Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI itu ratusan petani berkumpul di halaman kecamatan. Beberapa
di antaranya berkerumun di bawah pengeras suara yang sengaja
dipasang. Hari itu, Selasa pekan lalu, tiga sang aparat desa
diadili karena dituduh menyelewengkan kredit Bimas.
Ini yang kedua kalinya Balai Kecarnatan Citeureup, Kabupaten
Bogor (Jawa Barat) dipakai untuk mengadili perkara seperti itu.
Pengadilan pertama berlangsung bulan lalu mengajukan enam orang,
semuanya juga aparat desa. Semuanya sudah diputus: perkaranya
dideponir alias dibekukan karena tertuduh bersedia melunasi
tunggakan selama sebulan. Sidang yang kedua pekan lalu itu
memeriksa Enoh bin Anda, aparat desa yang lain. Ia dituduh
mencatut nama 35 petani dan menyelewengkan uang Bimas Rp 2 juta.
Seperti halnya keenam tertuduh yang diadili bulan lalu, perkara
Enoh juga dibekukan -- artinya ia tidak akan dituntut
lagi--dengan syarat sanggup melunasi tunggakannya selama 1
bulan. Kalau waktu sebulan tidak mampu membayar, ia dihukum 6
bulan penjara. Dua tertuduh lainnya -- Baharuddin, guru agama
dari Sentul dan Sadi bekas pamong tani Desa Karangtengah--ngotot
tak mau membayar.
Tulis Togong
Karena itu perkara kedua orang itu akan disidangkan lagi awal
bulan ini di Pengadilan Negeri Bogor. Baharuddin dituduh
mencatut nama 143 petani dengan tunggakan Rp 17 juta lebih.
Jumlah tunggakan kredit Bimas Sadi belum diketahui dengan pasti,
sebab para petani yang akan menjadi saksi masih harus
dikumpulkan dan diperiksa dulu.
Jumlah seluruh tunggakan kredit Bimas di Kecamatan Citeureup
meliputi Rp 35 juta lebih. "Separuh lebih dari jumlah tersebut
berhasil ditagih, sisanya masih di tangan para penunggak," kata
Camat Helmy Anwar. Kredit sebesar itu dipinjam oleh 844 orang.
Tapi dari jumlah itu terdapat 256 petani yang namanya dicatut.
Menurut Syahrul Bahrun, jaksa yang mengetuai Tim Operasi Gertak
(Gerakan Serentak) Pengembalian Kredit Bimas Kabupaten Bogor,
ada dua jenis penunggak. Pertama, yang sengaja menggelapkan
kredit dengan mencatut nama sejumlah petani atau tidak
menyetorkan pelunasan yang diterimanya dari petani kepada BRI.
"PenungKak jenis ini biasanya aparat desa," katanya.
Penunggak ienis kedua, para petani murni. Mereka ini memiliki
sawah dan menggunakan kredit Bimas dengan cara yang semestinya.
Mereka tidak dapat melunasi kredit karena panen gagal. "Jadi
mereka tidak sengaja menunggak," kata Syahrul lagi. "Para petani
itu jujur.
Mereka selalu membayar kredit, meskipun dengan mengangsur,"
tambah Camat Helmy.
Di Bogor para penunggak itu kebanyakan iustru aparat desa.
Karena itu sejak bulan lalu Wakil Gubernur Jawa Barat, Suhud
Warnaen, melarang para pamong desa menerima atau menagih
tunggakan kredit Bimas dari para petani. Selain para pamong
desa, aparat desa yang menyeleweng itu bisa terdiri dari' guru
agama, polisi, ABRI, sekretaris desa, Hansip. Pendeknya
orang-orang yang berpengaruh di kalangan masyarakat setempat.
Dua orang petani dari Desa Kolot, Kecamatan Citeureup,
membenarkan aparat desa banyak yang mencatut nama para petani.
Sidik misalnya, pada suatu hari kaget karena mendapat panggllan
untuk diperiksa di kecamatan. Ia merasa tak punya tunggakan
kredit Bimas. "Biasanya aparat desa itu membujuk petani agar minta
kredit. Setelah dapat, uangnya disetor kepada aparat tersebut.
Dan si petani hanya mendapat komisi," tutur Survani, seorang
petani pula. Di Citeureup, pencatutan nama untuk mempeoleh
kredit itu dikenal dengan sebutan tulis togong atau topengan.
Sampai saat ini Operasi Gertak sudah berpraktek di 16 kecamatan
dari 27 kecamatan di Kabupaten Bogor. Kabupaten ini terhitung
penunggak kredit paling banyak di Ja-Bar. Dari hasil operasi
tahap I yang dimulai sejak September lalu, ada 200 perkara yang
akan dilimpahkan ke pengadilan. "Tapi jumlah itu akan berkurang
karena perkaranya dideponir, berhubung si penunggak menyatakan
sanggup melunasi tunggakannya dalam waktu tertentu," kata
Syahrul.
Batas waktu kesanggupan pelunasan itu bahkan dapat diperpanjang
sampai tiga kali masa tanam. Di Bogor masa tanam itu biasanya
dua kali dalam setahun. "Secara hukum pembekuan itu tidak
dibenarkan. Sebab penunggak sudah diperiksa dan tindakannya
jelas merupakan penggelapan, penipuan dan pemalsuan surat. Tapi
yang penting, tujuan operasi ini tercapai. Yaitu kembalinya uang
negara," kata Syahrul.
Kebijaksanaan membekukan perkara itu tampaknya membawa pengaruh
cukup besar. Buktinya jumlah tunggakan di Kabupaten Bogor setiap
minggu semakin berkurang. Dari tunggakan sebesar Rp 2,7 milyar
di seluruh kabupaten kabarnya berkat kebijaksanaan tersebut,
kini sudah lebih dari Rp 800 juta yang bisa kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo