Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pertaruhan Kasus Polisi Beking Tambang

Sejumlah kalangan mendesak Markas Besar Polri segera mengklarifikasi kasus dugaan polisi beking tambang ilegal. Ketidaktegasan untuk menjerat aktor yang terlibat kasus ini akan memperburuk citra kepolisian. 

1 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, menilai Kepolisian RI belum serius menangani kasus dugaan beking tambang ilegal yang menyeret sederet nama perwira polisi. “Seharusnya Polri secepatnya melakukan klarifikasi kebenaran surat tersebut,” kata Bambang, kemarin. “Jadi, bukan sekadar menangkap dan memeriksa Ismail Bolong.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat yang dimaksudkan Bambang adalah dokumen “Laporan Hasil Penyelidikan Divisi Propam Biro Pengamanan Internal” dengan Nomor R/LHP/-63/III/2022/Ropaminal tertanggal 7 April 2022. Dokumen itu diteken oleh Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Propam Polri yang dipecat karena diduga membunuh ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokumen itu mengungkapkan maraknya tambang batu bara ilegal di wilayah hukum Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Polisi membiarkan praktik tersebut karena adanya dugaan uang setoran ke Polda Kalimantan Timur sampai ke Badan Reserse Kriminal Polri. Salah satu nama yang disebut menerima uang setoran itu adalah Kepala Bareskrim, Komisaris Jenderal Agus Andrianto.

Ferdy Sambo membenarkan bahwa ia pernah membikin dokumen pemeriksaan tersebut. Namun Agus Andrianto menampik tudingan bahwa ia menerima uang setoran dari penambang ilegal. “Saya mempertanggungjawabkan seluruh pekerjaan saya kepada Allah SWT, arahan Bapak Presiden, kepada Kapolri, dan tuntutan masyarakat yang sedemikian cerdas,” kata Agus, Jumat, 25 November lalu.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Agus Andrianto. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Warkat itu beredar hampir bersamaan dengan mencuatnya nama Ismail Bolong, mantan anggota intelijen Kepolisian Resor Kota Samarinda. Ismail kini kondang karena video pengakuannya tentang beking tambang ilegal viral di dunia maya pada awal November 2022.

Dalam video itu, Ismail mengaku bekerja sebagai pengepul batu bara dari konsesi tanpa izin di Santan Ulu, Marangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia menyatakan mendapat keuntungan sekitar Rp 10 miliar per bulan dari tambang ilegal itu. Uang hasil tambang ilegal itu lantas disetorkan kepada pejabat kepolisian di tingkat kepolisian resor, polda, hingga Badan Reserse Kriminal Polri.

Belakangan, Ismail kembali muncul dalam sebuah video. Kali ini, dia meralat pernyataan sebelumnya. Dia juga mengklaim dipaksa untuk membuat video pengakuan tentang setoran tambang ilegal pada Februari lalu itu. Toh, video klarifikasi Ismail ini tak meredam isu skandal beking tambang yang kadung memanas.  

Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan belum mengetahui secara rinci isi laporan hasil penyelidikan tersebut. Dia mengatakan hanya mendapat laporan singkat. Karena itu, dia memerintahkan bawahannya untuk menangkap Ismail Bolong. “Supaya lebih jelas, lebih baik tangkap saja,” kata Kapolri kepada majalah Tempo, Jumat, 18 November lalu.

Lokasi tambang ilegal di Desa Makarti, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dok. TEMPO

Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Badan Reserse Kriminal Polri telah dua kali memanggil Ismail untuk diperiksa. Namun Ismail tidak datang dengan alasan sakit. Kemarin, Direktur Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Pipit Rismanto, mengatakan akan kembali memanggil Ismail. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat yang bersangkutan hadir, ya, karena pengacaranya sudah menghubungi. Kondisinya mungkin lagi kurang sehat,” kata Pipit, Rabu, 30 November lalu.

Bambang Rukminto menilai upaya polisi menangkap Ismail Bolong justru bisa dilakukan belakangan. “Yang lebih penting adalah mengungkap kasus ini secara transparan kepada publik dan menjerat semua aktor yang diduga terlibat,” kata dia.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan polisi bisa menjemput paksa Ismail Bolong. Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kata dia, upaya jemput paksa bisa dilakukan karena Ismail sudah dua kali tidak datang.

Fickar berharap Polri tidak begitu saja percaya dengan alasan Ismail mangkir. Dia khawatir polisi justru terkesan tak tegas memanggil Ismail sehingga publik bisa semakin curiga terhadap keseriusan polisi dalam membongkar kasus tersebut. “Aturannya sudah jelas, panggil dua kali, kalau tidak datang, jemput paksa,” kata Fickar.

Sebelumnya, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Albertus Wahyurudhanto, menilai kepolisian harus mengklarifikasi kebenaran dokumen yang beredar di Internet. Kalau informasi dalam dokumen itu benar, kata dia, Polri harus menindaklanjutinya. “Kalau tidak benar, juga perlu diklarifikasi agar tidak menimbulkan spekulasi,” kata Albertus.

ROSSENO AJI |HAMDAN CHOLIFUDIN ISMAIL | EKA YUDHA SAPUTRA | FENTY GUSTINA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus