Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menghadang Kandidat Bos Kuningan

Sejumlah fraksi di Komisi Hukum DPR mempersoalkan empat calon pemimpin KPK. Diganjal lewat undang-undang.

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REKOR deadlock terjadi di ruang Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Tiga kali rapat Komisi Hukum dengan panitia seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa-Kamis pekan lalu berjalan alot. Salah satu penyebabnya, panitia seleksi luput melampirkan dokumen lengkap delapan calon. "Panitia seleksi tak sistematis bekerja," kata anggota Komisi Hukum dari Fraksi NasDem, Taufiqulhadi, Kamis pekan lalu.

Delapan calon itu adalah Saut Situmorang, Surya Tjandra, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Agus Rahardjo, Sujanarko, Johan Budi Sapto Pribowo, dan Laode Muhamad Syarif. Mereka akan mengikuti uji kelayakan di Komisi Hukum pada Rabu-Kamis pekan ini. Hasil tes mereka akan digabung dengan hasil tes dua calon yang diseleksi tahun lalu, yaitu Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata. Pada 30 November, Komisi memilih lima di antara mereka untuk memimpin KPK mulai pertengahan Desember.

Bukan cuma dokumen yang dipersoalkan. Komisi juga mengkritik mekanisme dan prosedur seleksi serta pengelompokan kandidat ke dalam empat pembidangan. Tapi yang paling menyeruak adalah sorotan Komisi terhadap empat nama. Kandidat-kandidat itu dianggap tak memenuhi syarat menjadi pemimpin di Kuningan, Jakarta—lokasi kantor KPK. Komisi menggunakan dalil Pasal 29 butir D Undang-Undang KPK.

Pasal itu menyebutkan pemimpin KPK harus berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. Kandidat yang dipersoalkan adalah Saut Situmorang, Agus Rahardjo, Sujanarko, dan Johan Budi. Keempatnya tak berijazah di bidang hukum dan dianggap belum punya pengalaman di bidang lain selama waktu yang ditentukan.

Gelagat resistansi Komisi Hukum mulai terlihat beberapa jam sebelum rapat dengan panitia seleksi. Sejumlah fraksi sudah berencana meminta penjelasan ihwal pemilihan delapan calon. Salah satu yang dipersoalkan adalah Johan Budi. Politikus Partai Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa, menganggap aneh lolosnya Johan. Sebab, mantan juru bicara KPK ini belum punya cukup pengalaman di bidang hukum. "Ini kan pelanggaran undang-undang," ujar Wakil Ketua Komisi Hukum itu.

Persepsi terhadap empat kandidat akhirnya terlontar dalam rapat pertama Komisi Hukum dan panitia seleksi, Selasa malam pekan lalu. Politikus Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mempertanyakan masuknya Saut, Sujanarko, Agus, dan Johan. "Dari riwayat pekerjaan mereka, saya ragu mereka memenuhi syarat formal," katanya.

Sehari setelahnya, di forum serupa, sejumlah anggota DPR kembali mempersoalkan lolosnya empat nama tersebut. Bahkan, seusai rapat dengan panitia seleksi, Komisi mengadakan pertemuan tertutup di ruang sekretariat. Setengah jam mereka mendiskusikan nasib empat kandidat. "Layak atau tidak untuk diteruskan ke uji kelayakan," ujar politikus PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, yang ikut pertemuan.

Pertemuan itu sepakat membawa persoalan empat calon ke fraksi masing-masing. Bola pembahasan di setiap fraksi akan bergulir seusai rapat lanjutan Komisi dan panitia seleksi awal pekan ini. "Kalau keputusan fraksi-fraksi menganggap tak memenuhi syarat, bisa saja tak masuk ke uji kelayakan," kata Masinton.

Panitia seleksi tak sependapat dengan dalih DPR. Meski keempat kandidat bukan sarjana hukum, panitia seleksi menganggap mereka memenuhi syarat karena punya cukup pengalaman di bidang hukum atau bidang lain. "Pengalaman itu jadi pertimbangan kami," ujar anggota panitia seleksi, Betti Alisjahbana.

Saut menyangkal tak memenuhi persyaratan. Menurut anggota staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara ini, dia berkecimpung di bidang ekonomi selama 30 tahun. Adapun Johan memprotes dalil yang digunakan Senayan. "Undang-undang tak mengatur harus sarjana hukum atau bukan," katanya. Sebaliknya, Sujanarko memilih pasrah. "Saya ikuti saja apa yang diputuskan DPR," ujar Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar-Komisi dan Instansi KPK ini.

Prihandoko, Muhamad Rizki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus