Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian besar kasus pemerkosaan 1998 merupakan gang rape.
Lokasi terjadinya kekerasan seksual 1998 antara lain di rumah, jalan, dan depan tempat usaha.
Insiden pemerkosaan 1998 ini menciptakan ketakutan dan trauma berkepanjangan.
JAKARTA – Pegiat demokrasi mendesak pemerintah segera menuntaskan penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, di antaranya kekerasan seksual terhadap ratusan perempuan warga Indonesia keturunan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Sebab, hingga saat ini, pemerintah belum juga berhasil mengungkap pelaku pemerkosaan 1998 itu dan mengadilinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu seharusnya disertai ketegasan pemerintah, di antaranya Kejaksaan Agung, untuk menuntaskan penyelesaian yudisial peristiwa kekerasan seksual tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemerintah seharusnya segera menemukan pelaku dan mengadili akibat perbuatannya," kata Usman, Rabu, 17 Maret 2023.
Usman berpendapat, peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan dari warga Indonesia keturunan Tionghoa itu jelas-jelas melanggar hak setiap warga negara untuk dapat hidup dengan aman. Insiden itu juga menciptakan iklim ketakutan dan trauma berkepanjangan. "Para pelaku telah melanggar hak-hak kebebasan, integritas fisik, martabat, dan psikologis para korban," ucapnya.
Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menyatakan kegagalan pemerintahan Jokowi menuntaskan kasus tersebut semakin memperkuat adanya ketidakadilan. Selain itu, kata dia, kegagalan tersebut menjadi sinyal negatif bahwa pelanggaran HAM dapat dilakukan tanpa konsekuensi. "Terlebih, peristiwa kekerasan seksual ini juga terjadi secara sistematis dan terencana," ujarnya.
Penjagaan yang dilakukan sejumlah anggota TNI dari aksi penjarahan dan perusakan di kawasan pertokoan Pondok Gede, Jawa Barat, 13 Mei 1998. D&R/Ijar Karim
Insiden kekerasan seksual pada 1998 ini terjadi di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa untuk menumbangkan Orde Baru. Saat unjuk rasa mahasiswa terjadi di banyak daerah yang mendesak Presiden Soeharto mundur, muncul pula kerusuhan dan penjarahan hingga pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa oleh kelompok masyarakat yang tak bertanggung jawab.
Hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 mendapati 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Namun diperkirakan masih ada korban yang belum terungkap.
Lokasi terjadinya kekerasan seksual tersebut antara lain di rumah, jalan, dan depan tempat usaha. TGPF juga menemukan sebagian besar kasus pemerkosaan ini merupakan gang rape, yaitu korban diperkosa sejumlah orang secara bergantian. Kebanyakan kasus pemerkosaan tersebut dilakukan di hadapan orang lain.
Presiden Joko Widodo sebenarnya menindaklanjuti berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu itu dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPPHAM), akhir tahun lalu. Namun pegiat demokrasi mengkritiknya karena upaya itu diduga hanya akal-akalan pemerintah untuk menghindari penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara yudisial.
Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden (KSP), Mugiyanto, mengatakan pemerintah sudah berkomitmen menuntaskan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Adapun 12 kasus pelanggaran HAM berat tersebut antara lain kasus genosida setelah Gerakan 30 September (1965-1966); tragedi Tanjung Priok, Jakarta (1984); tragedi Talangsari, Lampung Timur, Lampung (1989); tragedi Rumoh Geudong Pidie, Aceh (1989-1999); penculikan aktivis (1997-1998); kerusuhan Mei (1998); tragedi Trisakti dan Semanggi I-II, Jakarta (1997-1998). Selanjutnya pembantaian dukun santet di Jawa Timur (1998-1999); insiden Simpang KKA, Aceh (1999); tragedi Timor Timur (1999); tragedi Abepura, Papua (2000); kasus Wasior-Wamena, Papua (2001-2003); kasus Jambo Keupok, Aceh (2003); dan tragedi Paniai, Papua (2014).
Mugiyanto menyatakan konstruksi kasus kekerasan seksual 1998 masuk rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang akan diselesaikan secara non-yudisial sesuai dengan rekomendasi TPPHAM. Meski begitu, ia memastikan pemerintah tetap akan menerapkan penyelesaian yudisial kasus tersebut.
"Pada saat penyelesaian non-yudisial dijalankan, mekanisme yudisial tidak boleh berhenti," kata Mugiyanto. "Penyelesaiannya akan tetap dijalankan dengan dua mekanisme, yudisial dan non-yudisial."
TPPHAM sudah menyerahkan rekomendasi atas pelanggaran HAM berat masa lalu ke Jokowi, akhir tahun lalu. Isi rekomendasi itu di antaranya meminta pemerintah mengungkap kebenaran dalam pelanggaran HAM berat masa lalu dan mendorong negara mengakui kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut.
Jokowi merespons rekomendasi ini dengan mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini berjanji akan memastikan pemulihan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
"Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," kata Jokowi, Januari lalu.
Jokowi juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Instruksi ini berisi perintah Jokowi kepada 19 kementerian dan lembaga untuk menindaklanjuti rekomendasi TPPHAM.
Mugiyanto menjelaskan, pemerintah membentuk tim pemantau pelaksanaan rekomendasi tersebut. "KSP juga bertugas mengawal kebijakan Presiden untuk penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu ini," ujarnya.
Kerusuhan di Jalan Hasyim Azhari, Jakarta, 14 Mei 1998. D&R/Bodhi C.H.
Penanganan Kasus Berbasis Perspektif Korban-Gender
Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Theresia Iswarini, menekankan bahwa pemerintah mesti mempertimbangkan perspektif korban-gender dalam pelaksanaan rekomendasi TPPHAM. "Karena untuk korban kekerasan seksual dibutuhkan penanganan khusus. Diperlukan perspektif korban-gender untuk mencegah rasa trauma korban timbul kembali," ucap Theresia.
Anggota staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Syahar Banu, mengatakan pemerintah juga harus memberikan ruang aman bagi korban kekerasan seksual 1998. Privasi dan keamanan korban pun sangat penting untuk mendukung penuntasan kasus ini secara maksimal.
"Yang saya tahu bahwa belum semua korban sudah terdata. TPPHAM juga mengakui sulit untuk mendata korban," kata Banu.
Banu mengatakan Kontras juga mendorong pemerintah mengikutsertakan pihak yang memiliki kemampuan pendekatan berbasis perspektif gender dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual 1998. "Sehingga korban yang akan didata tidak ragu-ragu untuk dipulihkan," ujarnya.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo