Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat adat Poco Leok menolak perluasan proyek PLTP.
Masyarakat khawatir proyek geotermal itu merusak lingkungan.
PT PLN berharap masyarakat bersedia berdialog.
JAKARTA – Warga Kampung Adat Lungar, Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, tengah meningkatkan kewaspadaan. Mereka berbagi tugas untuk memantau situasi dan berjaga-jaga. “Kami menolak perluasan proyek geothermal,” kata Servarius Masyudi Onggal, warga Kampung Lungar, saat dihubungi pada Senin, 2 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yudi Onggal, petugas pembebasan lahan dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah berkali-kali datang untuk mengukur lahan. Berkali-kali pula warga bisa menghalau mereka. Terakhir, pada 27 September lalu, petugas datang dengan kawalan polisi. Warga menghadang mereka sehingga pengukuran lahan bisa dibatalkan. “Setelah itu, kami belum lihat lagi ada pergerakan,” kata Yudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, warga Kampung Lungar sudah menegaskan sikap mereka yang menolak perluasan proyek geotermal untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Sebab, warga khawatir aktivitas penambangan panas bumi itu berdampak buruk pada lingkungan dan ujung-ujungnya mengancam kehidupan masyarakat. “Kami tidak ingin tanah, mata air, dan budaya kami rusak karena proyek ini,” ujar Yudi.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dok. PLN
Aksi penolakan itu bukan hanya terjadi di Kampung Lungar. Di Poco Leok terdapat sepuluh kampung adat dan semuanya memiliki sikap serupa dengan warga Lungar. Mereka berpendapat proyek geotermal akan menjadi malapetaka bagi kehidupan masyarakat adat di Poco Leok. Sebab, tanah yang menjadi sumber kehidupan bakal dirusak. Padahal masyarakat adat sangat menghargai tanah dan air sebagai bagian dari kehidupan. “Itu adalah artefak yang sangat penting bagi kami,” kata Yudi. “Hilang sedikit saja tanah dan air, mengartikan juga menghilangkan budaya yang dijaga.”
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan Pulau Flores memiliki potensi panas bumi sebesar 902 megawatt atau 65 persen dari total potensi panas bumi di Nusa Tenggara Timur. Potensi ini yang membuat Kementerian ESDM pada 2017 menetapkan Flores sebagai penghasil energi panas bumi yang menjadi sumber listrik utama di pulau tersebut.
Pulau Flores merupakan daerah vulkanis yang memiliki 13 gunung api aktif. Adapun potensi panas bumi tersebar di sejumlah titik, yaitu di Ulumbu, Waisano, Wai Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Oka Ile Ange, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Atedai, Roma-Ujelewung, Ndetusoko, Oyang Barang, dan Bukapiting. Khusus di Ulumbu, pengkajian dan pemanfaatan energi panas bumi sudah dimulai pada 2009.
PT PLN saat ini mengoperasikan empat unit pembangkit listrik di PLTP Ulumbu. Pemerintah, pada 2021, mulai memperluas PLTP ke Poco Leok untuk pengembangan proyek Unit V dan VI. Proyek ini digarap oleh PT PLN dengan sumber pendanaan dari Bank Pembangunan dan Investasi Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW). Pengembangan itu masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menjadi salah satu proyek strategis nasional.
Warga Poco Leok melakukan unjuk rasa menolak proyek geotermal Poco Leok di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, 9 Agustus 2023. Dok. Floresa.co
Agustinus Sukarno, warga Poco Leok, mengatakan perluasan PLTP Ulumbu ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem alam di Poco Leok. Setidaknya ancaman itu sudah terlihat pada proyek serupa di Mataloko, Kabupaten Ngada. Aktivitas penambangan panas bumi menimbulkan semburan lumpur panas dari titik pengeboran. “Dampaknya, sawah dan ladang milik warga rusak,” kata Agus. Fenomena serupa, kata Agus, terjadi di Mandailing Natal, Sumatera Utara; dan Dieng, Jawa Tengah.
Di Mandailing Natal, kata Agus, lima orang meninggal terkena semburan gas hidrogen sulfida (H2S) pada 2021. “Ada beberapa warga lagi yang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit,” ucapnya. Meski begitu, pemerintah acap mengklaim bahwa proyek ini merupakan proyek energi terbarukan yang didapat langsung dari sumber daya alam.
General Manager Divisi Panas Bumi PT PLN (Persero), Christiyono, mengatakan pihaknya telah mempelajari dampak pembangunan proyek PLTP, termasuk tentang potensi bahaya H2S. “Semua energi panas bumi pasti memiliki keterkaitan dengan H2S. Hanya, ada yang kadarnya tinggi, menengah, dan rendah,” kata Christiyono. Dia tak menampik data pendamping yang dipaparkan warga mengenai kasus keracunan H2S di Dieng. “Kadar H2S di sana memang tergolong tinggi.”
Adapun untuk H2S di Pulau Flores, kata Christiyono, kadarnya relatif lebih rendah. Bahkan di Ulumbu, Poco Leok, dan Mataloko, tidak pernah terjadi kasus warga pingsan karena menghirup H2S. “Meski rendah, bukan berarti kami tidak menawarkan mitigasinya,” katanya. “Kami sampaikan ke kampung-kampung bahwa ini terjadi kebocoran H2S dan bagaimana cara penanganannya.”
Ihwal kekhawatiran terjadi tanah longsor akibat aktivitas penambangan, kata Christiyono, juga sudah diantisipasi. PT PLN telah memetakan lokasi rawan, kemudian mengambil langkah-langkah penanganan. “Kami akan buat dinding penahan.”
Kepala Divisi Riset dan Advokasi Sunspirit for Justice, Anno Susabun, mengatakan penolakan warga Poco Leok terhadap perluasan PLTP Ulumbu merupakan upaya untuk mempertahankan ruang hidup dan budaya mereka. Penolakan itu sudah ditunjukkan berkali-kali di antaranya lewat unjuk rasa di depan kantor Bupati Manggarai serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. “Warga juga sudah menyurati Bank KfW untuk menghentikan pendanaan proyek ini,” kata Anno.
Untuk menjawab surat dari warga itu, kata Anno, Bank KfW meminta PT PLN bertanggung jawab dan menghormati hak-hak masyarakat dalam perluasan PLTP di Poco Leok. Menurut Anno, bentuk pertanggungjawaban yang bisa dilakukan PLN adalah membuka informasi tentang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari proyek ini. “Saya belum pernah lihat ada sosialisasi soal amdal-nya,” kata Anno.
Executive Vice President Komunikasi Korporat PT PLN (Persero), Gregorius Adi Trianto, membantah pernyataan Anno mengenai amdal. Gregorius menegaskan, dalam mensosialisasi rencana proyek, timnya selalu memaparkan informasi tentang amdal, hasil studi, dan upaya mitigasi. “Sejak 2019, kami sudah lakukan itu,” kata dia.
Gregorius menyayangkan tindakan masyarakat yang menghadang petugas untuk masuk ke Poco Leok. Sebab, penghadangan ini justru membuat proses diseminasi informasi terhambat. Apalagi PT PLN hanya ingin berdialog dengan warga mengenai rencana perluasan proyek PLTP. “Tapi, kalau ruang dialognya ditutup, bagaimana kami akan menjelaskannya,” ujar dia. “Kami sudah sampaikan permohonan maaf kalau ada aktivitas yang dilakukan tanpa izin di tanah ulayat. Tapi beri tahu kami juga apa yang masih dianggap kurang.”
Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, mendesak aparat keamanan tidak bertindak represif terhadap warga Poco Leok. Menurut Jamil, kepolisian semestinya berpihak kepada warga. “Karena mereka mempertahankan ruang hidupnya,” kata Jamil. Adapun warga berada pada posisi yang benar karena tengah menegakkan prinsip adat sehingga tidak perlu direspons secara represif. “Apa pun aktivitas yang dilakukan di tanah ulayat itu harus ada izin dan kesepakatan dari masyarakat adat.”
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo