Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Jakarta rupanya selalu menjadi bagian dari mimpi gubernurnya. Tatkala dilantik menjadi gubernur pada 6 Oktober 1997, Sutiyoso mewarisi kota dengan napas yang sesak. Kota yang dihuni delapan juta orang ini tak memiliki paru-paru yang cukup untuk menghalau udara kotor. Hutan-hutan kota mengerut, permukiman kumuh kian meruyak.
Tidak aneh, di awal masa pemerintahannya, Sutiyoso mencanangkan tekad menciptakan kawasan hijau, memperbanyak daerah resapan air, dan menjalankan proyek langit biru. Pokoknya, membuat ruang-ruang terbuka yang melegakan.
Lima tahun berlalu sejak saat itu. Dan di awal periode kedua masa jabatannya, wajah Jakarta justru tampil semakin sesak. "Ruang terbuka yang sudah tinggal sedikit kian dipersempit," kata Suryono Herlambang, ahli perencana kota dari Universitas Tarumanagara. Mimpi Sutiyoso tak menyisakan jejak.
Sebaliknya, Sutiyoso membukukan rekor lain yang buruk: hanya dalam kurun waktu dua tahun terakhir, ia telah menambah 80 pusat perbelanjaan baru di seantero Jakarta. Menurut Suryono, wilayah Jakarta yang dihabiskan untuk menanam beton-beton baru itu mencapai 1,6 juta meter persegi?jumlah yang jauh lebih besar dari total lahan pusat perbelanjaan yang dibangun oleh gubernur-gubernur sebelumnya selama 30 tahun.
Tentang ruang terbuka untuk publik? Sutiyoso punya cara sendiri, yang mahal dan tidak biasa. Itulah yang terjadi ketika ia memerintahkan pemagaran kawasan seputar Monumen Nasional (Monas) di jantung kota Jakarta. Alasannya, Monas harus menjadi paru-paru kota yang bebas dari pedagang kaki lima dan injakan pengunjuk rasa yang merusak taman di sekeliling tugu itu.
Padahal, sejak zaman Daendels, yang menjadikannya area latihan militer dua abad silam, bekas kubangan kerbau ini tak pernah dipagar. Taman seluas 100 hektare tepat di depan Istana Merdeka itu dulunya disebut Koningsplein (Lapangan Raja) dan semua orang bebas berkeliaran di dalamnya.
Tapi Sutiyoso mengubah semua itu. Di sekeliling Monas dibangun pagar setinggi hampir tiga meter, dengan biaya Rp 9 miliar. Ribuan pedagang kaki lima, yang memadati kawasan ini setelah jatuhnya Presiden Soeharto, terpaksa menyingkir. Hanya 647 orang di antara mereka yang masih beruntung memperoleh tempat berdagang di sudut-sudutnya.
Bagi Aa Kresna, tukang foto keliling yang sudah 20 tahun beroperasi di Monas, pemagaran itu adalah malapetaka. Dulu, paling sedikit dia bisa memotret lima orang sehari dengan tarif Rp 20 ribu per orang. Tapi, sejak kawasan ini dipagar, pendapatannya menurun drastis. "Sudah untung kalau ada satu," katanya.
Saman, sais delman Monas, dulu bisa mengitari Monas sepuluh kali dalam sehari dengan penumpang penuh dan tarif Rp 10 ribu sekali putaran. Kini penumpang turun lebih dari separuhnya.
Kendati begitu, Rahayu, warga yang datang ke Monas, mengaku merasa nyaman dengan adanya pagar itu. "Anak-anak saya bisa lari-larian di tengah jalan, tidak khawatir kalau ada mobil," ujarnya.
Dengan pagar itu, Sutiyoso sudah punya rencana untuk Monas. Juli mendatang, ia akan melepas sepuluh ekor rusa tutul yang diambil dari pekarangan Istana Bogor. Dan kini taman Monas adalah kawasan angker yang dijaga 300 petugas ketenteraman dan ketertiban (tramtib) setiap harinya.
Tak hanya Monas. Di selatan Jakarta, Sutiyoso melanggengkan pasar seluas 2.400 meter persegi di atas area Taman Puring. Taman penuh pepohonan tinggi ini semula hanya menjadi tempat para pedagang beristirahat, tapi belakangan menjadi pasar. Haji Raffei, kakek 64 tahun yang dibesarkan di dekat taman ini, menyaksikan betapa dalam kurun waktu yang pendek Taman Puring bersalin wajah.
Taman ini dibangun pada 1948 oleh Pembangunan Chusus Kebayoran, dalam rangkaian proyek pembangunan kota satelit Kebayoran. Bersama Taman Puring, dibangun pula dua taman skala kota, Taman Blok M dan Taman Masjid Al-Azhar, serta 144 taman lingkungan di setiap blok perumahan, dari Blok A sampai Blok S. Sejak 1968, Taman Blok M telah beralih fungsi menjadi terminal bus dan hanya menyisakan secuil lahan yang dikenal sebagai Taman Christina Martha Tiahahu.
Ketika pertama kali dibangun, Taman Puring masih ditumbuhi pohon karet dan pohon puring. Untuk melengkapinya, dibuatlah arena bermain anak-anak. Sebagian besar warga yang berdomisili di Gandaria dan Kebayoran Lama memanfaatkan taman ini untuk berekreasi. Karena hampir setiap hari taman itu dikunjungi warga, pedagang pun lambat-laun berdatangan.
Krisis ekonomi sejak 1997 menggiring pedagang kaki lima berjualan tetap di taman itu. Taman itu pun sesak oleh ratusan kios yang menjual aneka barang loakan. "Tidak satu pun warga Betawi yang memiliki kios di lokasi itu. Hampir semuanya adalah pendatang," kata Haji Raffei.
Pada pertengahan 2002, warga Kebayoran Baru digemparkan oleh peristiwa terbakarnya pasar loak Taman Puring. Tidak kurang dari 580 kios ludes dilalap api. Tapi, dua pekan lalu, Gubernur Sutiyoso meresmikan bangunan baru Pasar Taman Puring, yang dibangun dengan dana tak kurang dari Rp 10 miliar. Kini Taman Puring tinggal kenangan, menjadi pasar resmi dengan lebih dari 700 kios.
Sri Budiastuti, Kepala Suku Dinas Pertamanan Jakarta Selatan, mengatakan pemerintah daerah sadar adanya kesalahan penggunaan lahan di lokasi tadi. "Pemerintah daerah akan tetap mempertahankan tempat itu sebagai taman," katanya. Namun entah kapan.
Di saat taman-taman besar di Ibu Kota bersalin rupa, Sutiyoso justru mencanangkan Program Kupat Kumis, taman untuk permukiman kumuh padat dan kumuh miskin. Program yang dimulai dua tahun silam itu, menurut Setiawan Kanani, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, akan melibatkan partisipasi rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) di seluruh Jakarta?untuk mengelola dan memelihara taman di lingkungan masing-masing.
Taman seluas 300 sampai 400 meter persegi itu akan dibangun di setiap kecamatan di Jakarta. Artinya, akan ada 43 taman Kupat Kumis di kota ini. "Pemerintah akan membeli tanah seluas itu dari penduduk. Jadi bukan menggusur," kata Sutiyoso.
Belum lagi taman-taman itu terlaksana, Sutiyoso datang dengan gagasan anyar: mulai 26 Januari 2003, masyarakat Jakarta dilarang berolahraga di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Semula, setiap Minggu pagi, sepanjang jalur cepat di jalan protokol Ibu Kota ini tertutup bagi kendaraan bermotor. Di sanalah warga Ibu Kota berolahraga: joging, jalan kaki, senam, atau bersepatu roda.
Menurut Setiawan Kanani, tujuan ditutupnya jalur Sudirman-Thamrin untuk berolahraga adalah untuk menggiring masyarakat ke kawasan Monas di hari Minggu. "Masa, jalanan dibuat untuk olahraga?" katanya. Pelarangan itu menyulut kecaman dari warga Ibu Kota dan memaksa Pemerintah Daerah DKI menunda keputusannya.
Begitulah. Satu demi satu ruang terbuka untuk publik di Ibu Kota dipereteli oleh pemerintah sendiri. Tiga ruang publik besar, Monas, Kemayoran, dan Gelora Bung Karno, telah diterkam gedung-gedung yang justru dibangun oleh pemerintah sendiri.
Idealnya, dengan luas 65 ribu hektare, Jakarta memiliki sedikitnya 30 persen area ruang publik atau sekitar 19.500 hektare. Tapi, menurut data Dinas Tata Kota DKI, sekarang ini hanya ada sekitar 6.500 hektare ruang terbuka. Ruang terbuka ini, dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah DKI, direncanakan mencapai 9.544 hektare dalam kurun waktu tujuh tahun mendatang.
Padahal, menurut Suryono Herlambang, data luas ruang terbuka yang dipaparkan Pemda DKI masih patut dipertanyakan. "Saya curiga itu sudah termasuk lapangan golf yang hijau dan terbuka," katanya.
Suryono menganggap Sutiyoso dan jajarannya sebenarnya tak punya konsep jelas tentang ruang publik. Di Kota Jakarta, menurut dia, ada banyak ruang yang bisa difungsikan menjadi ruang terbuka yang bebas dan nyaman. "Kolong-kolong jembatan dan jalan layang, sekitar penampungan air, dan median jalan adalah ruang-ruang terbuka yang bisa diubah menjadi taman," kata Suryono.
Kendati begitu, jika tidak kreatif, memaksa hadirnya ruang-ruang terbuka bisa berakibat buruk bagi warga Ibu Kota lainnya. Jaringan Anti Penggusuran mencatat bahwa selama tahun 2001 Gubernur DKI Jakarta bersama jajaran aparatnya telah menggusur lebih dari 16 ribu keluarga. Mereka adalah keluarga tukang becak, pedagang kaki lima, dan warga miskin lainnya. Mereka tak hanya kehilangan ruang publik, tapi juga bahkan ruang pribadinya.
Tomi Lebang, Fadjar W.H., Dimas Adityo, dan Suseno (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo