Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekolah dianggap sebagai rumah kedua anak. Maklum, sebagian waktu anak dihabiskan untuk menimba ilmu di sekolah. Namun tak selamanya sekolah benar-benar menjadi rumah yang ramah bagi anak. Dinamika yang terjadi di sekolah justru menjadi tempat tak nyaman bagi mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan pemaksaan seragam jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, menjadi contoh paling anyar. Seorang siswa kelas X diduga dipaksa memakai jilbab pada 18 Juli lalu. Sang anak mengalami trauma dan depresi. Ibu korban, Herprastyanti Ayuningtyas, mengatakan anaknya harus mendapat pendampingan psikologis secara intensif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Ombudsman perwakilan Jawa Tengah dan DIY turun tangan. Mereka memeriksa kepala sekolah serta sejumlah guru dan murid untuk mengurai dugaan pemaksaan tersebut. Pemerintah daerah setempat pun menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru yang diduga terlibat dalam masalah itu.
Namun sejatinya masih banyak problem di sekolah yang berpotensi membuat murid mengalami tekanan mental hingga depresi dan trauma. Pemicunya bisa bermacam-macam dan siapa saja, baik pihak sekolah maupun sesama siswa. Sejumlah pihak berharap pemulihan mental anak wajib menjadi prioritas utama. Terlebih, masalah trauma dan depresi tak bisa dianggap enteng.
Anak dirundung di sekolah. Pexels/ Cottonbro
Psikolog Kasandra Putranto mengatakan trauma bisa mempengaruhi rasa aman dan kepercayaan anak. Walhasil, sering kali anak yang mengalami trauma akan merasa tegang dan takut. Beberapa anak akan merasa sendirian, sedih, marah, dan bersalah. Bahkan tak sedikit anak yang mengalami trauma merasa kehilangan harga diri dan martabat.
Mereka bisa berubah perangai menjadi pemarah dan merasa sedih. “Mereka mungkin berpikir bahwa merekalah yang harus disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka,” kata Kasandra ketika dihubungi, kemarin. Masalah di sekolah yang tak kunjung reda bisa memperburuk kondisi mental anak. Efek lainnya adalah anak yang trauma akan memiliki ketakutan baru hingga sulit tidur. Beberapa dari mereka punya kenangan yang menjengkelkan, yang disebut sebagai kilas balik.
Sering kali anak-anak yang mengalami trauma akan menghindari hal-hal yang mengingatkan mereka pada apa yang membuat mereka trauma. Lebih jauh, Kasandra melanjutkan, trauma pada anak bisa menimbulkan depresi.
Depresi adalah gangguan suasana hati berupa rasa sedih serta putus asa yang intens dan konsisten. Para penderita depresi sering kehilangan minat dan rasa senang ketika melakukan hal-hal yang dulunya mereka sukai. “Hal ini disebut depresi apabila gejala berlangsung selama lebih dari dua pekan,” kata dia.
Kasandra melanjutkan, gejala lain depresi adalah sulit berkonsentrasi, perasaan bersalah berlebihan, keputusasaan tentang masa depan, merasa sangat lelah, dan paling parah memikirkan kematian atau bunuh diri.
“Selama episode depresi, orang tersebut mengalami kesulitan yang signifikan dalam pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya.”
Untuk mengobati trauma, Kasandra menyebutkan peran orang tua sangat penting. Orang tua sebagai pihak terdekat anak harus memberikan dukungan dan kenyamanan. Mereka wajib membangun kepercayaan diri dan optimisme hidup sang anak.
#INFO KOSMO 5.1.2-Tip Orang Tua Membantu Anak Trauma
Selain itu, menurut Kasandra, anak yang mengalami trauma dan depresi perlu pendampingan psikologis. Psikolog bisa memberikan pengobatan mental berupa terapi. Terapi anak untuk trauma disebut terapi perilaku kognitif yang berfokus pada trauma atau TF-CBT. Kasandra mengatakan terapi tersebut meliputi kegiatan berbicara, bermain, dan belajar yang menyembuhkan trauma.
Terapi tersebut akan memberi anak cara untuk berbagi perasaan dengan aman dan nyaman. Anak-anak belajar berbicara tentang apa yang telah mereka alami. Dengan demikian, mereka akan terbantu menemukan kembali keberanian dan kepercayaan diri. “Mereka belajar keterampilan, menyesuaikan cara berpikir, dan merasakan tentang trauma. Perlahan-lahan, mereka belajar menghadapi hal-hal yang dulu mereka hindari,” kata Kasandra.
Psikolog dan staf pendidik di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dian Wisnuwardhani, pun menggarisbawahi pentingnya proses terapi untuk menyembuhkan trauma anak. Dalam proses terapi, psikolog akan menggali secara mendalam dan runut musabab trauma pada anak. Proses penggalian tersebut bisa memakan waktu yang singkat atau panjang. “Semua bergantung pada klien. Ada yang cukup dua kali pertemuan, ada yang lama, yakni 6-8 kali pertemuan,” tutur Dian.
Menurut Dian, kesiapan mental tiap anak yang trauma untuk membuka diri sangat mempengaruhi proses terapi. Karena itulah sang anak membutuhkan rasa nyaman dan percaya saat mengupas satu per satu musabab traumanya. Pada intinya, Dian melanjutkan, kesiapan hati dan mental anak yang trauma menjadi kunci sukses proses terapi. Sebab, pada akhirnya, mereka harus berani menghadapi traumanya. “Harus keluar dari trauma karena hidup harus berjalan ke depan. Paling tidak, dia bisa berdamai dengan traumanya.”
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidik dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengatakan pemulihan mental anak trauma, seperti pada kasus dugaan pemaksaan pemakaian jilbab, harus menjadi prioritas utama. Pemerintah setempat, menurut dia, wajib memberikan bantuan pendampingan psikologis bagi sang anak.
Pemerintah daerah pun wajib memenuhi hak pendidikan anak tersebut, termasuk memikirkan pemindahan anak itu ke sekolah lain. Sebab, anak tersebut bisa saja membutuhkan suasana baru karena sekolah yang lama sudah memberikan trauma yang mendalam. “Namun harus ada jaminan dari pemerintah agar anak ini tidak dirundung dan dikucilkan di sekolah yang baru. Maklum, berita tersebut sudah menyebar luas di masyarakat,” kata Satriwan saat dihubungi pada Jumat lalu.
Sosiolog dari Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Mukhijab, pun menyebutkan pindah sekolah bisa menjadi solusi tepat bagi anak korban trauma dalam kasus pemaksaan seragam jilbab itu. Namun ia berharap pihak sekolah yang baru akan memberikan pendampingan terhadap anak tersebut. Sekolah harus membantu anak melepas stigma buruk yang melekat pada dirinya, misalnya anti-jilbab.
Mukhijab juga berharap anak tersebut bisa membedakan lingkungan baru dan lama. Sebab, bisa jadi anak tersebut akan mengalami masalah lain di sekolah baru. “Berikan pengertian yang adil untuk si anak bahwa semua sekolah pada dasarnya baik. Ada aturan khas di sekolah yang harus diikuti. Tidak semua yang bertentangan dengan dirinya harus ditolak keras.”
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo