YUSMIATI, 37 tahun, mengibaratkan kegandrungannya pada PDI seperti kecanduannya mendengarkan sandiwara radio. "Pemain sandiwara itu tak aku kenal," kata ibu rumah tangga warga Medan. "Tapi aku suka mendengarkannya." Makanya, "Aku pilih PDI." Ia tak peduli dengan siapa yang bakal duduk di kursi legislatif sebagai wakilnya. Padahal, dengan sistem proporsional yang ada sekarang, seseorang pemilih yang telah mencoblos tanda gambar tertentu dapat dikatakan telah memberikan haknya kepada partai yang dipilihnya. Ucapan ibu rumah tangga ini menggambarkan betapa tak ada hubungan yang saling mengenal antara pemilih dan calon anggota legislatif yang dipilih. Maksudnya, pemilih menyerahkan haknya berdasarkan tanda gambar. Ini mengandaikan mereka tak punya hak untuk menuntut bila hak-hak yang diberikan tak dipenuhi wakil legislatif yang dipilihnya. Akibatnya, boleh dibilang tak jelas lagi komitmen para wakil atas janji-janji sebelumnya. Misalnya, seorang calon dalam kampanye melempar isu untuk menggusur konglomerat. Maka bisa saja bila calon itu terpilih, rakyat tak bisa menuntutnya untuk berjuang menghapus konglomerat. Begitu pula dalam hal pencalonan presiden. Calon anggota legislatif sekelas Yahya Nasution dari PDI yang dengan berani mencalonkan Rudini, atau Sophan Sophiaan yang mencalonkan Guruh Soekarno Putera sebagai kandidat presiden periode 1993-1998, tak bisa berbuat apa-apa bila dalam SU MPR nanti fraksinya mencalonkan yang lain. Paling mereka akan "bersuara" lain dengan fraksinya bila misalnya dimungkinkan ada pemungutan suara. Hal sama akan dialami oleh fraksi lain dalam MPR. Selama ini partai yang sudah resmi mengumumkan calon presiden dan telah melempar dalam kampanye yakni PPP dengan calon Pak Harto. Padahal, kata pengamat politik Marsilam Simanjuntak, bila anggota fraksi tak memberikan suara bagi calon yang diusulkan partainya itu tak etis. Hal ini, katanya, akan menjatuhkan citra partainya untuk pemilu berikutnya. Apalagi, kata Sri Soemantri, ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran, Bandung, calon-calon DPR/MPR itu disusun oleh DPP parpol atau Golkar. Ini yang membuat keterikatan yang sangat besar antara anggota legislatif dan parpol atau Golkar yang "menugaskan"nya, dan bukan dengan rakyat pemilihnya. Makanya Rusadi Kantaprawira, dosen Ilmu Politik juga dari Unpad, dalam disertasinya menawarkan sistem pemilihan dengan dua surat suara yakni memilih tanda gambar partai dan memilih tokoh. Cara ini, katanya, lebih menjamin keterikatan hubungan antara rakyat dan wakilnya. Sistem seperti ini diterapkan di Jerman, jauh sebelum dua Jerman bersatu. Sedangkan di sini pemilih hanya berhadapan dengan tanda gambar dan sederet daftar calon anggota legislatif ketiga OPP. Sistem yang lebih mendekatkan pemilih dan yang dipilih, bagaimana pun caranya, tampaknya akan mampu mengurangi kelemahan sistem pemilu proporsional seperti di sini. Apabila pemilih memang punya hubungan erat dengan wakilnya, apalagi sudah dimunculkan calon presidennya, bisa jadi rakyat akan semakin bergairah. Sebab, mereka tahu persis kepada siapa harus menyerahkan hak-haknya dalam urusan bernegara ini. AB, Happy S. dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini