Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Dunia Maya ke Dunia Nyata

Percekcokan Ade Armando dan para penentangnya bergeser dari dunia maya ke dunia nyata. Polisi salah deteksi memakai mesin pengenal wajah.

16 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dosen Universitas Indonesia, Ade Armando, dianiaya di tengah demonstrasi mahasiswa yang menolak ide penundaan pemilu.

  • Polisi menangkap tujuh pelaku pengeroyokan Ade Armando.

  • Teknologi pengenal wajah salah mendeteksi identitas para pelaku yang disebarkan akun-akun anonim.

HANYA dua jam setelah Ade Armando dikeroyok massa pedemo penolakan perpanjangan masa jabatan presiden pada Senin sore, 11 April lalu, akun Twitter @mahasiswigenz pada pukul 18.21 WIB menayangkan foto salah satu terduga pelakunya. Sebelumnya, banyak video beredar di media sosial tentang pemukulan dan pengeroyokan dosen komunikasi Universitas Indonesia itu, tapi wajah pelakunya tak terlalu jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akun samaran itu menayangkan foto anak muda bertopi dan mengenakan sweater hitam. Saat pengeroyokan di depan gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat itu, ia terlihat berdiri di belakang Ade Armando yang sedang beradu mulut dengan para pedemo lain. Di samping foto itu ada foto lain dalam close up serta keterangan nama dan alamat lengkap hingga nomor rumah, rukun tetangga, rukun warga, dan kelurahannya. Anak muda di foto itu konon bernama Dhia Ul Haq.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya satu, akun @mahasiswigenz juga menayangkan foto lain yang konon bernama Tri Setia Budi Purwanto. Menurut Teguh Aprianto dari Ethical Hacker Indonesia dan Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network, setidaknya ada sembilan akun Twitter yang berurutan mengunggah foto terduga pelaku pengeroyok Ade Armando.

Dari mana akun-akun ini mendapatkan foto terduga pelaku kerusuhan demonstrasi? Menurut Teguh, sumbernya adalah mesin pengenal wajah yang dimiliki kepolisian. “Ada foto dan alamat yang dinyatakan cocok dengan potongan gambar dari video yang beredar soal terduga pelaku pengeroyokan Ade Armando,” kata Teguh, Sabtu, 16 April lalu.

Akun @mahasiswigenz memiliki pengikut 54 ribu. Pemilik akun mengklaim sebagai “militan Pancasila” dan “no kadrun”—kependekan “kadal gurun” yang mengacu pada pengikut Islam konservatif yang tak menyukai Presiden Joko Widodo. Belakangan, “kadrun” bergeser menjadi istilah generik di media sosial untuk menyebut siapa saja yang kontra dengan kebijakan Jokowi.

Pengenal wajah atau face recognition merupakan teknologi pengenalan biometrik yang memakai pencocokan pola untuk mengenali identitas individu berdasarkan data fitur wajah. Sumbernya bisa video atau foto. Teknologi ini digunakan oleh berbagai instansi, termasuk kepolisian.

Kendati sudah memilikinya sejak 2017, polisi baru memakai teknologi pengenalan wajah untuk melacak kejahatan pada Maret 2021. Ketika itu polisi mengusut kasus tabrak lari pesepeda di Bundaran Hotel Indonesia. Pada 2017, harga pengadaan mesin pengenal wajah portabel dan perekam cuplikan video sebesar Rp 35,9 miliar. Tahun lalu harga pengadaannya naik jadi Rp 59,5 miliar.

Teknologi ini menuai kontroversi, terutama sejak Partai Komunis Cina memakainya untuk mengenali wajah penduduk negeri itu dalam program kredit sosial dan mengawasi muslim Uyghur di Provinsi Xianjiang. Dalam program kredit sosial, pemerintah Cina memindai wajah penduduk Tiongkok di ruang publik untuk dicocokkan dengan kredit sosial mereka.

Penduduk yang membangkang akan mendapat pengurangan angka kredit. Dampaknya pada pengurangan layanan sosial negara. Sementara itu, di Xinjiang, pemerintah memata-matai penduduk di sana karena terindikasi bersekutu dengan pemberontak Turki yang pro-Rusia.

Pemerintah Amerika Serikat juga memakai teknologi pengenal wajah di ruang publik. Namun, pada Februari 2019, mesin ini salah mendeteksi seorang penjahat di New Jersey. Alih-alih memberikan informasi akurat, polisi menangkap Nijeer Parks, laki-laki kulit hitam berusia 31 tahun, sebagai pengedar narkotik dan memakai nomor jaminan sosial palsu.

Setelah 11 hari mendekam di sel, ia dibebaskan. Polisi mengakui telah salah deteksi dalam mencocokkan wajah seorang penjahat yang menyamar jadi sopir taksi yang mirip dengan Nijeer Parks.

Apa yang terjadi pada Nijeer Parks menimpa para terduga pengeroyok Ade Armando yang wajahnya diunggah akun-akun anonim itu. Mereka di antaranya Abdul Manaf dan Tri Setia Budi.

Polisi mengejar Abdul Manaf, tapi rupanya ia ada di Karawang, Jawa Barat, dan tak ikut demonstrasi. Begitu juga Tri Budi, penduduk Way Kanan, Lampung. “Teknologi pengenalan wajah belum akurat 100 persen,” ucap juru bicara Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Komisaris Endra Zulpan. “Pelaku memakai topi.”

Adapun Dhia Ul Haq, 28 tahun, menyerahkan diri. Ini keterangan penanggung jawab pesantren Al Madad di Serpong, Banten, yang menolak identitasnya diungkap. Dhia, kata dia, menyerahkan diri ke polisi pada Rabu dinihari, 13 April lalu, setelah wajah dan namanya meramaikan jagat media sosial sebagai pemukul pertama Ade Armando. “Dua hari polisi di sini mencari dia,” tutur penanggung jawab pesantren. “Dia bukan mahasiswa, juga bukan bagian dari pesantren.”

Polisi sudah menangkap tujuh pelaku pemukulan Ade Armando. Semuanya bukan mahasiswa. Beberapa mengaku terprovokasi memukul Ade karena kesal terhadap pendapat-pendapat Ade yang membela Jokowi dan mencemooh mereka yang tak sependapat dengannya di media sosial.

Demonstrasi itu sebetulnya hajat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia menolak gagasan penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden. Demonstrasi berjalan lancar sejak pagi hingga sore. Mahasiswa perlahan membubarkan diri. Di sela-sela aksi itu, suasana sore yang lembap pecah oleh teriakan puluhan orang mengeroyok Ade Armando.

Meski Jokower (sebutan untuk pendukung Jokowi) tulen, Ade Armando tak setuju dengan gagasan yang dicetuskan para politikus, menteri, dan orang-orang dekat Jokowi itu. Karena itu, Ade mau bergabung dengan demonstran untuk menolak gagasan tersebut.

Dia datang bersama dua juru kamera dan dua penulis kantor Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS)—lembaga yang ia pimpin dan didirikan sebulan lalu. Menurut Sekretaris Jenderal PIS yang mewakili Ade Armando, Nong Darol Mahmada, Ade datang ke area demonstrasi bersama dua juru kamera untuk memproduksi konten video yang akan ditayangkan di kanal YouTube dan akun media sosial PIS. “Liputan mendalam sehingga ada wawancara mahasiswa, video lapangan, dan foto,” ucapnya.

Nong tahu persiapan pembuatan konten demonstrasi itu dari rapat Ade dan tim sehari sebelumnya di kantor PIS di Menteng, Jakarta Pusat. Ade, kata Nong, mengarahkan tim agar membuat konten yang berbeda dengan media lain. “Kami tak punya pikiran jelek karena ini demo mahasiswa,” ujar Nong.

Nong mendapat kabar Ade dikeroyok di depan gedung MPR/DPR pukul 1. Dari keterangan Ade dan juru kamera, kata Nong, pengeroyokan terjadi pukul 15.40 WIB. Peristiwa itu terjadi ketika Ade dan timnya berjalan ke arah Slipi, berlawanan dengan mahasiswa yang dihalau polisi menuju Senayan. Dari sebuah video, pengeroyokan dimulai setelah seorang perempuan memaki Ade sebagai buzzer, munafik, dan pengkhianat.

Belmondo Scorpio, penulis tim Ade Armando, mencoba melindungi Ade. Namun banyaknya orang membuat ia tak kuasa memeluk Ade. Anggota tim yang lain berhamburan mencari polisi. Sejumlah polisi datang dan mengevakuasi Ade yang sudah terbujur di aspal. Polisi kemudian membawa Ade ke gedung DPR, lalu ia ditangani dokter.

Kabar pengeroyokan itu segera memecah jagat media sosial. Akun Twitter @AV4tarPemburu yang tercatat pertama kali mengunggah video yang menunjukkan wajah Ade babak belur ketika dibawa polisi ke gedung DPR pada pukul 16.17. Akun itu membubuhi video dengan kalimat “Ade Armando ditangkap dan dihajar Kadrun Pro Rijik saat berdemo di depan Gedung DPR/MPR”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus