Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Kejadian ini bisa terjadi pada siapa saja. Ada anak perempuan usia pelajar SMA, yang, seperti jutaan orang lain, doyan menari di TikTok. Teman dekatnya meminta anak itu mengirim foto menari hanya dengan pakaian dalam. Jika tidak, laki-laki itu akan mengadukan dosa si anak perempuan ke orang tuanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto itu tersebar di antara teman-teman laki-laki itu. Hal itu diketahui oleh salah satu orang tua, yang lalu melaporkannya ke orang tua korban. Orang tua korban melapor ke sekolah. Namun pengelola sekolah hanya menyuruh pelaku minta maaf demi menjaga nama baik sekolah. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kasus ini termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik, satu dari sembilan jenis kekerasan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang baru disahkan pada tahun ini, tidak serta-merta melindungi perempuan, terutama anak-anak, dari penjahat kelamin. Banyak penghalang yang membuat para korban tidak melapor, bahkan tidak disadari mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan seksual juga bisa menyerang anak balita. Di usia kurang dari 5 tahun, anak cenderung tidak memahami kejahatan yang menimpanya. "Korban misalnya tidak menyadari bahwa tidak boleh dipegang-pegang," ujar Baety Adhayati, Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia, dalam konferensi pers pada akhir pekan lalu.
Pada remaja, yang telah bisa membedakan mana tindakan yang terlarang, kekerasan seksual bisa tersembunyikan akibat ancaman. Misalnya, pada contoh kasus anak perempuan usia pelajar SMA di atas. Bisa juga ancaman pembunuhan.
Ilustrasi anak korban kekerasan seksual. Shutterstock
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2021 menyatakan 7.000 dari 11.900 kasus kekerasan pada anak, atau 58,6 persen, merupakan kekerasan seksual. Angka itu, Baety melanjutkan, merupakan puncak fenomena gunung es. Dia yakin anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang tidak terdata karena tidak melapor jumlahnya jauh lebih banyak. Keyakinan itu sejalan dengan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan satu dari tiga perempuan pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut Baety, ada banyak hal yang membuat korban dan/atau keluarga tidak melapor. Pertama, adanya relasi kuasa. Pelaku biasanya merupakan orang dekat yang memiliki posisi lebih tinggi dari korban. Bisa juga relasi kuasa itu tersamarkan perasaan kasih sayang. Faktor lain adalah stigmatisasi bahwa korban kekerasan seksual merupakan aib bagi keluarga. Di luar itu, ada kendala teknis. Misalnya, keterbatasan infrastruktur dan tidak tahu mesti melapor ke siapa. Pada anak, kekerasan seksual sulit terdata akibat ketidaktahuan korban.
Karena itu, dokter Baety meminta para orang tua untuk tak pernah menganggap enteng tanda-tanda kekerasan. Dari memar, luka lecet, luka terbuka, atau luka robekan, termasuk bekas luka lama yang tidak diketahui penyebabnya.
Ada juga gejala perilaku yang perlu diwaspadai. Misalnya, perubahan kepribadian menjadi pemurung atau depresif, mengalami penurunan prestasi, terjadi perubahan orientasi seksual, menjadi gemar menonton film porno, melakukan masturbasi di usia anak-anak, atau mengalami keluhan di daerah kelamin, seperti nyeri dan keputihan.
Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Mendominasi Laporan
Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membawa perubahan positif dalam pelindungan perempuan dan anak. Sebab, ketentuan ini memperinci jenis kekerasan seksual menjadi sembilan kategori sehingga menyulitkan pelaku untuk berkelit. Dari pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, hingga kekerasan seksual berbasis elektronik.
Siti Hajar Rahmawati, pembimbing dari Akara Perempuan, lembaga pendamping perempuan korban kekerasan, menyatakan kekerasan seksual berbasis elektronik mendominasi laporan. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mendampingi korban. "Karena mereka pasti mengalami mental breakdown, bingung mencari bantuan, tidak mendapatkan dukungan dari orang terdekat, dan takut," ujarnya. "Ada risiko permasalahan kesehatan yang berkepanjangan, baik fisik maupun psikis."
Saat mendampingi korban, Rahmawati melanjutkan, ada pantangannya, yaitu menyalahkan korban. Pendampingan ini juga harus rutin dan berkesinambungan, bukan cuma sekali-dua kali.
Ketika hendak melapor ke polisi, Rahmawati menyarankan keluarga korban lebih dulu meminta bantuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, atau lembaga bantuan hukum (LBH). Pendamping akan membantu mempersiapkan bukti yang akan polisi gunakan untuk menindaklanjuti laporan.
FEBBYENTI SUCI (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo