Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK banyak yang tahu ketika Ali Said, 65 tahun, ngantor di Mahkamah Agung, Jalan Merdeka Utara, hari Jumat pekan lalu. Seperti biasanya, pria ceking yang namanya mulai ngetop dalam Mahmilub Dr. Subandrio itu langsung masuk keruangan Ketua MA. Hari itu, ia langsung mengadakan rapat pimpinan. Padahal, terhitung sejak 1 Juli 1992, seperti termaktub dalam surat yang dikantonginya, ia sudah pensiun. Maka, acara utama "rapim" terakhir Ali Saiditu adalah berpamitan dan minta maaf seperti laiknya orang yang mau meninggalkan jabatannya. "Sebagai kakak, yang paling tua, saya kumpulkan para pimpinan," kata Ali Said pada TEMPO Ahad malam lalu. Selain acara "perpisahan", dalam pertemuan itu para tokoh teras lembaga tinggi hukum juga membicarakan soal calon pengganti Ketua MA. Ali Said, yang memimpin rapat, meminta maaf pada Bustanul Arifin yang disebut-sebut olehIkahi sebagai salah satu kandidat calon Ketua MA seraya mengatakan bahwa ia sudah mengirim usulan calon Ketua MA kepada Presiden Soeharto 26 Juni lalu. Ali Said punya dua alternatif calon ketua dan wakil ketua. Yang pertama, Poerwoto sebagai ketua dengan wakil Adi Andojo Sutjipto. Alternatif kedua, ketua Poerwoto dengan wakil M. Djaelani. Memang, menurut Ali Said, Kepala Negara telah memintanya mempersiapkan calon pimpinan MA dengan komposisi yang mantap. Konon, Pak Harto masih menghendaki kepemimpinan Ali Said diperpanjang. Dalam suatu pertemuan, Presiden pernah menyinggung soal perpanjangan masa jabatanKetua MA, yakni Oemar Senoadji. Tapi Ali Said tetap ingin menikmati masa pensiunnya sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, yakni ketua dan hakim agung diberhentikan setelah berusia 65 tahun. Gambaran ini sekadar menunjukkan bahwa siapa yang menjadi pimpinan lembaga yudikatif itu tak lepas dari peran Kepala Negara. Sekalipun dalam strukturketatanegaraan kedudukan MA, DPA, DPR, BPK, dan Presiden sejajar. Dalam kehidupan seharihari kepala negara tetap menjadi titik sentral. Dalam UU memang disebutkan bahwa yang mengusulkan calon pimpinan MA adalah DPR. Namun, Ali Said mengusulkan daftar calon itu kepada Pak Harto selakukepala negara. "Ya, itu tak lepas karena yang mengangkat nanti juga Presiden," katanya. Dalam perjalanan sejarahnya, MA memang acap kali di bawah eksekutif. Bahkan kekuasaan MA sebagai lembaga tertinggi di bidang hukum pernah berada di bawahkendali presiden. Seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Pasal 19, "Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa, atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan." Undang-undang yang berbau abuse of power dari eksekutif ini kemudian dikoreksi dengan keluarnya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-KetentuanPokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 4 ayat 3 UU ini secara tegas disebutkan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luarkekuasaan kehakiman dilarang, kecuali yang tersebut dalam UUD, yang berkaitan dengan hak prerogatif presiden seperti grasi, amnesti, dan abolisi. Dengan UU itu pun kedudukan dan peran MA sebagai lembaga yudikatif belum juga setara dengan eksekutif atau legislatif. Seperti kata Ali Said, "Kekuasaan MA memang dipreteli." Mahkamah Agung tak punya hak uji atas UU. Seperti disebutkan dalam UU terbaru, Nomor 14/ 1985 Pasal 31: "MA hanya berwenang menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang". Itu pun mesti melalui kasus atau perkara, dan sampai di tingkat kasasi (lihat Mahkamah Ali yang Dipreteli). Padahal, semestinya MA punya kekuasaan mengontrol dan menguji produk-produk legislatif dan eksekutif. Seperti disebutkan dalam UUD 1945, MA punya kekuasaan yang merdeka, bebas dari campur tangan pemerintah. Padahal, kalau ia punya hak uji, MA bisa saja menilai bertentangan atau tidaknya UU Pokok Pers, UU Parpol dan Golkar, dan lain-lain, dengan UUD 1945. Dengan demikian, kiranya DPR dan pemerintah akan lebih hati-hati melahirkan UU yang mungkin kurang demokratis. "Di sini MA bisa jadi built in control dalam kehidupan ketatanegaraan," kata Todung Mulya Lubis. Pendapat serupa juga dikemukakan Ali Said. Bekas Ketua MA yang sempat diributkan menjadi anggota MPR pada 1988 yang kemudian diralat itu sependapat bila MA menjadi "pilar ketiga" di samping legislatif dan eksekutif. "Semestinya kepada MA diberikan hak uji terhadap UU itu." Tinggal, katanya, ada tidaknya tekad politik itu. Untuk menegakkan fungsi kontrol dalam sistem ketatanegaraan itu, menurut Mulya Lubis, MA dituntut mempunyai keberanian. Seperti di Amerika Serikat,katanya, hak uji MA untuk mengoreksi UU juga tak dicantumkan secara eksplisit dalam perundangan. Para hakim agung menggunakan sumpahnya sebagai dasar, yaknimenjunjung tinggi konstitusi (lihat Sebuah Mimpi untuk Pengganti). Hal seperti ini mestinya bisa juga terjadi di Indonesia. Hakim agung di sini bisa melakukan hak uji dengan modal sumpah yang mereka ucapkan, yakni menjunjungtinggi UUD 1945. "Ibarat pemain bola, mereka mestinya lebih aktif menjemput bola," katanya. Namun, menurut Sri Sumantri, guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, kekuasaan yang ada pada MA sebenarnya sudah besar. Bisa membatalkan peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Masalahnya, MA hanya dapat menyatakan tak sah dan yang harus mencabut adalah presiden sendiri. SriSumantri juga termasuk tak setuju bila MA punya hak uji terhadap UU. Sebab, seolah menguji produk lembaga negara yang sebenarnya sederajat dengan MA. Makanya, menurut Sri, hak uji sebaiknya dilakukan oleh mahkamah konstitusiyang dibentuk oleh MPR. Apalagi, dalam kenyataannya, perkara yang ditangani MA sehari-hari saja masih kedodoran. Sisi lain yang merepotkan jajaran hakim adalah soal punya "dua kepala".Secara fungsional para hakim di bawah Mahkamah Agung, tapi secara administrasi dan organisasi mereka di bawah Departemen Kehakiman. Ini sering membuat para hakim tak bisa bebas. Sebagai aparat Departemen Kehakiman, mereka terikat sebagai pegawai negeri. Sementara itu, sebagai hakim mereka dituntut bebas danmenegakkan keadilan. Makanya Ikahi pernah mengusulkan agar hakim tak berstatus pegawai negeri, tapi pejabat negara seperti halnya anggota DPR. Yang merepotkan, dengan kendali administrasi dari Departemen Kehakiman, MA tak bisa berbuat apaapa terhadap hakimhakim yang membuat keputusan menyimpang.Yang bisa dilakukan paling cuma memperbaiki putusan di tingkat banding atau kasasi. Atau memerintahkan sidang ulang. Ambil contoh tentang kasus R. Wendra, ketua Pengadilan Banjarnegara, Jawa Tengah, yang mengadili sendiri pencuri yang maling di rumahnya. Pencuri itu, Junaedi dan Saldi, divonis masing-masing 5 tahun penjara karena mencuri dua buah jam tangan di rumah Pak Hakim. Padahal, seorang hakim semestinyamundur bila ia berkepentingan dengan suatu perkara. Akhirnya, kasus ini disidang ulang di pengadilan yang sama oleh hakim yang lain, dan kedua pesakitan diganjar masing-masing 6 bulan penjara (TEMPO, 1 Maret 1986). Karena itu, setelah melihat kesemrawutan seperti itu, wajar bila kali ini Ali Said, yang pernah menjabat Menteri Kehakiman, setuju bila urusan administrasi parahakim diserahkan saja ke MA. Dengan demikian, pembinaan dan kariernya sebagai hakim di tangan satu kepala. Dan Departemen Kehakiman bisa menjadi DepartemenPerundang-undangan. Tak cuma itu. Mahkamah Agung juga menghadapi kenyataan pahit yang lain, yakni soal kongesti alias penumpukan perkara. Penyakit lama ini tak sembuh-sembuh walau pada masa almarhum Moedjono tahun 1980an jumlah hakim agung telah ditambah menjadi 51 orang. Namun, pertumbuhan perkara yang menumpuk pun tak kalah cepat. Tahun lalu tumpukan perkara naik sekitar 50% untuk perdata dan 70% untuk pidana. Ini, seperti kata Ali Said, "karena ada budaya kasasi." Sudah tahu dirinya salah tapi tetap minta kasasi, bahkan peninjauan kembali. Namun, boleh jadi, menumpuknya perkara kasasi di MA juga tak lepas dari mafia peradilan. Ini diakui Ali Said, bahwa ada saja aparat yang nakal. Sebagai contoh kasus pemalsuan vonis MA yang dilakukan Abdul Nasser dan sebut saja Ira, keduanya staf di MA. Nasser memalsukan putusan MA, adapun Ira membuat putusan sendiri atas perkara yang belum disidangkan hakim agung. "Itu mentalitas," katanya. "Bukan semata kebutuhan ekonominya." Malah, sekarang ini, tambah Ali Said, ada oknum MA yang menghubungi beberapa orang yang berperkara. Oknum MA itu minta calon korbannya untuk mengeluarkandana dalam jumlah tertentu untuk memberi sangu pada Ali Said yang mau pensiun. "Sudahlah perkara bisa diatur, tahu sendirilah, Ketua mau dipensiunkan," katanya menirukan. "Masa, orang pensiun saja diobyekkan untuk mata pencaharian."Untuk menghadapi semua itu, Ali Said kini menyiapkan sebuah buku memori tentang MA. Memori itu kelak akan diserahkan kepada Ketua MA yang baru. Di situ antara lain diusulkan agar MA menggunakan kertas khusus dari Percetakan Negara untuk mengetik vonisvonis yang dikeluarkan MA. Mungkinkah calon Ketua MA bakal melaksanakan apa yang tercantum dalam memori Ali Said? Tentunya tergantung siapa ketua yang terpilih. Sebab, seperti kata Ketua DPR/MPR Kharis Suhud, hingga pekan ini masih ada dua calon yang berkibar di DPR, yakni Poerwoto dan M. Djaelani. "Dua calon itulah yang paling kuat,"kata Kharis Suhud. Menurut jadwal, calon pengganti Ali Said baru akan dipilih DPR pertengahan bulan ini. Siapa pun yang terpilih, masalah yang dihadapi MA tampaknya masih saja sama, yakni tumpukan perkara dan peran menjadi "pilar ketiga" dalam kehidupan bernegara. Agus Basri, Wahyu Muryadi, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), dan Moebanoe Moera (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo