Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMPIAN Institut Teknologi Surabaya (ITS) untuk punya satelit komunikasi canggih kini jadi melayang. Satelit yang belum pernah ada di Indonesia dan masih jarang dimiliki oleh negara-negara lain itu tergolong dari jenis satelit yang tahan terhadap gangguan hujan deras. Tapi apa mau dikata, proyek kerja sama antara ITS dan Eindhoven University of Technology di Belanda itu harus dihentikan segera. Tindakan ini diambil menyusul keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi awal April lalu tentang pemberhentian dosen dan tenaga ahli asal Belanda. Dalam surat yang diteken oleh Dirjen Sukadji Ranuwihardjo itu dikatakan bahwa semua program pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) yang mendapat bantuan dari pemerintah Belanda harus segera dihentikan. Keputusan ini merupakan salah satu buntut sikap Indonesia yang menolak bantuan pemerintah Belanda yang diumumkan Maret lalu. Bantuan yang dimaksud berupa tenaga pengajar dan ahli. Bahkan dalam surat tersebut ditentukan batas akhir para tenaga ahli atau dosen yang bekerja di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia yakni paling lambat sampai 23 April 1992. "Pemerintah hanya akan mempertahankan mereka yang terlibat dalam program yang sangat penting atau tinggal menyelesaikan programnya," kata Sukadji. Untuk ini, pemerintah Indonesia akan mencarikan dananya. Dengan adanya kebijaksanaan itu, sampai saat ini tak lebih dari dua puluh tenaga ahli atau dosen yang dibiayai oleh Belanda harus segera meninggalkan Indonesia. Mereka tersebar di beberapa perguruan tinggi, seperti ITS, Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Indonesia. Di ITS, misalnya, saat ini ada tiga ahli Belanda: Ir. Kim Liu dari Eindhoven dan J.P. Hans Dotman dan P.B. van der Burg dari Delft University of Technology. Mereka terlibat dalam tiga proyek yang meliputi bidang telekomunikasi, teknik sipil pengairan dan sungai. Mestinya, proyek bernilai 1,8 juta gulden (sekitar Rp 2 milyar) itu baru berakhir dua tahun lagi. Sedangkan di Universitas Brawijaya, Malang, menurut rektornya ZA. Achmady, tujuh orang dosen tamu mereka juga mengalami nasib yang sama. Lima di antara mereka berasal dari University of Wageningen yang terlibat dalam program pengembangan Fakultas Perikanan, interdisipliner riset, pengembangan Fakultas Peternakan dan pengembangan Fakultas MIPA untuk bidang fisika dan kimia. Sedangkan yang berasal dari Univerity of Leiden terlibat dalam program pengembangan ilmuilmu sosial. Terpaan kebijaksanaan penghentian bantuan tersebut juga mengimbas ke Departemen Agama yang menaungi lembaga pendidikan tinggi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Martin van Breunesen, dosen tamu di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, adalah salah satu dari mereka yang harus berhenti mengajar. Antropolog lulusan Utrecht University yang mengajar metodologi penelitian di Fakultas Pasca Sarjana IAIN ini berasal dari program INIS ((Indonesian Netherland Islamic Studies) yang dibiayai oleh Departemen Luar Negeri Belanda. Lantas bagaimana dengan kelanjutan nasib program yang digarap dosen-dosen asal Belanda tadi? "Kami masih mengusahakan dispensasi agar pemulangan mereka bisa ditangguhkan dua bulan, sampai semester ini selesai," kata Sofian Effendi, Pembantu Rektor IV UGM Bidang Kerja Sama Antar-Universitas. Untuk itu, menurut Sofian, UGM bersedia mencarikan dana sendiri guna membiayai tiga orang dosen asal Belanda yang kini mengajar di Fakultas Sastra dan Fakultas Matematika serta Ilmu Pasti Alam (MIPA) UGM tersebut. Biaya yang dibutuhkan membayar dosen sekitar Rp 6 juta sampai Rp 8 juta tiap bulan. Sama halnya dengan UGM, Rektor ITS, Odjoe Djoeriaman, masih berusaha mempertahankan proyek kerja sama mereka. "Kami akan mencari sponsor di luar pemerintah Belanda," kata Odjoe Djoeriaman kepada TEMPO. Optimisme Odjoe juga didukung oleh Kim Liu, ahli telekomunikasi yang dikontrak Eindhoven untuk bekerja sama dengan ITS. "Eindhoven sendiri bersedia mencarikan sponsornya," kata Kim. Pemerintah Indonesia sendiri, lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kini sedang menyeleksi program-program yang termasuk dalam kategori sangat penting -- terutama yang berkaitan dengan teknologi -- seperti yang diutarakan Sukadji. Departemen P dan K menampung usulan-usulan yang berasal dari tiap perguruan tinggi. Kekurangserasian antara pemerintah Belanda dan RI ternyata tak mempengaruhi sikap mereka yang terlibat dalam proyek-proyek kerja sama. "Saya akan membiayai sendiri ongkos hidup saya sampai program saya selesai," kata Ben Zuidberg, ahli fisika dasar yang mengajar di Fakultas MIPA UGM. Dosen asal Free University, Amsterdam, yang punya tanggungan membimbing beberapa mahasiswa S2 dan S3 ini baru akan berakhir tugasnya dua bulan lagi. Bukan hanya Ben yang menyatakan tetap akan tinggal di Indonesia. Dengan alasan yang sedikit berbeda, Dotman, yang mengajar di ITS, menyatakan akan tetap tinggal di Indonesia untuk sementara waktu. Pemuda Belanda yang baru dua bulan lalu menyunting gadis asal Blitar itu ingin menunggui pembangunan rumah mertuanya usai dua bulan lagi. Untuk itu, kata Dotman, sambil menyelesaikan tugasnya, ia siap mengeluarkan biaya sendiri. Meskipun menyayangkan keputusan pemerintah RI tersebut, seorang juru bicara Kedutaan Besar Belanda di Jakarta mengatakan bahwa pemerintahnya tak bisa berbuat banyak. "Sejak awal pemerintah Indonesia secara eksplisit sudah menegaskan bahwa kami tak boleh turut campur," kata sumber tadi. Rustam F. Mandayun dan R. Fadjri (Yogyakarta) dan Iwan Q. Himawan (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo