Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA, berjumlah separuh dari sekitar 2.500 undangan, rupanya
tak menduga. Presiden Soeharto, dalam membacakan sambutannya,
ternyata menyinggung juga soal "Normalisasi Kehidupan Kampus."
Itu terjadi di Gedung Negara Surabaya, akhir November lalu dalam
acara puncak peringatan 25 tahun Universitas Airlangga,
Surabaya.
Soal NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) memang menarik lagi.
Meskipun di sebagian besar universitas (31 dari 47 buah) ia
dilaporkan berjalan lancar, suara mahasiswa -- terutama dari UI
dan ITB -- masih terdengar menolak.
Setelah beberapa bulan kabar tentang itu tak terdengar, di
kampus UI Salemba misalnya, muncul poster-poster yang menghantam
BKK (Badan Koordinasi Mahasiswa) lembaga yang sah berdasar NKK.
Itu bermula dari kasus Triennial Intervarsity Games di
Kualalumpur (TEMPO, 17 November 1979), yang menyebabkan 6
mahasiswa diskors rektor UI. Dan tak hanya di kampus, mahasiswa
UI -- juga kemudian ITB -- melaporkan keresahan mereka soal
penerapan NKK tersebut ke DPR.
Ulah mahasiswa ini sempat mendorong pihak UI dan P&K, untuk
bersama-sama mengadakan satu konperensi pers. Berlangsung sore
hari, di Departemen P&K, pertengahan November lalu. Rektor UI
Prof. Dr. Mahar Mardjono lengkap membawa Purek, Dekan dan
Pudeknya. Di situ kembali ditegaskan oleh Menteri Daoed Joesoef,
bahwa NKK tetap akan dijalankan. Sempat pula dikatakannya, bahwa
sebagai bagian masyarakat yang mempunyai aturannya sendiri
universitas bisa saja menjatuhkan sanksi terhadap pelanggarnya.
Yang menarik kemudian ialah yang terjadi di DPR 24 November 25
anggota DPR dari FPP (Fraksi Persatuan Pembangunan) dan FDI
(Fraksi Demokrasi Indonesia) mengajukan usul interpelasi yang
pada pokoknya menanyakan kepada pemerintah apakah kebijaksanaan
mengenai kampus tak seyogyanya ditinjau kembali. Usul
interpelasi ini -- hak DPR meminta keterangan langsung dari
Presiden mengenai suatu kebijaksanaan pemerintah -- memang
dijamin dalam Tata Tertib DPR Ayat 10 Pasal 1.
Tapi mengapa FKP (Fraksi Karya Pembangunan) di antara anggotanya
tak ikut menandatangani usul interpelasi tersebut? "FKP tak
pernah ditawari usul itu," jawab Oka Mahendra SH, dari FKP
kepada Margana dari TEMPO. Ia pun menilai bahwa usul tersebut
memang sesuai hak anggota DPR, "tetapi sasarannya kurang memadai
dibanding senjatanya."
Dan sementara, Kamis 29 November sejumlah besar mahasiswa ITB
memperingati 19 tahun KM (Keluarga Mahasiswa) ITB di kampusnya,
sekitar 70 mahasiswa UI bertamu lagi ke DPR. Tak ada pernyataan
baru, liwat pembicara mereka, mahasiswa UI itu hanya
menyampaikan terima kasih. "FPP telah memahami aspirasi kami dan
ikut memperjuangkan kepentingan kami," kata wakil mahasiswa.
Dua hari kemudian di kampus UI Salemba ada acara yang disebut
"Apel Siaga". Agak berbeda dengan acara kumpul-kumpul yang
semacam yang terjadi pada hari-hari sebelumnya, hari itu lebih
banyak dibacakan puisi. Maklum, di antara mereka hadir penyair
Rendra yang pertengahan November lalu mementaskan drama
Lysistrata di Yogyakarta.
Pada hari yang sama dengan "Apel Siaga" UI, di Gelanggang
Mahasiswa Yogyakarta, sebuah acara yang sebelumnya diduga akan
menjadi arena debat sengit, ternyata tak jadi dilaksanakan.
Acara itu -- dengar pendapat antara mahasiswa anggota BKK dengan
SM (Senat Mahasiswa) dan BPM (Badan Permusyawaratan Mahasiswa)
UGM -- dibatalkan, karena "ditinjau dari segi keamanan tidak
memungkinkan," kata F. Hutagalung alias Ucok, mahasiswa Fakultas
Sosial Politik UGM yang duduk dalam BKK.
Tapi pagi itu memang ada yang dikerjakan -- oleh mahasiswa
anggota BKK. Mereka merumuskan konsep yang akan dibawa ke
Jakarta. "Kita ingin memberi tahu kepada Menteri P&K, baju yang
diberikan setahun lalu dan kita terima untuk dipakai, ternyata
benar-benar sesak," kata Ucok. Jadi maksudnya ke Jakarta dengan
konsep "mempermak dan melonggarkan" baju tersebut.
Sudah jelas, baju itu ialah NKK beserta BKK-nya. Jadi kampus UGM
memang bergaya lain daripada ITB atau UI. "Kita coba diterapkan,
dan benar tidak baik," tambah Ucok. Menurut dia, Ketua dan
Sekretaris Umum BKK yang dijabat oleh Purek III dan Pudek III
ternyata mematikan kreativitas karena sangat birokratis.
Memang, agaknya kondisi, suasana dan gaya kampus-kampus di
Indonesia ini berlainan. Di Unhas, Ujungpandang, Prof. Dr.
Amiruddin berhasil mengadakan pendekatan dengan mahasiswa. Dan
kata rektor itu dengan bangga: "NKK yang semula lesu, kini sudah
bergairah."
Jadi apa sebenarnya hambatan bagi terlaksananya NKK beserta
BKK-nya?
Umumnya memang lembaga kemahasiswaan yang diketuai Purek 111 itu
dianggap mengurangi kebebasan gerak mahasiswa, terutama soal
BKK-nya. "Dengan BKK memang benar kalau gerak mahasiswa
dibatasi," kata Prof. Moedomo, Koordinator Kegiatan ITB kepada
TEMPO. "Soal berjuang memang hak mahasiswa. Tapi membawa nama
kampus ITB, itu yang tidak dibenarkan."
Pendapat semacam itu biasanya ditafsirkan sebagai pembatasan
kegiatan kampus sebagai cuma tempat yang hambar. "Yang dimaui
pemerintah hanya kegiatan ilmiah yang steril," kata Jo Rumeser,
mahasiswa Fak. Psikologi Ul. Untuk menggunakan organisasi
mahasiswa luar-kampus, seperti HMI, GMNI dan lain-lain, menurut
Jo, "sudah tidak pada zamannya, ormas tak bisa lagi menampung
aspirasi mahasiswa. " Yang lebih keras lagi kata Reni
Patirajawane, mahasiswa Fak. Sastra UI: "Organisasi
ekstra-universiter memecah belah persatuan mahasiswa."
Soal organisasi luar kampus memecah belah mahasiswa secara tak
langsung diakui oleh Wem Kaunang, Ketua Presidium Pengurus Pusat
PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia) periode 1977-79
: "PMKRI sudah out dari kampus sejak 1971. Untuk menghindarkan
nafsu kompetisi tak sehat sesama organisasi luar kampus,"
katanya.
Toh ada suara lain, datang dari anggota DPR, yang tak bersedia
disebut namanya. "DM bukan satu-satunya alat untuk main
politik," katanya: "Masalahnya mahasiswa tak senang dengan
Parpol dan Golkar."
Rachmat Witular, anggota FKP dan bekas Ketua DM ITB 1965/66
lebih tegas lagi: "Mahasiswa jangan puas hanya menggunakan
haknya sebagai mahasiswa." Maksudnya, silakan pergunakan Parpol
atau Golkar untuk menyalurkan aspirasi politik. "Wadah itu lebih
efektif untuk masa kini," tambahnya.
Tapi kata Krisna Wijaya, Ketua SM Fak. Pertanian IPB periode
1978-79: "Selama lembaga demokrasi kita sudah berjalan wajar,
mahasiswa tak akan punya alasan resah dan melakukan aksi." Dan
dalam keadaan seperti itu, "NKK dengan BKK-nya pun bisa berjalan
lancar, karena ada jaminan aspirasi mahasiswa akan tertampung
dalam lembaga-lembaga demokrasi itu." Kata Yusman dari ITB:
"Organisasi politik mampet, jadi kami akan tetap melakukannya
lewat saluran kampus."
Tapi semangat "perjuangan mahasiswa" memang tak bisa dilepaskan
dari, misalnya, "suksesnya Angkatan '66 dahulu. Hingga timbul
satu mitos: kampus ternyata bisa juga menjadi kekuatan politik,
meskipun perubahan yang terjadi di tahun 1966 itu sebenarnya tak
hanya dilakukan mahasiswa -- bahkan tak selamanya dimulai oleh
kampus dan mahasiswa .
Dan kritik terhadap pihak mahasiswa tak cuma itu. Misalnya,
jarang orang mendengar mahasiswa protes bahwa perpustakaannya
tidak lengkap atau dosennya sering absen. Padahal seperti Prof.
Moedomo bilang, "Kita sudah lama merasakan dunia pendidikan kita
sudah jauh ketinggalan."
Benarkah mahasiswa hanya teriak soal negara dan lalai
mempersoalkan kekurangan yang lebih dekat? Ada jawaban dari UGM.
"Kekurangan buku dan dosen tidak harus disuarakan keraskeras,"
kata Ucok. Menurut dia, sambil membawa "baju" untuk minta
dipermakkan ke Jakarta nanti, Ucok dan kawan-kawannya juga
membawa sejumlah masalah menyangkut: pengadaan buku di
perpustakaan, sistem ujian, terlalu banyaknya dosen yang dikirim
ke luar negeri hingga mahasiswa terlambat ujian, dan lain-lain.
DI samping itu, sejumlah mahasiswa IKIP Bandung membuktikan, di
tengah keresahan soal NKK/BKK, mereka masih sempat terketuk
untuk membantu korban gempa di Kabupaten Tasikmalaya dan Garut.
Mereka datang kepada rektor, membeberkan ide-idenya. Rektor
menyambut baik. Hanya dua hari telah terkumpul Rp 150 ribu. Dan
ketika Gubernur Ja-Bar mengundang perguruan-perguruan tinggi di
Bandung untuk menanyakan penanggulangan korban gempa itu, IKIP
tampil dengan konsepnya yang memang telah disiapkan. Akhirnya
sebuah gedung sekolah di Cigalontang, Tasikmalaya berhasil
didirikan --oleh IKIP Bandung.
Itu semua hanya membuktikan, sekali lagi, bahwa kondisi dan gaya
kampus-kampus memang berlainan. Di UI sendiri muncul 14
mahasiswa yang di akhir November ke DPR dan bersuara agak lain
dari suara mahasiswa UI sebelumnya. "Tuntutan mereka (mahasiswa,
rekan-rekan mereka juga, yang protes NKK/BKK sebelumnya - Red.)
rasanya kurang beralasan -- kecuali bila seluruh mahasiswa
perguruan tinggi di Indonesia ini menolak NKK/BKK," kata
Muarakarta Simatupang, salah seorang dari yang 14 itu, kepada
wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi.
Seorang sosiolog, Prof. Dr. Harsja Bachtiar, kepada TEMPO
mengatakan susahnya menjadi Menteri P&K di Indonesia:
"Orang-orang yang terlibat dalam sistem pendidikam guru,
mahasiswa, dosen atau pelajar, begitu berbeda-beda latar
belakang kehudayaan dan ekonominya." Maksud Harsja,
kebijaksanaan apa pun yang dibuat Menteri P&K dalam
menyempurnakan pendidikan pasti ada golongan yang merasa
dirugikan, dan lantas protes. Sementara pendidikan harus terus
berjalan -- dan meningkat kualitasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo