Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengawal Kucuran Dana Otonomi Khusus Papua

DPR bersama pemerintah rampung membahas revisi kedua Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan akan membawanya ke sidang paripurna hari ini. Peningkatan dana otonomi khusus Papua harus diikuti dengan pengawasan ketat.

15 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dana otonomi khusus Papua naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum nasional.

  • Pasal pemekaran dalam revisi kedua RUU Otsus ini seakan-akan mengulang kesalahan karena dianggap mengacuhkan Majelis Rakyat Papua.

  • Pengamat menilai otonomi khusus Papua akan sepenuhnya diterima masyarakat di sana kalau urusan pelanggaran HAM diselesaikan lebih dulu.

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat akan mengesahkan revisi kedua Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dalam sidang paripurna hari ini. Sejumlah perubahan pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tersebut telah selesai dibahas DPR bersama pemerintah, Senin lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah pada mulanya mengusulkan perubahan dua pasal, yakni Pasal 34 ihwal dana otonomi khusus dan Pasal 76 mengenai pemekaran wilayah. Namun, hingga akhirnya pada tahap pembahasan, pemerintah dan panitia khusus DPR yang membahas Otonomi Khusus Papua menyepakati perubahan 19 pasal dalam undang-undang tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesuai dengan rancangan undang-undang itu, pemerintah dan DPR sepakat menaikkan anggaran dana otonomi khusus (otsus) Papua dari 2 persen dana alokasi umum nasional menjadi 2,25 persen. Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, peningkatan anggaran tersebut adalah strategi yang harus dibarengi dengan upaya pemerintah memperketat pengawasan penggunaan dana otonomi khusus Papua. "Pengawasan sebelumnya terlalu lemah. Pembagian dana ini diharapkan bisa mencegah kebocoran anggaran," ujar Adriana ketika dihubungi, kemarin.

Dalam revisi kedua RUU Otonomi Khusus Papua, besaran dana otonomi khusus itu dibagi menjadi dua bagian, yakni 1 persen anggaran block grant dan sisanya sebesar 1,25 persen termasuk dana hibah yang lebih spesifik dikelola pemerintah pusat. Dana sebesar 1 persen itu digunakan untuk prioritas daerah, seperti pembangunan dan pelayanan publik bagi peningkatan kesejahteraan orang asli Papua. Adapun dana 1,25 persen ditujukan untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.

Menurut Adriana, selama 20 tahun mengucurkan dana otonomi khusus, pemerintah daerah tak bisa memanfaatkan dana besar tersebut untuk pembangunan dan kesejahteraan. Bahkan kebocoran anggaran dana otsus di Papua belum bisa diusut secara maksimal di ranah hukum.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, berharap ada upaya untuk memperketat dan memperluas pengawasan anggaran dana otonomi khusus Papua. Menurut dia, kontrol dari aparat pengawasan internal pemerintah dan inspektorat di daerah kurang optimal dalam mengawal implementasi dana otonomi khusus.

Misbah berharap pemerintah melibatkan masyarakat sipil dalam mengaudit penggunaan dana tersebut. Caranya, membangun mekanisme pengaduan oleh masyarakat yang terintegrasi dengan pola pengaduan pemerintah daerah di Papua. "Kalau dua skema pengawasan itu dipadukan, ini akan lebih efektif," kata dia.

Pemerintah daerah Papua, Misbah melanjutkan, harus lebih inovatif dalam mengelola dan mengawasi penggunaan anggaran dana otonomi khusus. Termasuk, kata dia, tampil lebih transparan menjelaskan penggunaan anggaran tersebut kepada masyarakat. "Pemerintah daerah bisa berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan lain," kata dia.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pembagian dana otonomi khusus tak serta-merta bisa mendorong perbaikan pengelolaan dana di pemerintah daerah Papua. Seharusnya, kata dia, kucuran dana tersebut dan pengelolaannya dibarengi dengan pendampingan oleh penegak hukum, khususnya pemberantasan korupsi, kepada pemerintah daerah. Usman menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sudah pernah menyatakan perlunya pengawasan keuangan pengelolaan dana otonomi khusus tersebut. "KPK perlu mensupervisi mereka," kata Usman.

Sejumlah modus mencurigakan ditengarai terjadi dalam pengelolaan dana otonomi khusus Papua. Berdasarkan catatan Tempo, pada Juni lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) masih mendalami dugaan aliran dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) serta otonomi khusus Papua yang mencurigakan, termasuk ke kelompok bersenjata. Namun penelusuran PPATK itu terhambat lantaran banyaknya transaksi secara tunai.

Usman mengatakan supervisi yang seharusnya dilakukan KPK juga menemui kendala. Sebab, menurut dia, KPK saat ini mengalami upaya pelemahan, dari undang-undang baru hingga kisruh internal tentang status kepegawaian. Usman khawatir pemerintah ujung-ujungnya hanya akan menggelontorkan sebagian dana otonomi khusus, yakni 1 persen dari dana alokasi umum nasional. "Yang sisanya terlalu bersyarat. Jadi, penambahan ini hanya manis di bibir," kata dia, kemarin.

Usman juga menyoroti pemekaran wilayah yang diusulkan pemerintah dalam revisi kedua RUU Otonomi Khusus Papua. Menurut dia, pemerintah pusat berpotensi mengulang kesalahan pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2003 saat memekarkan Provinsi Papua Barat.

Menurut Usman, ketika itu Presiden Megawati tak meminta persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) saat membagi Papua menjadi dua wilayah provinsi. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua disebutkan bahwa pemekaran wilayah wajib mendapat persetujuan dari MRP. "Pasal pemekaran dalam revisi kedua RUU Otsus ini seakan-akan ingin mengulang kesalahan dengan mengacuhkan MRP," kata dia.

Mahasiswa Papua melakukan aksi unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, 1 Mei 2021. TEMPO/Prima Mulia

Menurut Usman, RUU Otsus Papua kali ini jauh dari upaya perbaikan aturan sebelumnya. Ia menyebutkan janji pembentukan komisi kebenaran, pengadilan hak asasi manusia, dan komisi HAM di Papua belum tercapai hingga saat ini. "Ketiga kebijakan itu hanya bisa terjadi kalau pemerintah pusat melakukannya," ujarnya.

Adriana sependapat dengan Usman. Menurut dia, pemerintah masih berutang janji penyelesaian pelanggaran HAM kepada rakyat Papua. Padahal, inilah inti masalah di Bumi Cenderawasih. "Otonomi khusus Papua akan sepenuhnya diterima masyarakatnya kalau urusan pelanggaran HAM diselesaikan dulu," kata dia

Namun hingga saat ini pemerintah menganggap solusi untuk Papua hanyalah dengan memberikan dana otonomi khusus. Tak ada upaya resolusi konflik yang dijalankan. Pemerintah bahkan memberi predikat orang-orang Papua yang bersengketa dengan pemerintah sebagai teroris. "Eskalasi kekerasan semakin tinggi. Jadi, selesaikan dulu akar masalah Papua, baru membangun masyarakatnya," kata dia.

Adapun kuasa hukum MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Saor Siagian, menganggap pemerintah dan DPR ugal-ugalan menuntaskan revisi kedua RUU Otonomi Khusus Papua. Sebab, menurut dia, sejak awal pemerintah pusat tidak melibatkan MRP yang secara resmi menjadi representasi masyarakat asli Papua dalam membahas RUU Otsus. "Padahal, menurut aturan, pemerintah harus mendapat persetujuan dari MRP dan MRPB sebelum mengirim draf RUU Otsus ke DPR," ucapnya, kemarin.

Saor sempat mengajukan gugatan sengketa kewenangan lembaga negara dalam pembahasan RUU Otonomi Khusus Papua ke Mahkamah Konstitusi pada 17 Juni lalu. Namun, belum memasuki proses sidang, Mahkamah Konstitusi justru melayangkan pemberitahuan tentang penundaan sidang pada 3 Juli lalu. Menurut Saor, saat itu Mahkamah beralasan sedang menjalankan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. "Padahal PPKM darurat itu tidak berarti libur. Sidang masih bisa dilakukan secara daring," kata dia.

Kondisi MRP dan MRPB semakin pelik lantaran DPR dan pemerintah mengebut pembahasan RUU Otsus hingga disahkan hari ini. Menurut Saor, seandainya Mahkamah Konstitusi tetap menggelar sidang permohonan dari kliennya, bisa saja pengesahan RUU Otsus hari ini tertunda. "Jadi, ini sudah terjadi pelanggaran konstitusional, termasuk MK," kata dia.

Menanggapi hal itu, juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, membantah tuduhan tersebut. Menurut dia, penundaan sidang sudah terjadwal dan dilakukan lantaran melonjaknya jumlah kasus positif Covid-19 di kantor Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, Mahkamah akan memastikan semua jadwal sidang bisa digelar sesegera mungkin. MK juga sedang membahas penjadwalan penyelesaian perkara, termasuk jika PPKM darurat diperpanjang.

INDRA WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus