ANAK-anak dan remaja tak hanya merepotkan orangtua. Bila mereka
menyimpang dari perkembangan normal, para ahlil pun lantas
tergugah mengadakan seminar, penelitian, dan diskusi. Mencari
tahu sebab musababnya.
Di Jakarta, 21- 24 November ini sejumlah ahli dari Asia Tenggara
dan Selatan berseminar tentang ketelantaran anak-anak. Antara
lain dibicarakan anak-anak yang terpaksa putus sekolah, yang
harus memburuh, yang menjadi korban kejahatan seks.
Di Indonesia setidaknya ada dua penelitian yang mencoba
mengungkapkan ketelantaran dan kesejahteraan anak. Benar,
lingkup masalah tak seluas yang dibicarakan dalam seminar. Tapi
setidaknya menyangkut soal-soal pokok yang mempengaruhi
perkembangan anak di kemudian hari.
Penelitian Fakultas Psikologi UGM misalnya, yang dibicarakan
juga dalam seminar para ahli di Asia Tenggara itu, mengkhususkan
pada masalah putus sekolah. Diketahui bahwa tak hanya di desa,
tapi juga di kota-kota besar, banyak anak putus di SD dan
sekolah menengah. Tentu ini mengundang pertanyaan apa sebenarnya
yang terjadi dengan mereka.
Sebuah contoh ada di sudut Jakarta Selatan, di kampung
Pengadegan. Sejumlah anak putri Betawi ternyata hanya sempat
duduk di kelas III SD. Bukan karena mereka bodoh bukan pula
karena orangtua mereka tidak mampu. Tapi sekolah dipandang
membuang waktu. Anak-anak perempuan, kata para orangtua itu,
kalau sudah pandai mengaji dan membaca surat kabar, cukup. Yang
harus mereka lakukan kemudian, belajar menjadi bu rumah tangga.
Artinya, bisa mencuci pakalan dan memasak.
Anak laki-laki diberi kesempatan lebih jauh: sampai tamat SMP.
Alasannya, anak laki-lakilah yang harus cari nafkah, sehingga
perlu bisa bergaul dengan segala lingkungan. Untuk itu SMP
dianggap cukup. Yang kemudian harus dilakukan anak-anak itu
adalah membantu ayahnya tunggu warung, cari dagangan di pasar,
membantu jual hasil kebun, dan belajar bagaimana membuat tembok.
Itu semua pelajaran yang diangap langsung ada gunanya, daripada
duduk di SMA cuma membuang uang. Alasan-alasan itulah yang
dikemukakan Pak Hasan, misalnya, salah seorang bapak yang
anak-anaknya putus sekolah.
Untuk mengungkap hal seperti itulah Fakultas Psikologi UGM,
selama enam bulan, tahun ini turun ke lapangan. Ditentukan empat
jenis lingkungan yang kira-kira mencerminkan lingkungan yang
ada. Lingkungan industri, desa nelayan, daerah pertanian
ngarai, dan pertanian pegunungan. Yang dijadikan tempat
penelitian: Cilacap, Yogyakarta, Bengkulu, Jakarta, dan
Semarang.
Sekitar 7 ribu anak usia 7-18 tahun ditemukan, dan didapat
sekitar 6% atau 441 putus sekolah. Angka putus sekolah terbesar
diperoleh di daerah nelayan (lebih dari 18%), angka terkecil di
kawasan industri (kurang dari 3%). Dan dari jumlah itu, sekitar
18% putus SD, sisanya putus sekolah menengah.
Diketahui kemudian, alasan ekonomi menjadi sebab utama putus
sekolah. Orangtua di Gunung Kidul, Yogyakarta, bersikap "lebih
baik uang untuk beli air daripada untuk biaya sekolah," tutur
Prof. Dr. Siti Rahayu Haditono, salah seorang peneliti dari
UGM itu.
Alasan yang lain, kurang adanya pengertian dan kurang adanya
kepercayaan orangtua terhadap fungsi pendidikan -misalnya Pak
Hasan dari Betawi itu. Faktor lain, yang terdapat di Bengkulu,
adalah faktor geografis: sulitnya komunikasi.
Yang menarik, mereka yang putus sekolah ternyata tidak
menganggur. Ada yang membantu orangtua mencari ikan. Ada yang
menjadi buruh tani. Di kawasan industri, mereka biasanya
berjualan es atau makanan lain, yang dijajakan di sekitar
pabrik.
Penelitian kedua, tentang kesejahteraan anak Indonesia,
dilakukan oleh Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik. Ini
dilakukan sejak Februari tahun lalu, cukup besarbesaran, dengan
sampel 35 ribu anak usia 0-20 tahun. Hasilnya kini masih dalam
analisa. Tapi hasil sementara, untuk bab putus sekolah, tak
terlalu menyimpan dari penelitian UGM. Diperoleh 8% anak putus
SD, dan lebih dari 43% putus sekolah menengah. Persentase putus
sekolah di pedesaan memang lebih besar.
Tapi, yang unik, dari penelitian Departemen Sosial dan BPS ini
diketahui bahwa gizi anak desa lebih baik daripada anak kota.
Padahal, kesejahteraan sosial anak kota lebih baik. Lingkungan
kota mendorong orang mengutamakan beli pesawat televisi, tape
recorder, atau rekreasi, tutur Oetari Oetarjo kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Departemen Sosial. Sementara itu,
pendidikan, bagi orang kota - dari hasi analisa sementara -
masih menjadi prioritas kesekian.
Hasil lengkap penelitian ini baru nanti akhir Desember,
diungkapkan sepenuhnya. Hasil yang kira-kira bisa menjawab
pertanyaan: bagaimana sebenarnya profil anak-anak kita di desa,
di kota, di gunung, dipantai, di mana saja.