Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA jagoan matematika itu berdiri berjejer di depan papan tulis. Lawan mereka terpampang di depan mata masing-masing: dua buah soal perkalian kuadrat. Mereka harus adu cepat menyelesaikannya dengan metode perhitungan berbeda.
Dalam dua menit, pemenangnya tampak. Gung Kinaptyan, juara kelas VI Sekolah Dasar Regina Pacis, Bogor, tersenyum sambil mengibaskan sisa kapur di tangannya. Teman sekelasnya, Samuel Wirajaya, pemenang kompetisi matematika terbuka tingkat SD se-Jabodetabek, masih berkutat menyelesaikan soal.
Kamis pekan lalu, guru mereka, Fransiska Ephi Sutisna, ingin membuktikan bahwa ada cara lain untuk menghitung perkalian selain cara tradisional, yaitu dengan mengalikan dari atas ke bawah, lalu menjumlahkannya, yang sudah puluhan tahun diajarkan di sekolah. Itulah cara yang dipakai Gung, dengan mengurutkan secara mendatar dari kiri ke kanan.
Ternyata, kata Ephi, ”Metode yang dipakai Gung memang lebih cepat.” Siswa-siswi SD Regina Pacis menyebut metode itu Metris alias Metode Horisontal. Sudah setahun terakhir Ephi mengajarkan metode mencongak dari kiri ke kanan seperti itu kepada murid-muridnya. Metode baru itu ia pelajari saat kuliah di Fakultas Ilmu Keguruan, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, tahun lalu. Lantaran ia menganggap metode ini lebih cepat dan mudah dipahami, ia melakukan uji coba pada murid-muridnya.
Metris awalnya digagas oleh Stephanus Ivan Goenawan, 32 tahun, dosen Fakultas Teknik Mesin, Unika Atma Jaya, Jakarta. Ivan tergerak menyusun Metris karena melihat keterbatasan metode lama. ”Metode itu hanya mengembangkan kemampuan analisis yang lebih meletakkan landasan kemampuan numeris dan logika pada siswa,” ujarnya. Alhasil, proses pengajaran dengan metode vertikal hanya mengembangkan kerja otak kiri saja. Sedangkan Metris bisa berfungsi untuk membentuk mental aritmatika yang merangsang kreativitas.
”Kedua metode sebenarnya saling bersinergi kalau diterapkan,” kata Ivan. Dengan menggunakan Metris, para siswa tak hanya mempunyai kemampuan numeris dan logika, tapi juga memiliki kepercayaan diri dan daya kreativitas tinggi.
Metode yang amat membantu siswa ini adalah buah kegemaran Ivan yang senang bereksperimen menyelesaikan soal-soal aritmatika sejak di bangku SMP Bruderan, Purworejo, Jawa Tengah. Ketika itu ia kerap mencari jalan sendiri karena tak pernah puas dengan cara gurunya menjawab soal. Dalam pencarian, ia menemukan banyaknya keteraturan angka dalam setiap soal yang diberikan gurunya. ”Sejak itu saya mulai menggunakan segitiga paskal dan notasi pagar, sebagai cara menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Ketertarikan pada aritmatika pula yang membuat Ivan memilih kuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Enam tahun lalu, Ivan mulai merumuskan metode arimatika horizontal secara sistematis. Tonggaknya adalah artikelnya yang diterbitkan di jurnal internal Unika Atma Jaya. Tulisan itu menarik perhatian sejumlah koleganya di Jurusan Matematika FKIP universitas tersebut. Ia kemudian diundang untuk berbicara dan mendiskusikan metode itu.
Metode yang masih bersifat teoretis itu sempat terbengkalai lantaran Ivan harus menyelesaikan studi S-2 di Institut Teknologi Bandung. Di Bandung pula ia beruntung berjumpa Alexander Agung, 28 tahun, sesama penggemar matematika. Bersama kawan kuliahnya itu ia menyusun modul praktis pengajaran Metris. pada 2005, begitu modul itu rampung, Ivan dan Alexander menggelar pelatihan bagi para guru SD dan SMP. Sebelumnya, mereka sempat mempresentasikan metode tersebut ke sejumlah dosen di FMIPA UI. Hasilnya? ”Metode itu diterima sebagai sebuah metode pembelajaran baru yang menarik untuk aritmatika,” kata Alexander yang juga dosen di STEKPI, Jakarta selatan.
Melalui situs http://sigmetris.com, kedua sahabat itu memasyarakatkan temuan tersebut. Mereka juga menggelar sejumlah pelatihan bagi guru-guru SD, SMP, dan SMA. Sejauh ini, metode itu baru diterapkan di SD Regina Pacis, Bogor. Beberapa sekolah lain segera menyusul setelah pada Desember ini mereka menggelar pelatihan untuk guru-guru SD. ”Tahun depan baru direncanakan kursus bagi anak-anak,” ujar Alexander.
Sekilas metode ini mirip Sempoa, metode berhitung kuno yang menggunakan alat hitung dari Cina. Sempoa termasuk populer di Indonesia karena mengandalkan kecepatan berhitung. Menurut Alexander, Sempoa dan Metris memiliki kesamaan, yaitu mencapai tahap perhitungan mental aritmatika dan mengandalkan konsep asosiasi posisi. Bedanya, dalam Metris konsep asosiasi posisi dipelajari secara langsung dengan mengenalkan konsep asosiasi posisi dengan notasi pagar kepada para siswanya. ”Sempoa memiliki alur sendiri dan tak sama dengan pendidikan sekolah, sementara Metris disesuaikan dengan program pelajaran sekolah,” ujarnya.
Perbedaan yang lain, menurut Alex, Metris membuat anak bisa menjelaskan langkah yang diambil dengan memakai simbol matematika seperti yang digunakan di sekolah pada umumnya. Sedangkan Sempoa tidak. Sempoa, menurut Ivan, membuat anak cenderung individual dan lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses.
Siswa yang ikut Sempoa kerap tak bisa menjelaskan proses perhitungan yang dilakukannya kepada orang lain. Penyebabnya lantaran dia tidak memakai simbol matematika yang diformalkan. Alat peraga berupa manik-manik biasanya cuma bersifat sementara. ”Dalam prakteknya, ia harus memvisualisasikannya dalam imajinasi, dan tak semua anak bisa seperti itu,” kata Ivan.
Fakta ini kerap menimbulkan kesalahpahaman. Orang tua sering menyalahkan guru karena menilai jawaban anaknya salah. Guru biasanya berkukuh karena tidak tahu apakah jawaban itu buah pikir si anak atau hasil menyontek. Soalnya, si anak tak bisa menjelaskan prosesnya. Maka, kata Ivan, ”Penggunaan Metris bisa menjadi jembatan antara Sempoa dan metode vertikal yang dikembangkan sekolah.”
Di SD Regina Pacis, percobaan menggunakan Metris sejauh ini berhasil mengubah citra matema-tika yang menyeramkan. Dalam percobaan, para murid awalnya diminta menyelesaikan soal aritmatika dasar dengan metode lama, yaitu perhitungan dari atas ke bawah. Setelah itu, mereka diberi soal yang harus diselesaikan dengan Metris. Ternyata para murid bisa mengerjakan soal dengan lebih cepat dan akurat. Secara perlahan nilai mereka pun membaik. Tak mengherankan bila mereka kini menjadi lebih antusias terhadap matematika. ”Mereka menyukainya karena lebih cepat dan mudah,” ujar Ephi.
Beberapa siswa yang dulu fobia alias takut terhadap pelajaran matematika kini berbalik. Maria Yohana salah satunya. Nona kecil ini dulu selalu grogi bila pelajaran matematika tiba. Setiap kali ada ulangan matematika dadakan, nilainya tak lebih dari angka 6. Kini, semua itu tinggal cerita. Nilai 10 telah biasa ia terima. Maria bahkan sudah berani mengacungkan tangan, menawarkan diri untuk maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal yang diberikan guru.
Siswa yang berbakat matematika kini juga semakin kreatif menyelesaikan soal. Beberapa anak menciptakan rumus-rumus sendiri untuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Begitu sukanya mereka pada matematika sampai-sampai meminta guru mendirikan klub matematika di sekolah. ”Saya membiarkan mereka berkreasi menyelesaikan soal dengan cara mereka sendiri. Asalkan logika berhitungnya benar,” ujar Ephi.
Widiarsi Agustina dan Arif Fadillah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo