Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN menuju proyek pembangkit listrik Asahan yang terban sepanjang 60 meter kini sudah diperbaiki. Sawah penduduk yang tertimbun pasir, serta sebuah rumah penduduk yang hanyut, juga sudah diberi ganti rugi. Tapi waduk penampung limbah (aeration lagoon) pabrik pulp milik PT Inti Indorayon Utama di Porsea, 200-an km dari Medan Sumatera Utara, sampai kini masih terbengkalai. Yang terlihathanya puing-puing batako dan kawat ayam. Begitulah keadaannya setelah waduk itu jebol 9 Agustus yang lalu. Masih untung, di saat kejadian itu dam tadi masih dalam tahap uji coba dan cuma berisi air sisa pendingin pabrik. Kalau saja pabrik pulp itu sudah beroperasi, waduk itu akan mengandung logam berat, sodium, sulfat merkuri, dan berjenis limbah kimia lainnya. Niscaya Sungai Asahan yang merupakan sumber air ratusan ribu penduduk di hilir proyek akan tercemar berat. Turbin-turbin pembangkit listrik Proyek Asahan di Sigura-gura dan Tangga yang berada 2,5 km di hilirnya juga bisa pada berkarat. Peristiwa itu bisa menjadi musibah nasional. Mengapa waduk itu bisa jebol? Sebuah pertanyaan yang sampai kini belum terjawab. "Hal itu masih dalam penelitian," kata Eddie Kusuma, salah seorang direktur PT Inti Indorayon Utama. Seperti yang diamati TEMPO, waduk itu berasal dari sebuah lembah seluas tiga hektar dulu merupakan sawah penduduk -- yang dikelilingi oleh Dolok (bukit) Sijomba, di Desa Sosorladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten Tapanuli Utara. Setelah persawahan dibeli oleh perusahaan, lembah itu diratakan. Bagian sebelah barat yang tidak didinding oleh bukit, sepanjang 50-an meter, lantas ditimbun dengan tanah liat. Di situlah dibangun sebuah dam selebar 50 meter (sebelah bawah), tinggi 10,5 meter. Nah, lembah itu pun sudah berubah menjadi waduk. Di dalamnya dibangun bavel untuk memperlambat arus air, terbuat dari batako. Ada pula mesin yang berfungsi menambah oksigen untuk membilas limbah, sehingga ketika dibuang limbah pabrik itu tidak lagi mencemari Sungai Asahan. Sejak direncanakan, 1983, pabrik pulp ini sudah ditentang oleh pimpinan Proyek Asahan. Pabrik berbahan baku kayu pinus dan diambil dari hutan pinus di sekitar Danau Toba dituding akan merusakkan sumber air danau yang selama ini sudah mengkhawatirkan. Padahal, Danau Toba merupakan sumber air Sungai Asahan yang merupakan penggerak turbin PLTA Asahan. Selain itu, ada kekhawatiran air Sungai Asahan akan tercemar. Tapi toh pemerintah tetap mengizinkan pabrik beroperasi. Air sungai juga di jamin tidak tercemar dengan dibangunnya waduk penampung limbah. Maka, fungsi waduk ini amat vital. Karena itu, seorang pejabat di perusahaan itu sendiri jadi heran. "Bagaimana mungkin waduk sepenting ini dibangun dari tanah liat?" katanya kepada TEMPO. Seorang staf lain yang juga keberatan namanya disebut menyatakan, sejak semula beberapa staf ahli di PT Inti Indorayon Utama sudah mengusulkan, bila tetap digunakan timbunan dengan tanah di bangunan dam itu, agar dilapisi dengan semacam dinding yang terbuat dari pelat baja yang dicor. "Nyatanya, yang dicor itu kawat ayam," kata sumber itu. Maka, waduk diisi air dan setelah tiga pekan dan tiga perempat waduk terisi, 8 Agustus lalu, tanah liat di sekitar dam mulai bocor. Petugas perusahaan itu berusaha menimbunnya dengan tanah, sampai jauh malam. Tapi keesokan paginya waduk itu jebol. Bangunan dam itu dihanyutkan air. Kini jadi pergunjingan, bagaimana mungkin waduk dengan bangunan serapuh itu menelan dana Rp 5 milyar. Angka itu diberikan Dirjen Industri Kimia Dasar Sidharta, kepada TEMPO. Kok bisa jebol? "Ada kesalahan konstruksi," kata Sidharta. Di mana persisnya letak kesalahan tidak ia jelaskan, hanya katanya, desain waduk itu akan diperbaiki. Yang mengherankan, jumlah Rp 5 milyar itu dibantah Eddie Kusuma. "Tak benar kalau disebut sebesar itu. Biaya waduk itu tak lebih dari Rp 1 milyar," katanya. Tak jelas keterangan mana yang benar. Proyek yang mengambil lokasi 225 ha itu terdiri atas bangunan pabrik, lokasi penimbunan bahan baku kayu, perumahan pegawai dan karyawan, serta waduk pembuangan limbah, keseluruhannya menelan biaya Rp 515 milyar. Sebagian besar saham perusahaan PMDN ini dikuasai Sukanto Tanoto, pengusaha dari grup Raja Garuda Mas. Dana sebesar itu, menurut August Marpaung, salah seorang pimpinan perusahaan ini, 40% dari modal sendiri, selebihnya, 30% berasal dari kredit bank asing dan 30% dari kredit bank pemerintah, BBD dan BDN. Dari jumlah itu, sekitar Rp 200 juta sudah ditanamkan untuk membangun pabrik pulp, yang direncanakan sudah berproduksi akhir bulan lalu, dengan kapasitas 160.000 ton pulp/tahun, termasuk dana untuk membangun waduk yang jebol itu. Tahap kedua nanti akan didirikan pabrik serat rayon dengan produksi 54.000 ton/tahun. Kini rencana tertunda entah sampai kapan. Seorang anggota DPR dari Komisi VII yang belum lama ini meninJau lokasl pabrik itu terheran-heran, sebab pabrik yang dikenal rakus bahan baku itu belum juga menanami pohon ekaliptus atau pinus di areal yang tersedia. Padahal, ekaliptus tergolong pepohonan berumur tua, sampai enam atau tujuh tahun baru bisa ditebanguntuk bahan baku pabrik itu. Memang untuk tahap awal, perusahaan ini diizinkan mencari bahan baku dari hutan di sekitar daerah itu. Selanjutnya perusahaan ini akan menanam pohon sendiri. Bila pabrik ini terus-terusan mengambil kayu dari hutan di sekitarnya, kelestarian Danau Toba dikhawatirkan akan terancam. Apalagi sampai sekarang tak ada penjelasan penyebab bobolnya waduk dan kapan pabrik itu berproduksi. Tidakkah kredit dari bank pemerintah itu kelak akan macet? Dari pihak Indorayon muncul bantahan. "Memang ada perusahaan yang minta kredit di bank Rp 10 milyar, padahal dana yang diperlukan cuma Rp 2 milyar, selebihnya diputar di tempat lain. Nah, kalau terjadi apa-apa pemiliknya, 'kan sudah untung yang Rp 8 milyar itu. Hal semacam itu tidak akan dilakukan perusahaan besar seperti PT Inti Indorayon Utama," kata August Marpaung, bekas Dubes RI di Australia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo