Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GLAMOR dan kementerengan memulai kisah restoran "Ramayana" yang
dibangun Pertamina di New York tujuh tahun yang lalu. Tapi tak
bertahan lama. Restoran yang terletak di daerah mahal Manhattan
itu - dan mulai bekerja dengan modal lebih, dari $ 1 juta,
bukan saja rugi terus, tapi juga dianggap melanggar ketentuan
hukum dalam menRumpulkan modalnya.
Rupanya dalam mengumpulkan modal untuk rumah makan itu, pimpinan
Pertamina waktu itu menghubungi 54 perusahaan dan pengusaha dari
lima negara (sebagian besar dari AS) yang umumnya terdiri dari
perusahaan minyak atau berhubungan dengan bisnis Pertamina.
Direktur Utama Pertamina waktu itu, Ibnu Sutowo, menyatakan akan
mengeluarkan saham -- untuk dibeli - sebesar $ 950.000 guna jadi
pokok usaha "Ramayana." Kemudian ke-54 perusahaan itu dikontak
lagi untuk menambah sumbangan mereka. Tambahan itu sebesar $
150.000, dan untuk itu Ibnu mengeluarkan surat-surat saham baru.
Mungkin sekali tidak semua perusahaan di antara yang 54 buah itu
yang benar-benar secara bisnis "rela" buat beli saham
"Ramayana." Bahkan dikabarkan September 1969 sudah ada yang
menolak. Tapi Ibnu Sutowo kemudian mengirim surat, dengan nada
setengah mengancam agaknya, bahwa yang tidak mau beli "saham"
akan mengalami kesulitan hubungan bisnisnya di Indonesia. Sebab,
menurut sepucuk surat Ibnu, rumah-makan itu "akan membantu
pemerintah Indonesia dalam melaksanakan Repelita."
Melanggar
Jadi, tunduklah mereka. Tidak memprotes terang-terangan. Sebuah
perusahaan minyak, yaitu Atlantic Richfield, malah kemudian
mengatakan: "Karni membeli satu saham dalam proyek itu . . .
sebagai suatu investasi yang baik, khususnya dalam rangka
hubungan karni dengan pemerintah Indonesia." Soalnya, kata
jurubicara Atlantic Richfield, "kami aktif dalam kegiatan
lepas-pantai di sana."
Tapi toh usaha "Ramayana" yang dilaksanakan oleh Indonesia
Enterprise Ltd. itu (direkturnya Ibnu Sutowo) dianggap melanggar
hukum AS. The Securities & Exchange Comission (SEC) badan
pemerintah AS yang bertugas mengawasi persahaman, menyatakan
bahwa surat Ibnu tadi menyebabkan ke-54 perusahaan membeli saham
"Ramayana" untuk "kepentingan yang tak berhubungan dengan
keuntungan saham restoran itu." Lagipula, penjualan saham tadi
tidak didaftarkan ke Komisi Pengawas Peredaran Saham. Menurut UU
Saham AS tahun 1933, pendaftaran saham harus disertai data
finansiil tentang perusahaan yang menjual saham itu, serta
ramalan keuntungan yang rasionil. SEC pun menuduh Ibnu Sutowo
memberikan keterangan "palsu dan menyesatkan" tentang
saham-saham restoran tadi.
Pekan lalu, melalui advokatnya, Ibnu Sutowo menyatakan setuju
kepada keputusan hakim Mahkamah Federal di Distrik New York
Selatan, Hakim Robert Ward, yang menyebut bahwa bekas Dir-Ut
Pertamina itu telah "menyesatkan" ke-54 perusahaan pembeli saham
"Ramayana." Kabarnya itulah buat pertama kali terjadi sebuah
usaha asing mengaku salah telah melanggar hukum AS.
Bagi Ibnu sendiri yang kini dikabarkan dalam "tahanan rumah,"
pengakuan tadi tidak menyebabkan ia -- atau Pertamina - terkenai
hukuman apa-apa. Sebuah sumber di Departemen Pertambangan
mengatakan bahwa Ibnu ataupun Pertamina tak perlu membayar
sepeser pun setelah pengakuan itu. Restoran "Ramayana" itu
sendiri, menurut Dir-Ut Pertamina yang sekarang, Piet Haryono,
kalau merugi terus akan ditutup. Restoran itu terkenal rugi
memang, tapi siapa sebenarnya kini yang punya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo