Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Vonis Lawas Dokter Balela

Perseteruan antara dokter Terawan Agus Putranto dan Ikatan Dokter Indonesia kembali mencuat. Praktik “cuci otak” Terawan jalan terus.

2 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kembali memutuskan pemecatan dokter Terawan.

  • IDI membentuk tim khusus untuk memeriksa iktikad baik dokter Terawan.

  • Praktik “cuci otak” dokter Terawan masih dianggap bermasalah.

MENEMANI istrinya berobat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jumat, 25 Maret lalu, Melkiades Laka Lena sempat bertemu dengan bekas Menteri Kesehatan, dokter Terawan Agus Putranto. Pagi itu, Wakil Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut mendengar curhat Terawan tentang pemecatannya sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pak Terawan cerita bahwa dia dicopot oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran,” kata Melkiades kepada Tempo, Kamis, 31 Maret lalu. Beberapa jam sebelumnya, dinihari itu, keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang merekomendasikan pemberhentian Terawan secara permanen dibacakan dalam sidang pleno Muktamar IDI Ke-31 di Banda Aceh. IDI memiliki waktu 28 hari untuk menindaklanjuti keputusan Majelis Etik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Forum organisasi tertinggi para dokter itu juga mengukuhkan Adib Khumaidi sebagai ketua umum baru. Mendengar cerita Terawan, Melkiades langsung menelepon Adib. Kepada dokter spesialis ortopedi itu, dia mengatakan pemecatan Terawan akan menimbulkan keramaian di publik. Politikus Partai Golkar itu meminta IDI mengatur penyelesaian secara internal.

Menurut Melkiades, Adib mengatakan tengah memikirkan cara agar persoalan itu tak gaduh. Melkiades lantas menyerahkan telepon selulernya kepada Terawan. Namun ia enggan menceritakan isi perbincangan Terawan dan Adib. Melkiades mengklaim Terawan tak mempermasalahkan pemecatannya. “Dia bilang, kalau ini menjadi gaduh, yang kasihan justru IDI,” ucap Melkiades.

Terawan tak menanggapi permintaan wawancara Tempo. Melalui keterangan tertulis pada Selasa, 29 Maret lalu, purnawirawan letnan jenderal itu mengaku menganggap IDI seperti rumah dan para sejawatnya bak saudara kandung. “Biarkanlah saudara-saudara saya memutuskan saya masih boleh menginap di rumah atau diusir ke jalan,” kata Terawan.

Hubungan Terawan dan IDI memanas sejak 2018 setelah MKEK mencabut keanggotaan dokter spesialis radiologi itu selama satu tahun. Pangkal persoalannya adalah metode digital subtraction angiography (DSA)—kerap disebut intra-arterial heparin flushing (IAHF)—atau metode “cuci otak” yang dipopulerkan Terawan untuk mengobati pasien stroke. (Baca: Berbagai Kejanggalan Disertasi "Cuci Otak" Terawan)

Pada November 2019, Tempo mengulas berbagai kejanggalan dalam disertasi Terawan yang diklaim sebagai bukti klinis terapi “cuci otak”. Disertasi itu, misalnya, menyatakan bahwa heparin—berfungsi untuk mengatasi dan mencegah penggumpalan darah—pernah diuji coba di Jerman untuk membuka sumbatan darah manusia. Padahal percobaan itu dilakukan pada anjing.

Dalam keputusan Majelis tertanggal 12 Februari 2018, Terawan dianggap telah mengiklankan diri secara berlebihan dan menarik bayaran dari tindakan yang belum terbukti secara medis. Ia juga dinyatakan menjanjikan kesembuhan bagi pasien yang menjalani terapi “cuci otak”, yang dipraktikkan sejak 2013. Terawan pun tak pernah memenuhi delapan panggilan MKEK.

Ketua MKEK IDI 2015-2018, Prijo Sidipratomo, mengatakan pemeriksaan Terawan dilakukan berdasarkan aduan mantan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Hasan Machfoed. Menurut Prijo, mantan Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, secara lisan sempat meminta IDI menelisik dugaan pelanggaran etik Terawan.

Prijo lantas membentuk majelis pemeriksa beranggotakan lima orang yang tak beririsan dengan bidang radiologi ataupun saraf. Menurut Prijo, majelis pemeriksa sebenarnya mengusulkan Terawan dikeluarkan saat itu juga lantaran telah melakukan pelanggaran berat dan melecehkan peradilan etik karena mangkir berulang kali.

Namun ia meminta hukuman diringankan agar IDI mempunyai kesempatan melakukan pembinaan. “Saya katakan bahwa hukuman harus mendidik,” ucap Prijo, senior Terawan di bidang radiologi.

Empat tahun berselang, sanksi terhadap Terawan belum juga dijalankan. Juru bicara Ikatan Dokter Indonesia, Beni Satria, mengatakan pemberlakuan sanksi itu tertunda karena Terawan diangkat sebagai Menteri Kesehatan oleh Presiden Joko Widodo pada 2019. “Kami menghormati karena yang bersangkutan menempati jabatan publik,” kata Beni pada Jumat, 1 April lalu.

Pada 29-30 Januari lalu, Majelis Etik kembali membahas persoalan Terawan. Sidang itu memutuskan perlunya pemberatan sanksi kepada Terawan dengan sejumlah pertimbangan. Antara lain, Terawan yang berstatus terhukum menjabat Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia.

Terawan juga disebut menginstruksikan pengurus cabang untuk mengabaikan panggilan pemeriksaan oleh Pengurus Besar IDI. Ia pun mengajukan perpindahan keanggotaan ke IDI cabang Jakarta Barat, meskipun berdomisili dan berpraktik di Jakarta Pusat. Perpindahan ini ditengarai untuk menghindari pemeriksaan dan eksekusi sanksi etik.

Pada awal Maret lalu, MKEK membentuk tim khusus beranggotakan lima dokter. Anggota tim khusus, Muhammad Munawar, mengatakan mereka bertugas memeriksa iktikad baik Terawan untuk menjalani sanksi. Sebab, keputusan Muktamar IDI Ke-30 pada 2018 di Samarinda juga menyatakan Terawan bisa diberhentikan tetap jika tak beriktikad baik.

Menurut Munawar, yang paling disorot Majelis adalah tindakan balela Terawan yang masih mempraktikkan metode “cuci otak”. Padahal kajian satuan tugas bentukan Kementerian Kesehatan pada Juli 2018 menunjukkan bahwa belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan manfaat IAHF untuk terapi.

Kajian itu juga menyatakan praktik “cuci otak” untuk tujuan terapi tak selaras dengan etika kedokteran. “Dia keras kepala. Sudah diberi tahu, ada kajian satgas, ada hukuman, tapi masih melakukan,” tutur Munawar kepada Tempo, Sabtu, 2 April lalu. Terawan kini juga buka praktik di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah.

Munawar, yang juga dokter spesialis kardiologi, mengatakan teknik DSA sebenarnya hanya bisa digunakan untuk diagnosis, bukan untuk terapi. Di berbagai rumah sakit swasta, kata dia, tarifnya berkisar Rp 10-15 juta. Namun biaya “cuci otak” ala Terawan mencapai Rp 45-50 juta. Saat Tempo mengecek ongkos DSA di RS Slamet Riyadi, besaran tarif itu juga sama.

Memeriksa iktikad Terawan, tim khusus MKEK dua kali mengundang dokter 58 tahun itu ke markas Pengurus Besar IDI di Menteng, Jakarta Pusat, pada 18 dan 20 Maret. Namun Terawan tak hadir. “Padahal undangan itu kesempatan untuk melakukan pembelaan diri,” kata Beni Satria, juru bicara PB IDI.

Majelis juga mempersoalkan terapi dendritik untuk Covid-19 atau yang disebut sebagai vaksin Nusantara. Tindakan Terawan mempromosikan vaksin Nusantara kepada masyarakat sebelum penelitian rampung mengindikasikan tak ada iktikad baik dari bekas Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat tersebut. (Baca: Di Balik Kompromi Vaksin Nusantara dan Riset Gaib dari California)

Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan vaksin yang dirintis oleh Aivita Biomedical Inc, perusahaan asal California, Amerika Serikat, itu tak lolos uji klinis tahap pertama. Kendati uji klinisnya bermasalah, para pejabat ramai-ramai mempercayai Terawan.

Konferensi pers PB IDI usai menyelenggarakan Muktamar Ikatan Dokter Indonesia ke-31 di Aceh, Jakarta, 29 Maret 2022. PB IDI

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly pada 3 Maret lalu menerima suntikan vaksin Nusantara. “Banyak pejabat tinggi negara yang sudah menerima suntikan vaksin Nusantara dari dokter Terawan,” tulis Yasonna di akun Instagram-nya.

Sedari dulu, Terawan memang didukung para pejabat dan politikus. Wakil Ketua Komisi Kesehatan DPR Melkiades Laka Lena mengatakan pembelaan itu muncul karena para tokoh yang pernah menjadi pasien Terawan merasa berutang budi.

Setelah Terawan diberhentikan, sejumlah kolega Melkiades menggaungkan wacana mengurangi kewenangan IDI melalui revisi Undang-Undang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 itu di antaranya mengatur syarat rekomendasi IDI bagi dokter yang mengajukan izin praktik kepada pemerintah. Tanpa rekomendasi IDI, Terawan terancam tak bisa berpraktik setelah dipecat.

Ribut-ribut Terawan dan IDI ini membuat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin turun tangan. Mengundang Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi dan Ketua MKEK IDI periode 2021-2022, Pukovisa Prawirohardjo, pada Rabu, 30 Maret lalu, Budi membicarakan kemungkinan mediasi dengan Terawan.

Budi menyampaikan tak baik jika waktu dan energi yang ada habis untuk polemik ini. “Nanti saya mau ketemu dengan dokter Terawan,” ujarnya di ruang rapat Komisi Kesehatan DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 31 Maret lalu.

Di kalangan dokter, mencuat kekhawatiran IDI tak melaksanakan keputusan muktamar untuk memberhentikan Terawan. Musababnya, Terawan dekat dengan Ketua Umum PB IDI terpilih, Adib Khumaidi. Dua dokter menyebutkan, saat berkunjung ke markas IDI setelah dilantik sebagai Menteri Kesehatan, Terawan berceletuk bahwa Adib sering bertandang ke rumahnya.

Cerita tersebut dibenarkan oleh Ketua Asosiasi Dokter Hukum Indonesia Muhammad Nasser. “Banyak analisis, bukan dari saya, bahwa Pak Adib memiliki hubungan khusus dengan Pak Terawan,” kata Nasser kepada Tempo pada Kamis, 31 Maret lalu.

Adib Khumaidi tak menanggapi permintaan wawancara dari Tempo. Namun dalam konferensi pers Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Rabu, 30 Maret lalu, Adib mengatakan pihaknya bertanggung jawab melaksanakan keputusan pemecatan dokter Terawan Agus Putranto. “Ini upaya kami semua untuk menjaga etik,” ujarnya.

RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN, ARIEF NOER PRAYOGI (SOLO)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus