oleh tim yang ditunjuk Naro. Syarifuddin membantah "pembelotan"nya ada hubungan dengan soal pencalonan. "Langkah ini semata-mata sebagai upaya konsolidasi partai menjelang pemilu," ujar Syarifuddin. Ia. katanya. menginginkan PPP bisa utuh seperti PDI. Langkah yang dia ambil ini, menurut Syarifuddin, tanpa syarat apa-apa. "Saya berani memulai, maka saya harus berani pula mengakhiri. Tak terpikir soal jaminan agar masuk daftar calon," tambahnya. Tentang konflik PPP yang berlarut-larut selama ini, menurut Syarifuddin, dialah dalangnya, bukan Dardji seperti anggapan banyak orang. "Beban itu mesti saya pikul, karena saya yang mengajak Dardji." "Insaf"-nya Syarifuddin tampak menggembirakan kubu Naro. "Syarifuddin cukup jantan," puji Sekjen PPP Mardinsyah. Ia, yang mengaku belum menerima tembusan surat Syarifuddin itu, melihat ada kemungkinan "pembelotan" tersebut diterima DPP. "Tapi tidak secara otomatis," kata Mardinsyah. Artinya, DPP akan melihat sejauh mana "dosa" yang telah dilakukan pendekar yang sudah bertobat itu. "Sejarah sudah banyak memberi pelajaran, dan kami tidak akan gegabah dalam hal ini," tutur Mardinsyah. Pengakuan dosa Syarifuddin itu memang belum menjamin pintu pencalonan terbuka lebar. Salah satu syarat, calon tidak pernah melakukan perbuatan, baik langsung maupun tidak, yang dapat merongrong konstitusi, pimpinan, maupun kewibawaan partai. Mardinsyah menolak mengatakan apakah Syarifuddin atau Dardji termasuk mereka yang merongrong konstitusi atau kewibawaan partai. "Orang yang pernah melakukan itu tak akan lolos dari pencalonan," katanya. Lubang jarum bagi Dardji dan Syarifuddin untuk lolos tampaknya kecil. Pekan lalu, ketika diumumkan anggota Lajnah Penetapan Calon tingkat pusat (Lantappus - semacam lembaga screening), tak seorang pun kelompok Dardji terpilih. Seperti biasanya, Soedardji, tentu tak tinggal diam. "Saya akan membikin daftar calon sendiri," katanya. Menurut dia, kondisi PPP sekarang ini sedang tidak normal. "PPP belum kompak, belum bersatu," katanya. Entah daftar siapa nanti yang akan laku. Achmad Luqman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini