Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURANG dari tiga bulan setelah kelompok Naro dan Soedardji menandatangani kesepakatan rujuk di rumah Mendagri Soepardjo Rustam akhir Juni lalu, kapak perang telah digali lagi. Itu terjadi pada, Rabu 28 Agustus lalu. Beberapa saat setelah Menteri Kehakiman Ismail Saleh membacakan keterangan pemerintah tentang dua RUU Mahkamah Agung dan Peradilan Umum, sidang paripurna DPR dipimpin wakil ketua DPR Kharis Suhud dilanjutkan dengan pembacaan keanggotaan komisi-komisi DPR. Pada akhir sidang yang berlangsung satu jam, Kharis membacakan surat dari pimpinan Fraksi Persatuan Pembangunan, yang ditandatangani ketuanya Soedardji. Isinya, tentang perombakan susunan pimpinan F-PP. Dalam susunan yang baru itu hilang sembilan nama, antara lain lima wakil ketua: Imam Sofwan, Nurhasan Ibnuhadjar Lukmanul Hakim, Romas Djajaseputra, dan Jusuf Sjakir. Selain itu, tercoret juga Dja'far Siddiq, Abduh Paddare, Sufri Helmy Tanjung, dan Mansyur Wiraatmadja (yang telah meninggal), dari susunan F-PP yang sebetulnya baru terbentuk awal April 1985. Sebagai ganti mereka, muncul sejumlah nama baru, antara lain Munasir, M. Saleh, Djamaluddin Tarigan, Ny. Asmah Syahroni, Mustafa Hafas, Asri Tjikman, dan Imam Churmen. Para anggota F-PP dari kelompok Naro juga kaget. Rupanya, mereka mengira yang dirombak Soedardji hanya keanggotaan komisi. Keruan saja, siang itu suasana kamar 420 - tempat berkumpul kubu Naro - panas dan emosional. "Memangnya fraksi itu punya nenek moyang Dardji," kata A. Malik, ketus. "Dardji itu otoriter," teriak Effendy Somad. Siang itu kelompok Naro mengadakan rapat tertutup. Kesimpulan rapat, menurut Jusuf Sjakir, "Perombakan yang dilakukan Soedardji tidak konstitusional." Menurut dia, jumlah anggota F-PP yang berada di pihaknya lebih dari separuh. Siang itu beredar surat yang mengatasnamakan pimpinan F-PP, yang ditandatangani Jusuf Sjakir dan Abduh Paddare, mengundang seluruh anggota F-PP menghadiri rapat di DPP-PPP. Malam itu berlangsung rapat di DPP-PPP di Jalan Diponegoro, dihadiri 57 dari 89 anggota F-PP yang termasuk kelompok Naro. Rapat memutuskan menolak perubahan pimpinan F-PP. Selain itu, diputuskan juga membentuk formatir untuk pimpinan fraksi yang baru: Imam Sofwan, Nurhasan Ibnuhadjar, Jusuf Sjakir, Abduh Paddare, dan Ramly Nurhappy. Menurut sebuah sumber, rencana mengubah pimpinan fraksi digarap Soedardji bersama Achda dan Syarifuddin Harahap, semalam sebelum perubahan itu terjadi. Tujuan perombakan itu: agar terjadi kesatuan dalam sikap berpolitik antara semua pimpinan fraksi. Sebelum ini ada sebagian pimpinan fraksi yang dianggap lebih taat pada kebijaksanaan DPP daripada fraksi. "Tindakan itu saya lakukan untuk mengamankan kekompakan kepemimpinan fraksi," kata Soedardji. Ia menganggap tindakannya itu tidak bertentangan dengan tata tertib karena dilakukan dalam "keadaan mendesak". "Saya dibenarkan melakukan tindakan itu. Dan saya 'kan terus lapor ke pimpinan dewan," katanya. Pertempuran babak kedua antara Dardji dan Naro terjadi esoknya, Kamis 29 Agustus. Untuk calon ketua Komisi I, yang menjadi jatah PPP, muncul dua calon: Zamroni sebagai calon dari kelompok Dardji dan Romas Djajaseputra dari kelompok Naro. Karena tidak ada yang mau mengalah, setelah wakil ketua DPR. Kharis Suhud menskors sidang selama sekitar 15 menit, pemilihan terpaksa dilakukan dengan voting. Zamroni akhirnya terpilih, memperoleh 20 suara, sedang Romas cuma memperoleh 3. Kemenangan Zamroni itu jelas karena anggota FKP dan F-ABRI memberi suara kepadanya. Calon kembar juga terjadi pada pemilihan pimpinan Komisi VII, IX, dan X. Tapi semua calon dari kubu Naro akhirnya ditarik kembali, sedang pada beberapa komisi lain kedua kubu yang bertentangan itu sepakat mencalonkan orang yang sama. Menurut Nurhasan Ibnuhadjar, kelompoknya memang hanya merencanakan voting di Komisi I karena merupakan pemilihan pertama. "Dari situ kami ingin tahu bagaimana kondisinya. Setelah itu, kami tidak mau lagi voting karena itu bukan cara demokrasi Pancasila." KEMENANGAN kelompoknya itu , tentu saja, membuat Soedardji gembira, dan merasa di atas angin. Ia menuding Naro bertanggung jawab atas terjadinya voting di Komisi I. "Dialah yang mengorganisasikan agar calon-calon legal yang diajukan resmi oleh fraksi ditandingi. Saya kira itu merupakan usaha subversif agar di DPR dilakukan voting," ujarnya. Susunan pimpinan F-PP yang baru itu, menurut sebuah sumber TEMPO, tidak bisa diganggu gugat karena telah disahkan pimpinan DPR 28 Agustus lalu. "Fraksi yang diumumkan kemarin itu resmi dan sudah saya sahkan. Bagi saya haram untuk mencabut keputusan itu, kecuali yang bersangkutan mau mengundurkan diri," kata ketua DPR Amirmachmud. Bagaimana kalau kelompok Naro membentuk fraksi tandingan? "Lho, kita 'kan harus menaati tata tertib. Jadi, kalau ada jin setan baru yang datang, itu tidak jalan," ujar Amirmachmud. Konflik di DPR itu jelas membuat kemelut kepemimpinan PPP makin parah. Kapan pertikaian Naro dan Dardji yang membosankan ini akan berakhir? "Selesai atau tidak, itu sepenuhnya bergantung kepada merekalah. Dulu 'kan mereka sudah berjanji secara ikhlas mau rukun. Ya, sekarang tinggal kita tagih saja janjinya. Teman-teman itu betul-betul ikhlas atau bagaimana?" kata Mendagri Soepardjo Rustam pekan lalu. Susanto Pudjomartono Laporan A. Luqman & Zaim Uchrowi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo