Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lobi Pegiat Mendorong Hak Angket

Sejumlah pegiat demokrasi mendorong 30 legislator mengajukan hak angket. Dugaan kecurangan pemilu merupakan masalah politik.

28 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penggunaan hak angket penting untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024.

  • Jimly meminta hak angket sebaiknya diterima oleh pemerintah.

  • Timbul sikap skeptis pengajuan hak angket ini berjalan konsisten.

JAKARTA – John Muhammad dan kolega yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) tampak bersamuh dengan sejumlah pegiat demokrasi di Jakarta Selatan. Mereka bersepakat mendorong 30 legislator dari sejumlah fraksi di Senayan mengajukan hak angket dugaan kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. “Dari 30 nama, tiga nama, yaitu Irma Suryani, Masinton Pasaribu, dan Daniel Johan, menyatakan siap tanda tangan,” ujar John saat dihubungi pada Selasa, 27 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deklarator gerakan salam 4 jari itu berharap langkah ketiga legislator tersebut segera diikuti legislator lainnya. Sebab, dari berbagai peristiwa yang terjadi pada Pemilu 2024, tidak cukup apabila kewenangan untuk mengusut dan menindaklanjuti dugaan kecurangan diberikan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi (MK) saja. DPR sebagai representasi rakyat dinilai harus bertindak demi mewujudkan pemilu bersih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi protes kecurangan pilpres dalam Pemilu 2024 serta mosi tidak percaya terhadap presiden di depan kantor KPU Provinsi Jawa Barat di Bandung, Jawa Barat, 27 Februari 2024. TEMPO/Prima mulia

GIAD dipelopori oleh sejumlah pegiat demokrasi, seperti Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti; akademikus dan mantan aktivis 98, Ubedilah Badrun; Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani; Analis Politik Exposit Strategic Arif Susanto; Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo; serta Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw. Menurut mereka, hak angket perlu diajukan karena ada dugaan penggunaan kekuasaan yang tidak tepat dalam penyelenggaraan kontestasi lima tahunan itu.

Ari Nurcahyo mengatakan penggunaan hak angket penting untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024. Proses penelusuran di parlemen tetap dibutuhkan. Sebab, menurut dia, dugaan pelanggaran yang terjadi bukan hanya bersifat administratif atau sengketa hasil pemilu. “Ada proses pemilu yang jauh dari prinsip-prinsip keadilan dan demokratis,” katanya.

Dugaan pelanggaran-pelanggaran itu, misalnya, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Ari menduga pemerintah menggunakan aparat ataupun fasilitas negara untuk mengarahkan pilihan terhadap pemilih, termasuk dengan mempolitisasi bantuan sosial (bansos) yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi Presiden Joko Widodo atau Jokowi ditengarai cenderung bersikap partisan terhadap pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Gibran sendiri adalah putra sulung Presiden Jokowi. 

Ari menegaskan, dugaan proses kecurangan ini tidak bisa diselesaikan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), atau di Mahkamah Konstitusi. “Ini masalah politik. Makanya hak angket sangat dibutuhkan,” ucapnya.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Daniel Johan, menampik kabar bahwa dirinya disebut telah menyatakan sikap siap menandatangani harapan GIAD dan pegiat demokrasi dalam mengajukan hak angket ihwal dugaan kecurangan Pemilu 2024. Dia mengatakan baru mengetahui adanya maklumat dorongan yang diprakarsai koalisi masyarakat sipil. Meski begitu, Daniel mengatakan berterima kasih atas masukan dan aspirasi dari para pegiat. "Akan kami sampaikan segera kepada Fraksi PKB,” ujarnya.

Wacana pengajuan hak angket di DPR bermula dari usul calon presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo. Ganjar mengusulkan partai politik pendukungnya di DPR mengajukan hak angket guna melawan dugaan kecurangan pemilu. Hak angket ini nantinya menjadi jalan bagi legislator untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu.

Poros pasangan calon Ganjar Pranowo-Mahfud Md. tidak bisa mengajukan hak angket sendirian. Dibutuhkan dukungan partai pendukung di poros Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, di antaranya Partai NasDem, PKB, dan Partai Keadilan Sejahtera, untuk mencapai skor lebih dari 50 persetujuan anggota Dewan. Nantinya, usul penggunaan hak angket ini dilambungkan dua partai pengusung Ganjar-Mahfud di Senayan, yaitu PDIP dan PPP, setelah masa sidang DPR dibuka pada Maret mendatang.

Namun, dalam prosesnya, rencana mengajukan perlawanan melalui jalur Senayan ini sempat mendapat halangan. Dalam laporan Koran Tempo bertajuk “Lobi Meredam Ancaman Hak Angket” edisi Selasa, 20 Februari lalu, Presiden Jokowi meminta Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menemuinya di kompleks Istana Negara, Jakarta. Paloh diundang mendadak saat tengah beristirahat di pulau pribadinya, Ahad, 18 Februari lalu.

Seorang pejabat sekaligus kolega Presiden Jokowi yang mengetahui persamuhan di antara dua tokoh itu bercerita, dalam persamuhan, Presiden berpesan kepada bos Media Group tersebut agar NasDem mau menerima hasil hitung cepat dan hitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) ihwal perolehan suara dalam pemilihan presiden 2024. Pertemuan ini juga disebut-sebut membahas kemungkinan NasDem bergabung dengan poros Prabowo-Gibran.

Presiden Joko Widodo saat diambil sumpah jabatannya dalam acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2019. TEMPO/M .Taufan Rengganis

Tujuan bergabungnya NasDem dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi pengusung Prabowo-Gibran, kata pejabat itu, adalah untuk menggembosi gerakan perlawanan yang ada kemungkinan dilakukan poros Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin di Senayan. Sebab, NasDem menjadi partai yang paling memungkinkan didekati melalui lobi-lobi. “Karena kalau PKS, partai di KIM cenderung resistan dengan mereka,” ujarnya. “Kalau NasDem masuk, suara di parlemen menjadi dominan, lebih dari 50 persen.”

Pemerintahan Jokowi Diminta Menghadapi Angket

Sepekan setelah Presiden meminta Paloh menemuinya, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menemui Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin, 26 Februari lalu. Dalam pertemuan itu, Jimly membahas beberapa hal. Salah satunya usul penggunaan hak angket yang kini tengah digulirkan oleh kubu Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Jimly mengatakan hak angket sebaiknya diterima oleh pemerintah. Sebab, dalam dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo belum ada satu pun hak angket yang dipakai. “Adanya hak angket, misalnya terjadi, saya malah mengapresiasi agar dalam catatan sejarah, pada era pemerintahan Jokowi ada hak angket yang dipakai,” katanya.

Airlangga menegaskan, Golkar tidak akan mendukung pengajuan hak angket. Menteri Koordinator Perekonomian itu mengatakan hak angket merupakan hak politik DPR, bukan pemerintah.

Menanggapi hal itu, Jimly mengatakan tidak merasa pelik jika Airlangga menolak permintaan yang disampaikannya perihal hak angket. “Golkar partai pendukung pemerintah dan pendukung Prabowo-Gibran, ya mana mungkin menerima usulan hak angket,” kata Jimly melalui aplikasi perpesanan WhatsApp. Kendati begitu, Jimly berharap partai politik yang mengajukan hak angket tidak mendiktekan sikap dan pendapatnya untuk menentukan hasil resmi pemilu oleh KPU dan proses peradilan di Bawaslu dan MK. “Kita berpikir positif saja.”

Dihubungi secara terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, meski tidak dapat mengubah hasil akhir pemilu, pengajuan hak angket menjadi momok yang mampu mengancam posisi pemerintah, khususnya Presiden Jokowi. Berbagai peristiwa yang disinyalir sarat akan dugaan kecurangan pemilu, seperti pengerahan aparat keamanan, mobilisasi kepala desa, dan politisasi bansos, menjadi sejumlah di antaranya. “Kalau ini terungkap, Presiden bukan hanya akan buruk citra, tapi juga bisa terjerat pidana apabila ada unsur yang cukup,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan, meski tidak akan mempengaruhi hasil pemilu, hak angket dapat memberikan implikasi politik, terutama pada citra Presiden Jokowi sekaligus ketidakstabilan politik bagi calon penggantinya. “Secara aspek hukum memang tidak memberikan dampak signifikan. Tapi bisa membuka jalan pemakzulan kepada Presiden,” kata Herdiansyah.

Adapun guru besar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Fauzan, skeptis pengajuan hak angket ini berjalan konsisten. Menimbang pada peristiwa serupa sebelumnya, penyelidikan hak angket kadang kala layu di tengah jalan. “Penyebabnya, godaan politik kekuasaan,” kata Fauzan. “Semangatnya hanya terjadi di awal-awal.” 

ANDI ADAM FATURAHMAN | DANIEL A. FAJRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus