Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggertak Para Topengan

Para penunggak kredit bimas di bogor diadili. penunggak yang sanggup melunasi, perkaranya dibekukan, dan tampaknya membawa pengaruh cukup besar.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu ratusan petani berkumpul di halaman kecamatan. Beberapa di antaranya berkerumun di bawah pengeras suara yang sengaja dipasang. Hari itu, Selasa pekan lalu, tiga sang aparat desa diadili karena dituduh menyelewengkan kredit Bimas. Ini yang kedua kalinya Balai Kecarnatan Citeureup, Kabupaten Bogor (Jawa Barat) dipakai untuk mengadili perkara seperti itu. Pengadilan pertama berlangsung bulan lalu mengajukan enam orang, semuanya juga aparat desa. Semuanya sudah diputus: perkaranya dideponir alias dibekukan karena tertuduh bersedia melunasi tunggakan selama sebulan. Sidang yang kedua pekan lalu itu memeriksa Enoh bin Anda, aparat desa yang lain. Ia dituduh mencatut nama 35 petani dan menyelewengkan uang Bimas Rp 2 juta. Seperti halnya keenam tertuduh yang diadili bulan lalu, perkara Enoh juga dibekukan -- artinya ia tidak akan dituntut lagi--dengan syarat sanggup melunasi tunggakannya selama 1 bulan. Kalau waktu sebulan tidak mampu membayar, ia dihukum 6 bulan penjara. Dua tertuduh lainnya -- Baharuddin, guru agama dari Sentul dan Sadi bekas pamong tani Desa Karangtengah--ngotot tak mau membayar. Tulis Togong Karena itu perkara kedua orang itu akan disidangkan lagi awal bulan ini di Pengadilan Negeri Bogor. Baharuddin dituduh mencatut nama 143 petani dengan tunggakan Rp 17 juta lebih. Jumlah tunggakan kredit Bimas Sadi belum diketahui dengan pasti, sebab para petani yang akan menjadi saksi masih harus dikumpulkan dan diperiksa dulu. Jumlah seluruh tunggakan kredit Bimas di Kecamatan Citeureup meliputi Rp 35 juta lebih. "Separuh lebih dari jumlah tersebut berhasil ditagih, sisanya masih di tangan para penunggak," kata Camat Helmy Anwar. Kredit sebesar itu dipinjam oleh 844 orang. Tapi dari jumlah itu terdapat 256 petani yang namanya dicatut. Menurut Syahrul Bahrun, jaksa yang mengetuai Tim Operasi Gertak (Gerakan Serentak) Pengembalian Kredit Bimas Kabupaten Bogor, ada dua jenis penunggak. Pertama, yang sengaja menggelapkan kredit dengan mencatut nama sejumlah petani atau tidak menyetorkan pelunasan yang diterimanya dari petani kepada BRI. "PenungKak jenis ini biasanya aparat desa," katanya. Penunggak ienis kedua, para petani murni. Mereka ini memiliki sawah dan menggunakan kredit Bimas dengan cara yang semestinya. Mereka tidak dapat melunasi kredit karena panen gagal. "Jadi mereka tidak sengaja menunggak," kata Syahrul lagi. "Para petani itu jujur. Mereka selalu membayar kredit, meskipun dengan mengangsur," tambah Camat Helmy. Di Bogor para penunggak itu kebanyakan iustru aparat desa. Karena itu sejak bulan lalu Wakil Gubernur Jawa Barat, Suhud Warnaen, melarang para pamong desa menerima atau menagih tunggakan kredit Bimas dari para petani. Selain para pamong desa, aparat desa yang menyeleweng itu bisa terdiri dari' guru agama, polisi, ABRI, sekretaris desa, Hansip. Pendeknya orang-orang yang berpengaruh di kalangan masyarakat setempat. Dua orang petani dari Desa Kolot, Kecamatan Citeureup, membenarkan aparat desa banyak yang mencatut nama para petani. Sidik misalnya, pada suatu hari kaget karena mendapat panggllan untuk diperiksa di kecamatan. Ia merasa tak punya tunggakan kredit Bimas. "Biasanya aparat desa itu membujuk petani agar minta kredit. Setelah dapat, uangnya disetor kepada aparat tersebut. Dan si petani hanya mendapat komisi," tutur Survani, seorang petani pula. Di Citeureup, pencatutan nama untuk mempeoleh kredit itu dikenal dengan sebutan tulis togong atau topengan. Sampai saat ini Operasi Gertak sudah berpraktek di 16 kecamatan dari 27 kecamatan di Kabupaten Bogor. Kabupaten ini terhitung penunggak kredit paling banyak di Ja-Bar. Dari hasil operasi tahap I yang dimulai sejak September lalu, ada 200 perkara yang akan dilimpahkan ke pengadilan. "Tapi jumlah itu akan berkurang karena perkaranya dideponir, berhubung si penunggak menyatakan sanggup melunasi tunggakannya dalam waktu tertentu," kata Syahrul. Batas waktu kesanggupan pelunasan itu bahkan dapat diperpanjang sampai tiga kali masa tanam. Di Bogor masa tanam itu biasanya dua kali dalam setahun. "Secara hukum pembekuan itu tidak dibenarkan. Sebab penunggak sudah diperiksa dan tindakannya jelas merupakan penggelapan, penipuan dan pemalsuan surat. Tapi yang penting, tujuan operasi ini tercapai. Yaitu kembalinya uang negara," kata Syahrul. Kebijaksanaan membekukan perkara itu tampaknya membawa pengaruh cukup besar. Buktinya jumlah tunggakan di Kabupaten Bogor setiap minggu semakin berkurang. Dari tunggakan sebesar Rp 2,7 milyar di seluruh kabupaten kabarnya berkat kebijaksanaan tersebut, kini sudah lebih dari Rp 800 juta yang bisa kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus