Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Duka Ria-Ria Ditinggal Jakarta

Nasib petani di proyek food estate Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tak menentu. Skema baru pengembangan kawasan dianggap tak menguntungkan.

13 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Petani di Desa Ria-Ria mengeluhkan perubahan skema pengembangan food estate yang tak menguntungkan.

  • Perubahan skema menjadi berbasis investor diputuskan Menteri Luhut Binsar Pandjaitan.

  • Masalah kini bermunculan setelah proyek food estate dikembangkan serampangan.

“SEKARANG jalan di tempat.” Haposan Siregar menyunggingkan bibir ketika menggambarkan perkembangan proyek kawasan sentra pangan (food estate) Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, di desanya. Namun, dari nada bicaranya yang lantang, tetap terdengar kekecewaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Kelompok Tani Ria Bersinar tersebut menyesalkan keputusan pemerintah yang mengubah skema program food estate di Desa Ria-Ria menjadi berbasis korporasi. “Sebenarnya kami ingin skema Kementerian Pertanian kembali lagi,” kata Haposan ketika ditemui Tempo di Desa Ria-Ria, Kamis, 7 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Pertanian memulai program food estate Humbang Hasundutan pada September 2020. Namun persiapannya sudah dimulai beberapa bulan sebelumnya. Proyek ini digeber bersamaan dengan program food estate di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah; serta Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Kala itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya segera membangun lumbung pangan baru karena adanya ancaman krisis pangan pada masa pandemi Covid-19.

Di Humbang Hasundutan, kabupaten yang terletak di sisi barat daya Danau Toba, pemerintah mengklaim akan mengalokasikan area penanaman seluas 30 ribu hektare. Sebagai permulaan, rencana pembangunan lumbung pangan difokuskan di lahan 1.000 hektare.

Desa Ria-Ria menjadi tuan rumah untuk program food estate tahap awal seluas 215 hektare. Kelompok Tani Ria Bersinar, yang digawangi Haposan dan 19 petani lainnya, menjadi satu dari enam kelompok tani dalam program awal ini. Mereka membudidayakan bawang merah, bawang putih, dan kentang yang menjadi target komoditas di food estate Humbang Hasundutan.

Pengembangan kawasan tahap pertama ini menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Kementerian Pertanian serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kementerian Pertanian bertugas mengurus persiapan budi daya tanaman hortikultura, yakni bawang merah, bawang putih, dan kentang. Adapun Kementerian PUPR bertugas menyiapkan infrastruktur pendukung, dari fasilitas irigasi hingga jalan akses.

Adapun pengembangan selanjutnya dirancang menyasar lahan seluas 715 hektare. Sebagian wilayah Desa Ria-Ria juga masuk dalam pengembangan tahap kedua ini bersama area di Desa Hutajulu dan Desa Parsingguran I. Bedanya, program tahap kedua ini bakal menggunakan skema korporasi, menarik investor untuk membangun sistem rantai pasok hasil budi daya (offtaker).

Bangsal penyimpanan bibit bawang merah di kompleks food estate Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, pada Februari 2021 (kiri) dan 7 Juli 2022 (kanan). TEMPO/Sahat Simatupang

Dua tahun berselang, proyek-proyek itu menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit BPK, dalam laporan yang dipublikasikan pada Juni lalu, mengungkap banyak masalah dalam pelaksanaan proyek food estate.

Audit yang menyasar pelaksanaan program periode 2020 sampai triwulan III 2021 itu memeriksa proyek tahap pertama seluas 215 hektare yang telah dimulai Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR. Hasilnya, auditor menemukan perencanaan yang kurang komperehensif, penyaluran bantuan prasarana dan sarana pertanian yang tak sesuai dengan rekomendasi, serta pengadaan yang berpotensi menjadi pemborosan anggaran. Semua temuan itu dinilai dapat menyebabkan pengembangan food estate gagal.

Kenyataannya, pada musim tanam pertama sepanjang September 2020-April 2021, produktivitas ketiga komoditas yang dibudidayakan dengan skema APBN di lahan seluas 215 hektare jauh lebih rendah dibanding produktivitas nasional. Produktivitas bawang merah, misalnya, rata-rata hanya 5,18 ton per hektare, jauh dari rata-rata nasional yang mencapai 9,71 ton per hektare. Hal serupa terjadi pada budi daya kentang, yang hanya 8,37 ton per hektare, kurang dari separuh rata-rata produktivitas nasional sebanyak 19,55 ton per hektare.

Tak banyak orang tahu, rendahnya produktivitas musim tanam pertama itu diikuti dengan kebijakan baru dari Ibu Kota. Pemerintah mengubah skema pengembangan food estate Humbang Hasundutan. Seluruh area program, baik tahap pertama seluas 215 hektare maupun tahap kedua seluas 715 hektare, akan menggunakan skema korporasi alias offtaker.

Keputusan inilah yang belakangan disesalkan oleh Haposan. “Enggak ada,” kata Haposan ketika ditanya apa saja kemajuan program food estate sejak skema pengembangan berubah pada akhir April 2021. “Lihat saja, ini jalan belum tersambung untuk semua 215 hektare itu. Ada di sana, tapi itu untuk yang 100 hektare.”

Perubahan Skema Diputuskan Menteri Luhut

PERUBAHAN skema pengembangan food estate seluas 215 hektare di Desa Ria-Ria itu ditandai dengan keluarnya Surat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Nomor B-1856/Menko/Marves/AJ.00/IV/2021. Diteken Menteri Luhut Binsar Pandjaitan pada 28 April 2021, surat itu berisi penunjukan penanggung jawab dan manajer lapangan food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Penanggung jawab yang ditunjuk adalah Bupati Humbang Hasundutan. Sedangkan manajer lapangannya adalah Tenaga Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Van Basten Panjaitan.

Sebagai penanggung jawab, Bupati Humbang Hasundutan mempunyai tugas merencanakan, memberi pengarahan, serta mengkoordinasi kegiatan operasional kawasan, termasuk mengelola sarana dan prasarana mesin pertanian. Bupati juga bertugas membentuk tim operasional lapangan, merumuskan inovasi kelembagaan dan mengawal sampai terbentuk Badan Pengelola Kawasan, serta memfasilitasi kerja sama antara petani dan offtaker.

Bupati Humbang Hasundutan, seperti disebutkan dalam laporan BPK, menjelaskan bahwa program tak lagi melibatkan bantuan sarana budi daya dari Kementerian Pertanian lantaran hasil yang kurang memadai pada musim tanam pertama. Selain itu, alasannya untuk mencegah risiko kasus hukum apabila menggunakan dana APBN dalam pengelolaan budi daya. Adapun Kementerian Pertanian tetap bertugas mendampingi petani.

Saat pemeriksaan lapangan BPK rampung pada Oktober 2021, lahan food estate seluas 215 hektare yang semula menjadi area kegiatan berbasis APBN telah beralih pengelolaan. Lahan seluas 46,5 hentare telah diolah dan ditanami kembali dengan modal dari investor atau offtaker. Lahan seluas 73,7 hektare telah diolah tapi belum ditanami karena menunggu permodalan investor.

Adapun sisanya yang terbesar, yakni seluas 94,8 hektare, belum diolah atau ditanami kembali dan telah ditumbuhi semak belukar. BPK mencatat lahan paling luas itu, sekitar 44 persen dari total lahan yang pernah dibudidayakan menggunakan dana APBN, berpotensi kembali telantar.

Petani beralih menanam kol di kawasan food estate Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 7 Juli 2022. TEMPO/Sahat Simatupang

Di Desa Ria-Ria, struktur baru pada pengembangan kawasan food estate Humbang Hasundutan itu dikenal sebagai tim transisi. Tim inilah yang setahun terakhir membawa masuk sejumlah pelaku usaha ke Desa Ria-Ria.  

PT Indofood Sukses Makmur Tbk termasuk yang bergabung ke program food estate Desa Ria-Ria pada 2021. Kelompok usaha sektor makanan dan minuman ini membangun demonstration plot (demplot) atau lahan percontohan budi daya kentang di tanah petani yang disewa.  

Belakangan, tim transisi juga menggandeng PT Parna Raya. Kelompok usaha yang bisnis utamanya pada logistik dan perdagangan ini, kata Haposan, bekerja sama dengan Kelompok Tani Karya Hijau untuk budi daya bawang putih di lahan seluas 26 hektare.

Ria Bersinar, kelompok tani yang dipimpin Haposan Siregar, sejak awal ogah ikut dengan skema offtaker. Dari obrolan dengan para pengurus kelompok tani, Haposan menilai skema kerja sama dengan perusahaan itu tak menguntungkan.

Indofood, kata Haposan, mengembangkan kentang industri untuk bahan produksi makanan ringan yang pengelolaannya lebih sulit dan hasilnya tak maksimal di tanah Ria-Ria yang kurang subur. Petani Desa Ria-Ria juga lebih terbiasa menanam kentang varietas granola. “Tinggal satu orang. Umur kentangnya 1,5 bulan. Lahannya sekitar 1 hektare,” kata Haposan, mengatakan jumlah petani yang masih bertahan dalam skema kerja sama Indofood.

Sedangkan kerja sama dengan Parna Raya, menurut Haposan, masih berjalan. Namun para petani dengan skema kerja sama ini tak lagi menanam bawang putih. Mereka beralih ke kol atau jagung. “Kalau bawang merah, masih panen orang itu,” ujarnya.  

Kerja sama dengan offtaker dianggap tak menguntungkan lantaran investor hanya memberikan benih yang kelak diperhitungkan dalam hasil penjualan. Sedangkan biaya pupuk dan hari orang kerja (HOK) tetap ditanggung petani. Itu pula sebabnya, kata Haposan, petani sekarang memilih menanam kol atau jagung yang lebih efisien, mudah, dan tak terikat kerja sama dengan offtaker. “Olah sendiri saja,” kata Haposan.  

Cerita Haposan diamini penyuluh pertanian Kecamatan Pollung, Wisler Lumban Batu. Dari dialog bersama kelompok tani, Wisler menyimpulkan petani tidak merasa terbantu oleh kerja sama offtaker. Ambil contoh, kata Wisler, soal penyediaan bibit bawang merah. Dalam perjanjian kerja sama, petani harus mengganti biaya bibit yang gagal disemai alias mati sebelum dipindahkan ke lahan food estate. “Walhasil, banyak petani tidak mau menanam bawang dan bekerja sama dengan offtaker,” kata Wisler ketika ditemui Tempo secara terpisah, Kamis, 7 Juli 2022. 

Hal senada diutarakan Kepala Desa Ria-Ria, Jon Perdianus Lumban Gaol. “Perjanjian kerja sama dengan Parna Raya di lahan food estate milik warga tidak menguntungkan petani," kata Jon, Jumat, 8 Juli 2022. Selain skema kerja sama, teknologi tetes yang diperkenalkan Parna Raya untuk mengairi kebun bawang dipersoalkan petani.

Bara Baru setelah Perubahan Skema 

Tak berlanjutnya pembangunan food estate di Desa Ria-Ria membuat petani gamang. Pasalnya, masalah terbesar yang dihadapi petani, yakni pengairan, hingga kini juga tak terselesaikan. Di Desa Ria-Ria, kata Haposan, tanah kering kerontang setelah dua hari tanpa hujan. “Apalagi musim kemarau. Itulah yang bikin semakin malas. Turun kepercayaan,” kata Haposan.

Kamis siang itu, Tempo mendatangi fasilitas pengelolaan irigasi yang pada September tahun lalu kelar dibangun di kompleks food estate Desa Ria-Ria. Bak penampungan air itu seukuran lapangan basket kering. Padahal bak raksasa berwarna biru tersebut semestinya menampung air dari Sungai Desa Ria-ria yang mengalir tepat di sebelahnya. Dari sana, air seharusnya dialirkan ke kawasan food estate. “Lahan kami belum pernah mendapat air dari bak penampung,” kata Haposan.

Kemarin, Tempo menghubungi Deputi Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti, yang bertugas untuk urusan pengembangan kawasan pangan. Namun Nani tidak menyahut.

Tempo juga berupaya menanyakan nasib pengembangan food estate ke Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor. Namun politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu tak membalas pesan ataupun menerima panggilan Tempo.

Food Estate Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Dok. PUPR

Adapun Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, yang semula bertugas mengawal proyek ini, mengatakan Kementerian Pertanian telah bekerja maksimal. Hasil panen petani, kata dia, digunakan oleh kelompok petani di lahan food estate sebagai modal untuk budi daya berikutnya. “Kalaupun ada lahan yang kembali menjadi alang-alang, dikembalikan ke masyarakat di sana,” kata Prihasto, Senin, 12 Juli 2022.

Di lapangan, nyatanya petani kebingungan mencari modal untuk penanaman berikutnya. Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, Delima Silalahi, mengatakan Koperasi Usaha Bersama yang awalnya dibentuk, kini sudah tidak beroperasi. Kabar dari Delima ini juga tercatat dalam laporan hasil pemeriksaan BPK.

Mulanya, menurut Delima, koperasi tersebut menggunakan sistem pembagian 60 persen untuk petani, 30 persen untuk modal berikutnya, dan 10 persen diserahkan ke koperasi. Tutupnya koperasi membuat petani luntang-lantung karena tidak tahu harus ke mana menuntut bagian mereka. Apalagi dalam skema yang baru, modal subsidi sudah tidak ada lagi. Pada akhirnya, petani menjadi buruh tani dengan bayaran Rp 80 ribu per hari. “Sedangkan lahan yang dulunya tanah garapan mereka disewa (offtaker) Rp 1 juta per hektare dalam setahun,” kata Delima.

Pengembangan food estate Humbang Hasundutan yang serampangan disebut Delima juga berpotensi memicu konflik horizontal antara Desa Ria-Ria dan Desa Parsingguran I. Sebagian lahan food estate di Desa Parsingguran I merupakan tanah adat Desa Ria-Ria. “Sampai sekarang masalah ini tidak diurus pemerintah,” ujar Delima. “Jadi, proyek food estate ini sebenarnya untuk siapa?”

IMA DINI SAFHIRA | YOHANNES PASKALIS | AGOENG | SAHAT SIMATUPANG (HUMBANG HASUNDUTAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus