Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah apakah benar-benar ada cahaya harapan di ujung lorong kontroversi hilal-hisab selama ini. Yang jelas, Selasa siang akhir bulan lalu, di aula kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, sebuah alternatif diharapkan dapat meredakan kontroversi yang kerap membuat bingung masyarakat kala menetapkan awal puasa (Ramadan) dan Lebaran (Idul Fitri) itu.
Memetik pelajaran dari seorang ahli astronautika Prancis, Thierry Legault, Agus Mustofa, penggagas alternatif ini, lalu menawarkan rukyat qabla ghurub (penghitungan sebelum matahari terbenam). Agus menetapkan definisi hilal sebagaimana definisi bulan baru astronomi, yaitu bulan baru terjadi setelah konjungsi. Konjungsi adalah peristiwa segaris atau sebidangnya posisi bumi, bulan, dan matahari di langit. "Ini penanda yang tidak bisa dibantah bahwa bulan lama sudah habis dan bulan baru akan datang," ujar Agus.
Agus berupaya menjembatani dua kutub yang berbeda dalam penentuan hilal. Dalam imkanur rukyat yang dipakai kalangan nahdliyin, hilal adalah bulan setelah konjungsi yang kelihatan mata, minimal setinggi dua derajat dari horizon dan usia bulan delapan jam. Sedangkan Muhammadiyah dengan wujudud hilal beranggapan bulan baru muncul setelah konjungsi yang wujud di atas horizon.
Ide rukyat qabla ghurub berawal ketika mantan wartawan itu mendengar keberhasilan ahli astronautika Prancis, Legault, yang berhasil merukyat (dengan teleskop) hilal Ramadan 1434 Hijriah saat ijtimak (konjungsi) pukul 09.14 waktu Prancis (14.14 WIB) pada Senin, 8 Juli 2013, dengan jarak sudut matahari-bulan 4,6 derajat dari Elancourt, pinggiran Kota Paris. Mengetahui hal itu, Agus serta-merta menghubungi Legault.
"Menurut saya, keberhasilan Legault itu bisa menjadi solusi yang menarik dalam penentuan awal bulan Islam," kata Agus. Ia juga mengundang Legault dalam workshop dan paparan di Surabaya dan Jakarta. Keberhasilan Legault adalah rukyatnya terhadap hilal Jumadil Awal 1431 H pada Rabu, 14 April 2010, dari Montfaucon, Lot, Prancis, dengan elongasi (jarak matahari dan bulan) 4,554 derajat.
Kriteria ini tidak melibatkan horizon yang menjadi acuan dalil imkanur rukyat dan wujudul hilal. "Kelebihannya tidak bergantung pada subyektivitas lokasi dan pengamat," ujarnya. Sebagai pembandingnya adalah foto antara bulan lama dan bulan baru.
Dengan kriteria sederhana itu, Agus mengatakan tidak akan terjadi penggenapan lebih dari 24 jam ke waktu magrib sejak terjadinya konjungsi. Magrib merupakan penanda hari baru dalam kalender Islam. "Hasil rukyat dan hisab insya Allah sama. Ini merupakan jalan tengah yang tidak mengalahkan hisab atau rukyat," ujarnya.
Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan metode rukyat qabla ghurub memberi harapan untuk menyatukan perbedaan antara penganut hisab dan penganut ruyat. "Tapi di satu sisi juga meradikalisasi," ucapnya.
Ia mencontohkan kasus penetapan Ramadan 1435 Hijriah. Pada Jumat, 27 Juni 2014, konjungsi terjadi pukul 15.09.39 WIB dengan elongasi di Pelabuhan Ratu 4,496 derajat. Elongasi ini masih di bawah rekor Legault, 4,554 derajat. Namun, pada pukul 17.00 WIB, elongasi di Pelabuhan Ratu membesar menjadi 4,602 derajat, di atas rekor Legault, sehingga ada harapan untuk dapat dirukyat dengan teleskop Legault meskipun masih bergantung pada keadaan cuaca.
"Bila hilal dapat dilihat saat ijtimak atau beberapa waktu setelah ijtimak hingga terbenam matahari dan diterima sebagai rukyat yang sah oleh pemerintah dan masyarakat pendukung rukyat, perbedaan dapat dihindari," ujar guru besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan KaliÂjaga itu.
Namun rukyat qabla ghurub yang semata-mata berdasarkan konjungsi, menurut Syamsul, juga tak lepas dari masalah. Masalah pertama adalah konjungsi tidak dapat dirukyat jika elongasi sangat kecil. Masalah kedua, meskipun konjungsi dapat dirukyat dengan teleskop, saat matahari tenggelam bisa saja bulan telah lebih dulu terbenam atau bulan sudah di bawah ufuk.
Tidak terpenuhinya syarat penampakan hilal setelah matahari terbenam itu juga yang membuat Ahmad Ghazalie Masroeri, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menolak dalil rukyat qabla ghurub meskipun tidak menafikan penggunaan teknologi. "Kami sudah biasa menggunakan teknologi setiap rukyat," katanya. Bahkan, dia menambahkan, NU memiliki teleskop seharga Rp 600 juta yang ditempatkan di masjid di Semarang. Ia membandingkan dengan harga teleskop Legault senilai seratusan juta.
Menurut Ghazalie, rukyat qabla ghurub menyalahi konsep utama bulan baru, yaitu pergantian bulan ditandai oleh penampakan hilal sesaat setelah matahari terbenam di hari terjadinya ijtimak. "Rukyat harus ketika terbenam matahari. Qabla ghurub tidak kuat karena mencederai rukyat sejatinya," ujarnya.
Ghazalie mengatakan, untuk menyatukan umat, upaya yang bisa dilakukan buat menjembatani hisab dan rukyat adalah dengan menggunakan dalil imkanur rukyat sebagaimana selama ini dijalankan. Sedangkan Syamsul menekankan pada penerbitan satu kalender Islam pemersatu. Kalender pemersatu penting karena ada ibadah Islam yang pelaksanaannya lintas negara. "Kita beribadah di satu tempat, tapi penandanya di tempat lain, seperti puasa Arafah," katanya.
Erwin Zachri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo