Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyorot lagi Bung Karno

Pemerintah penganugerahkan gelar pahlawan proklamator kepada alm. soekarno dan mohammad hatta. jenis pemberian gelar pahlawan bertambah menjadi 8. sepak terjang bung karno & bung hatta di masa lalu.(nas)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBETULNYA tak ada yang luar biasa: Soekarno -- Hatta proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Kendati demikian, keluarga bekas Presiden Soekarno tetap tidak sanggup menyembunyikan rasa haru yang meliputi mereka ketika, hari Sabtu pekan silam, Presiden Soeharto menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator kepada Almarhum Soekarno dan Almarhum Mohammad Hatta. "Tidak ada kata-kata yang dapat melukiskan rasa penghargaan saya yang tinggi kepada pemerintah, khususnya kepada Pak Harto atas pemberian gelar Pahlawan Proklamator untuk Bung Karno," kata Nyonya Hartini, salah satu janda almarhum presiden pertama Indonesia yang hari itu mewakili keluarga besar Soekarno. Di luar Istana, lewat berbagai media, kawan maupun bekas lawan politik Soekarno semua sepakat melihat penghargaan itu sebagai hal yang amat wajar serta sudah pada tempatnya. "Gelar ini pantas bagi Bung Karno sebagai simbol pemersatu bangsa," kata Mohammad Natsir, bekas ketua partai Islam Masyumi, sebuah partai yang di tahun 1960 dibubarkan oleh Soekarno. Di Istana Negara, keluarga Soekarno ternyata bukan cuma terharu dan berterima kasih, tapi juga mengeluhkan sesuatu. Rachmawati, putri Bung Karno, yang terus berusaha menyebarkan ajaran-ajaran ayahandanya, secara terus terang mengemukakan bahwa masih banyak soal di sekitar Bung Karno yang "belum jelas". Salah satunya, menurut Rachma, ialah ajaran Bung Karno sebagai "penyambung lidah rakyat". Atas nama keluarga, Rachma juga meminta Keputusan Presiden 081/1986, tentang penganugerahan gelar Pahlawan Proklamator kepada Soekarno-Hatta, dikukuhkan dengan Tap MPR. "Agar sebanding dengan Tap MPRS Nomor 32/1967 yang mengoreksi kepemimpinan Soekarno sebagai presiden," kata Rachmawati. Belum diperoleh komentar pihak pemerintah, baik mengenai ajaran Bung Karno maupun mengenai kemungkinan diperkuatnya Kepres 081/1986 oleh MPR. Bisa diduga bahwa tidak bakal muncul tanggapan pemerintah mengenai kedua hal tersebut. Tapi ini sama sekali bukan berarti bahwa soal belum jelas di sekitar Soekarno, sebagai yang dikeluhkan Rachmawati. Bahwa gelar kehormatan bekas Presiden Soekarno adalah Pahlawan Proklamator, berarti pemerintahan Presiden Soeharto menganugerahkan gelar kehormatan kepada Soekarno bukan sebagai presiden, atau sebagai seorang yang mempunyai ajaran-ajaran yang isinya, menurut Ketetapan MPRS, masih harus diteliti, tapi ya sebagai pencetus proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tapi Rachmawati tidaklah seluruhnya salah jika mengatakan bahwa masih banyak soal yang belum terjawab tentang Bung Karno. Dalam sejarah modern Indonesia tidak syak lagi, Ir. Soekarno adalah tokoh yang sangat, mungkin paling, kontroversial. Banyak soal di sekitar dirinya yang hingga kini masih menunggu tangan ahli sejarah untuk meluruskannya. Yang paling akhir dari rentetan kontroversl itu terletak di seputar peranan Bung Karno dalam Peristiwa "Gerakan 30 September" di tahun 1965. Ketika Bung Karno baru saja meninggal dunia di bulan Juni 1970, Kolonel Durmawel Achmad, Sekretaris Kopkamtib, menjelaskan, "Soekarno memang benar terlibat secara sadar dengan Gerakan 30 September." Durmawel juga menjelaskan waktu itu, "Soekarno tidak mendapat gelar pahlawan karena masih dalam proses pemeriksaan hukum seperti yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Presiden No. 44/1970." Sejarah kemudian tidak bisa membenarkan atau membantah pernyataan Durmawel, karena Soekarno meninggal dunia sebelum berkas perkaranya diajukan ke depan hakim. Yang juga menimbulkan debat di kalangan para ahli sejarah adalah ditemukannya salinan surat-surat Soekarno kepada pemerintah kolonial Belanda yang dikirim dari penjara Sukamiskin ketika Soekarno ditahan sebagai pimpinan Partai Indonesia (Partindo). John Ingleson, sejarawan Australia yang menulis buku Road to Exile, menemukan salinan surat-surat Soekarno di arsip Belanda yang isinya memohon maaf atas kegiatan politiknya, serta janjinya untuk mengundurkan diri dari politik jika ia bisa dibebaskan dan diberi kesempatan untuk bebas dan bergiat hanya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Sebagai jaminan bagi janjinya itu, surat-surat tersebut boleh diumumkan jika janji dilanggar. "Jika saya sedikit saja mengingkari janji, maka umumkanlah surat ini, dan segeralah asingkan saya, atau biarlah saya merasakan akibat pengingkaran janji itu. Mengingkari janji hanya akan merugikan saya. Surat ini, jika diumumkan, berarti kematian saya di kehidupan masyarakat." Begitu antara lain surat Soekarno sebagai yang terbaca salinannya dalam arsip Belanda. Surat yang konon diberi kode confidential oleh Soekarno itu ternyata tidak berhasil membujuk pemerintah kolonial Belanda untuk membebaskannya. Dan justru karena itulah maka puluhan tahun kemudian orang meragukan keabasahan surat tersebut. Yang menarik ialah bahwa pada periode surat itu ditulis, pada saat Soekarno berada di penjara, Soekarno memang mengirimkan surat kepada pimpinan Partindo yang menyatakan dirinya keluar dari partai yang dipimpinnya tersebut. Kejadian itu menyebabkan timbulnya heboh serta meluasnya kekecewaan terhadap Bung Karno. Pada saat itulah Bung Hatta menyiarkan sebuah tulisannya yang berjudul "Tragedi Soekarno". Tapi betulkah Soekarno menulis surat itu? Bisa diduga, muncul dua jawaban. John Ingleson yakin akan adanya surat itu. Rosihan Anwar juga berpendapat demikian. Rosihan mendukung pembenarannya dengan menghubungkan isi surat tersebut dengan watak sehari-hari Soekarno yang dikenalnya sebagai "lekas bertekuk lutut jika menghadapi keadaan sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya". Almarhum Mohamad Roem, tokoh Masyumi yang pernah dipenjarakan oleh Soekarno, meragukan kebenaran surat tersebut. "Jika surat itu memang ada, itu kesempatan besar bagi Belanda untuk membunuh atau menyingkirkan Soekarno secara politis," demikian Roem. Beberapa alasan lain dikemukakan juga oleh Roem untuk memperkuat keraguannya. Pokoknya, "Selama surat asli belum ditemukan, selama itu pula kebenaran bahwa Soekarno pernah minta ampun belum bisa diterima," kata Roem pula. Pihak lain yang meragukan kebenaran surat itu malah menuduh intel Belanda-lah yang mengarangnya. Siapa pun yang menulis surat tersebut, dan apa pun maksudnya, surat-surat permintaan ampun itu hingga kini masih tetap misterius, dan siapa gerangan bisa menjawab? Tidak kurang kontroversial adalah peranan Soekarno di zaman pendudukan Jepang. Lawan-lawan politiknya menuduh tokoh nasionalis ini bekerja sama alias jadi "kolaborator" pemerintahan penjajahan Jepang. Tentang kontroversi ini, berbeda dengan surat minta ampun tadi, Soekarno ikut berbicara. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adams, Soekarno mengisahkan hari-hari pertamanya di Jakarta setelah kembali dari pembuangan di Bengkulu dan Padang. Ia memang dibebaskan oleh Jepang, dan adalah Jepang juga yang mengirimnya dari Padang ke Jakarta, karena pemerintahan bala tentara Jepang mempunyai rencana memanfaatkan Soekarno dan Hatta. Menurut kisah Soekarno, pada suatu malam Soekarno berkunjung ke rumah Hatta untuk membicarakan rencana bersama menghadapi Jepang. Ikut hadir pada malam itu adalah Sjahrir, orang yang kemudian hari menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Tentang pertemuan tersebut, berikut ini kisah Soekarno: "Bersama-sama dengan Sjahrir, satu-satunya orang yang turut hadir, rencana-rencana gerakan untuk masa yang akan datang, kami susun dengan cepat. Telah disetujui bahwa kami akan bekerja dengan dua cara. Di atas tanah secara terang-terangan, dan di bawah tanah secara rahasia. Yang satu memenuhi tugas yang tidak dapat dilakukan oleh cara yang lain." Seperti kemudian tercatall dalam sejarah, Soekarno amat menonjol dengan pidato-pidatonya selamai pendudukan Jepang. Jika pada zaman Belanda suara Soekarno hanya terdengal dalam gedung tempat ia berpidato, kini suara sang pemimpin disiarkan oleh Jepang lewat radio ke seluruh pelosok Indonesia. Bahkan sampai ke luar negeri, hingga tertangkap oleh pemantau-pemantau Sekutu. Jika Soekarno diberi ke sempatan berbicara lewat radio oleh bala tentara Jepang, tentulah itu untuk kepentingan perang mereka. Maka, makian kepada Sekutu merupakan bagian tetap dari pidato Soekarno. Menurut pengakuannya sendiri, kesempatan berpidato itu juga dimanfaatkan Soekarno untuk mendidik rakyatnya Inilah kisah Soekarno tentang hal tersebut: Aku ditugasi Jepang utuk "menyerang Sekuti, memuji negara-negara AS-yaitu Sekutu Jerman, Itala, dan Jepang -- menimbulkn kebencian terhadap musuh-musuh kita, Inggris, Amerika, dan Belanda, dan bantulah Dai Nippon." Akan tetapi, sekalipun pidato-pidatoku diteliti terlebih dahulu dengan kaca pembesar oleh Bagian Propaganda, kalau dipelajari sungguh-sungguh, ternyatalah bahwa 75% dari isi pidato itu semata-mata menanamkan kesadaran nasional. Di zaman Jepang, Soekarno bukan cuma berpidato, ia juga pemimpin berbagai organisasi yang didirikan Jepang untuk kepentingan memobilisasikan rakyat bagi kepentingan Perang Asia Timur Raya. Adalah dalam kedudukan sebagai pimpinan organisasi itu, Soekarno terlibat dalam mobilisasi rakyat untuk menjadi Romusha (tenaga kerja) yang dikerahkan untuk bekerja? bukan saja di wilayah Indonesia, tapi bahkan sampai di Burma, Malaya, dan Muangthai. Romusha-romusha ini dipekerjakan dengan cara melewati batas peri kemanusiaan oleh Jepang, hingga banyak di antara mereka yang mati di tempat mereka bekerja. Di kemudian hari, setelah Indonesia merdeka, soal Romusha ini banyak diungkit-ungkit, dan peranan Soekarno dipersoalkan. Wartawan Mochtar Lubis di awal tahun 1950-an pernah secara terbuka, lewat surat kabar, menuduh Soekarno sebagai penjual Romusha kepada Jepang. Tapi tuduhan kolaborator sudah dilontarkan ke arah Soekarno pada hari-hari pertama kemerdekaan. Mula-mula, tentu saja, tuduhan itu datang dari pihak Sekutu, terutama Belanda. Dasar tuduhan itu tentulah keikutsertaan Soekarno dalam organisasi bikinan Jepang, serta sejumlah pidato yang sangat anti-Sekutu yang diucapkan Soekarno lewat radio. Selain yakin betul akan tuduhannya, Sekutu, terutama Belanda, melancarkan tuduhan kolaborasi terhadap Soekarno, yang ketika itu sudah jadi Presiden Republik Indonesia, dengan tujuan memojokkan Republik yang baru lahir itu sebagai negara "boneka bikinan Jepang". Tapi tuduhan kolaborator yang dimanfaatkan Belanda untuk memojokkan Soekarno dan Republik itu mendadak kehilangan makna ketika Letnan Jenderal Christison komandan pasukan Inggris di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1945 mengakui secara de facto pemerintahan Soekarno. Bebas dari tudingan Sekutu dan Belanda, Soekarno ternyata masih harus berhadapan dengan Sjahrir, orang yang dulu dikatakannya "bersepakat" untuk bekerja sama di awal pendudukan Jepang. Sjahrir yang setelah Proklamasi, mulai aktif secara terbuka, pada tanggal 10 November 1945, beberapa saat sebelum ia menjadi perdana menteri, menerbitkan sebuah pamflet yang berjudul Perjuangan Kita. Dalam pamflet yang tak seberapa tebal itu Sjahrir mengemukakan pandangan politik, program politiknya, serta sikapnya terhadap orang-orang yang aktif di zaman Jepang dan kemudian menjadi orang penting dalam pemerintahan negara yang baru saja lahir. Setelah menyebut mereka sebagai antek-antek Jepang dan tidak bisa bertanggung jawab, Sjahrir selanjutnya menulis dalam pamflet itu bahwa, "Banyak di antara mereka yang merasa sangat berutang budi kepada Jepang, yang telah membenkan kepada mereka kesempatan untuk bekerja 'mempersiapkan' kemerdekaan Indonesia. Di mata mereka, mereka menjadi pemerintah karena mereka telah bekerja sama dengan Jepang." Nama Soekarno memang tidak disebut dalam pamflet Sjahrir, tapi di masa itu semua orang tahu bahwa salah satu sasaran adalah Soekarno. Beberapa hari kemudian memang terjadi perubahan, Sjahrir menjadi perdana menteri dan Soekarno hanya menjadi presiden simbol. Soekarno baru kembali menjadi presiden berkuasa penuh setelah dekrit kembali ke UUD 45 di tahun 1959. Pada masa berkuasanya itulah Soekarno mengenang kembali masa revolusi dengan mengutuk tindakan Sjahrir sebagai "menciptakan dualisme dalam kepemimpinan". Dualisme itu ialah beradanya di tangan yang berbeda kepemlmpinan pemerintahan dan kepemimpinan revolusi. Soekarno tetap pemimpin revolusi, sedang pimpinan pemerintahan berada di tangan Sjahrir. Ketika kemudian Sjahrir ditangkap oleh Soekarno dengan tuduhan mencoba membunuh kepala negara, banyak yang melihat itu sebagai bagian dari permusuhan lama Soekarno-Sjahrir yang bersumber pada tuduhan kolaborator tersebut. Sjahrir akhirnya meninggal dalam status tahanan politik pemerintahan Soekarno. Tidak kurang menarik adalah kontroversi di sekitar penculikan Soekarno pada saat menjelang Proklamasi. Cerita tentang ini sudah terlalu sering dikisahkan. Diceritakan di sana bahwa sejumlah pemuda mendatangi rumah Soekarno pada tanggal 15 Agustus malam dengan maksud mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Para pemuda ini waktu itu sudah yakin betul bahwa Jepang sudah menyerah, hingga janji Jepang untuk memerdekakan Indonesia tidak bisa lagi diharapkan. Soekarno, kemudian juga Hatta, kurang yakin akan berita tersebut. Lagi pula, mereka keesokan harinya masih akan berapat dengan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang juga sedang sibuk mempersiapkan kemerdekaan sesuai dengan janji Jepang yang diperoleh Soekarno dari panglima tentara Dai Nippon untuk wilayah Selatan, yang bermarkas di Dalat, Vietnam, beberapa hari sebelumnya. Terjadi perbedaan pendapat yang tajam antara pemuda dan pihak Soekarno. Tidak dicapai kesepakatan. Pertemuan bubar dalam keadaan panas. Beberapa jam kemudian terjadilah penculikan itu. Sepanjang tanggal 16 Agustus Soekarno -- juga Hatta berada di Rengasdengklok. Baru malam harinya mereka dipulangkan oleh pemuda. Malam itu juga para anggota PPKI bersidang di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan Proklamasi yang dibacakan keesokan harinya, 17 Agustus 1945. Dalam kontroversi Proklamasi ini, baik Soekarno maupun Hatta sepakat untuk melihatnya sebagai usaha mereka guna mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu. Keduanya melihat usaha pemuda itu sebagai sesuatu yang lebih banyak disebabkan oleh kurangnya perhitungan yang bisa menggagalkan semua rencana. Berbeda dengan Hatta, Soekarno menuduh Sjahrir berada di balik pemuda-pemuda itu. Begitu marahnya kepada Sjahrir karena penculikan itu, sekian tahun kemudian, dalam buku Cindy Adams, Soekarno berbicara tentang Sjahrir seperti ini: Dia berbuat curang. Dan apa sesungguhnya yang telah dikerjakan oleh Sjahrir untuk Republik? Tidak ada, selain dari mengkritikku. Selagi aku mempertaruhkan nyawa dalam memegang pimpinan, dia duduk dengan tenang dan aman mendengarkan radio gelap. Itulah seluruh kegiatan bawah tanahnya. Dia adalah orang yang menyebarkan surat selebaran mengenai kekalahan Jepang di hari-hari terakhir yang tegang itu. Selama hidupnya, Sjahrir tidak pernah bertindak terus terang seperti yang kulakukan. Dia tidak pernah maju ke garis depan pertempuran. Segala perjuangannya dilakukan di belakangku. Dialah orang yang harus bertanggung jawab atas hasutan untuk menentangku, dan atas segala peristiwa yang terjadi kemudian di malam itu. Yang menarik ialah bahwa pada periode Yogyakarta, yakni ketika pemerintah Republik berada di Yogyakarta. Tatkala Sjahrir menjadi perdana menteri, dalam banyak kesulitan, Soekarno adalah orang yang banyak membantu perdana menterinya. Bahkan ketika di tahun 1946 Sjahrir diculik oleh tentara yang bersimpati pada Tan Malaka golongan oposisi waktu itu -- Soekarno menyerukan lewat radio, agar Sjahrir dibebaskan. Dan Sjahrir dengan segera bebas. Tapi hubungan kedua orang ini menjadi tegang kembali ketika keduanya berada dalam pembuangan Belanda di Parapat, setelah Yogyakarta diserbu Belanda pada 19 Desember 1948. Menurut kisahnya, di sana bahkan sampai terjadi perang mulut antara Soekarno dan Sjahrir. Untunglah, di sana juga ada Haji Agus Salim, dan kepada orang tua inilah Soekarno mengadukan perlakuan Sjahrir kepadanya. Masih di zaman Yogyakarta, sebuah kontroversi lain di sekitar Soekarno tidak bisa dilewatkan. Kisah ini menyangkut jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Bahwa Belanda akan menyerbu wilayah Republik jika perundingan yang menguntungkan Belanda tidak bisa mereka manfaatkan, itu sudah terbukti tatkala Belanda dengan mudah melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan aksi militer pertama pada tahun 1947. Di tahun 1948, sebagai kelanjutan serta realisasi Perjanjian Renville Belanda dan Republik mengadakan perundingan-perundingan. Makin lama makin terlihat bahwa perundingan tidak bakal mendapatkan jalan keluar dari konflik tersebut. Maka, tertiuplah kabar angin bahwa Belanda akan menyerbu ke wilayah Republik. Pada saat itulah Soekarno tampil dengan sebuah tantangan kepada Belanda. Katanya, "Jika Belanda tetap berketetapan menggunakan kekerasan untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan jalan menyerbu Yogyakarta, 70 juta rakyat akan bangkit untuk bertempur dan saya sendiri yang akan memimpinnya." Ucapan Soekarno ini, yang mungkin saja dimaksudkan untuk menggertak Belanda, ternyata diterima sebagai semacam janji atau bahkan sumpah oleh para pejuang muda yang terutama yang tergabung dalam badan ketentaraan. Dan Soekarno tidak mengelak ketika dalam sebuah rapat bersama pimpinan militer diputuskan bahwa jika Belanda menyerbu Yogyakarta, semua orang Republik, baik sipil maupun militer, secara bersama-sama akan ke luar kota untuk menjalankan perang gerilya. Setelah keputusan bersama ini, sejumlah pertemuan diadakan untuk melakukan persiapanpersiapan bagi perang gerilya, seandainya Belanda betul-betul menyerang. Salah satu pertemuan itu dihadiri oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Kepada seorang peneliti, Sultan mengisahkan pertemuan itu sebagai berikut: Sekitar tujuh bulan sebelum tentara Belanda menyerbu Yogyakarta, saya menghadiri pertemuan dengan Sudirman, Hatta, dan Soekarno. Pada pertemuan itu diputuskan bahwa pemerintah akan meninggalkan kota jika Belanda melancarkan serangannya. Saya kemudian mendapat tugas menemukan suatu tempat di bagian utara Keresidenan Banyumas untuk dijadikan basis bagi para pemimpin Republik yang nantinya ikut bergerilya. Beberapa hari sebelum Yogya diserbu, pihak millter, setelah melihat seretnya perundingan, sudah sampai pada kesimpulan bahwa Belanda pasti akan menyerbu dalam waktu dekat. Karena itulah maka rencana yang telah disusun mulai dijalankan. Salah satu dari rencana itu ialah melakukan perang gerilya, karena itulah maka pasukan yang ada di kota-kota berangsur-angsur harus keluar untuk menempati tempat-tempat yang telah ditetapkan. Untuk menghindari deteksi mata-mata Belanda, pemberangkatan pasukan dari Yogyakarta diadakan dalam bentuk latihan perang-perangan. Latihan itu diadakan pada tanggal 19 Desember, yakni hari yang juga dipakai Belanda untuk menyerang wilayah Republik. Panglima Besar Sudirman masih dalam keadaan sakit -- setelah menjalani sebuah operasi yang menonaktifkan satu dari dua paru-parunya -- ketika pagi hari Minggu itu Belanda mulai melakukan pengebomannya atas Kota Yogyakarta. Kota Yogya mengalami kepanikan. Lapangan terbang Maguwo, yang memang tidak dipersenjatai dengan memadai, dengan segera dikuasi oleh musuh. Pasukan Belanda dengan segera diterbangkan dari Semarang ke Maguwo. Dari Maguwo-lah pasukan khusus Belanda perlahan-lahan mendekati Yogyakarta. Pagi itu juga, dengan susah payah, Jenderal Sudirman datang ke Gedung Negara (istana kepresidenan) untuk mengajak Bung Karno bergerilya ke luar kota sebagaimana yang mereka telah sepakati bersama. Ternyata, Bung Karno menolak, malah membujuk Sudirman agar beristirahat saja di dalam kota, biar nanti dirawat oleh dokter tentara Belanda yang segera masuk kota. Tentu saja Sudirman menolak dirawat dokter Belanda dan dengan segera berangkat meninggalkan Yogyakarta. Di sekitar waktu yang sama, Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), juga mencoba mengajak Soekarno untuk bergerilya sesuai dengan janjinya, juga tidak berhasil. Beberapa saat kemudian Hatta muncul di Gedung Negara dan sidang darurat kabinet diadakan. Hasil sidang, para pimpinan negara tetap tinggal dalam kota, karena tidak cukup tentara untuk mengawal mereka. Peristiwa menyerahnya Soekarno dan pemimpin sipilnya kepada Belanda ini ternyata kemudian mempunyai akibat parah pada hubungan sipil militer di Indonesia. Hubungan yang memang tidak selalu harmonis antara tentara dan pemerintahan sipil sejak lahirnya tentara, sejak menyerahnya Soekarno itu, makin menjadi-jadi saja. Selama perang gerilya yang berlangsung beberapa bulan itu tentara berhasil mengorganisasikan pemerintahan militer yang konsepnya berasal dari A.H. Nasution, yang pada waktu itu menjadi Panglima Militer di Jawa. Pengalaman perang gerilya itulah yang kemudian menjadi dasar bagi keterlibatan kongkret tentara dalam kegiatan-kegiatan nonmiliter yang kemudian dikenal se6agai konsep dwifungsi. Ketegangan antara tentara dan Soekarno serta pimpinan sipil pada umumnya terjadi juga pada akhir perang gerilya. Pada saat itu, Soekarno berada dalam pihak yang berunding dengan Belanda. Hasil perundingan Mohamad Roem dengan wakil Belanda Van Royen mengharuskan adanya gencatan senjata. Tentara, yang sudah berpengalaman dalam perundingan dengan Belanda yang hasilnya selalu dilanggar, menolak gencatan senjata sebelum perundingan mencapai titik final dengan hasil yang kongkret. Ketika semua pimpinan politik sudah berada di Yogyakarta, Jenderal Sudirman masih berada di hutan dan tampaknya menolak untuk masuk kota. Setelah akhirnya, dengan segan, masuk Yogyakarta, ketidaksepakatan muncul antara Panglima Besar dan Soekarno. Soekarno mau agar semua gerilya masuk kota segera, sementara Sudirman akan masuk kota jika keadaan sudah jelas, artinya tidak ada lagi ancaman serangan dari pihak Belanda. Ketegangan itu menyebabkan Sudirman minta mundur dari ketentaraan. Soekarno mengancam akan meletakkan jabatan jika Sudirman mundur. Akhirnya, Soekarno juga yang menang. Dengan hubungan yang kurang harmonis seperti ini, orang tidak akan menduga bahwa tiga tahun kemudian, pada bulan Oktober 1952, Soekarno sanggup menghadapi pimpinan Angkatan Darat yang mendesak pembubaran parlemen. Dalam kejadian yang kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober ini, Soekarno bukan cuma sanggup menghadapi meriam yang dihadapkan ke Istana, tapi lebih dari itu ia bahkan bisa mengerahkan sebagian tentara untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Di Jawa Timur, Letnan Kolonel dr. Suwondo didaulat oleh Kolonel Sudirman (bekas Ketua MUI), di Makassar, Panglima Wirabuana, Kolonel Gatot Subroto, didaulat oleh Letnan Kolonel Warouw. Dari berbagai penjuru Indonesia muncul dukungan kepada Soekarno. Dan Nasution akhirnya mundur dari jabatannya. Terbukti bahwa Soekarno masih punya pengaruh besar dalam tentara, dan modal inilah yang kemudian dipakai oleh Soekarno dalam masa Orde Lama untuk menguasai ABRI. Dalam posisi itu, meskipun pimpinan Angkatan Darat sangat memusuhi PKI, sedikit yang bisa dilakukan, karena dalam tubuh tentara, pengikut Bung Karno masih cukup banyak. Dan Bung Karno dengan politik Nasakomnya tentu saja berkeberatan kalau PKI disingkirkan oleh tentara. Sukses pada Peristiwa 17 Oktober 1952, Soekarno tidak tinggal diam. Sistem parlementer, yang menjadikannya hanya sekadar simbol, menyebabkan ia tak bisa cukup leluasa memimpin negara -- sementara kabinet tiap kali ganti pimpinan dan susunan. Dengan berbagai cara, Bung Karno selalu berusaha menunjukkan bahwa ia tokoh yang harus diperhitungkan. Dan percekcokan antarpartai serta ketidakkompakan dalam banyak partai memang membuka peluang besar bagi Bung Karno untuk bergerak. Pada saat yang sama, makin kelihatan juga bahwa PKI berusaha mendekatkan diri kepada Soekarno sambil memojokkan Hatta. Ketidaksepahaman antara Hatta dan Soekarno menjadi-jadi (lihat Orang di Sisi Kanan Bng Karno). Di akhir tahun 1956 Hatta meninggalkan jabatan wakil presiden. Tinggallah Soekarno sendiri di puncak kekuasaan. Dan ketika keadaan makin kacau akibat kegagalan konstituante serta meledaknya pemberontakan PRRI/Permesta, suara-suara yang menginginkan kembalinya Indonesia ke UUD 45 makin sering terdengar. Soekarno, yang memang lama telah bosan menjadi presiden simbol, tidak punya alasan untuk menolak kehendak tersebut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mendekritkan berlakunya kembali UUD 45. Sejak itu Soekarno mulai berkuasa secara hampir tak terbatas. Peringatan Hatta akan bahaya PKI dianggap remeh oleh Soekarno. Presiden pertama RI itu tampaknya yakin sekali bahwa jika PKI mencoba memberontak seperti pada tahun 1948 di Madiun, dengan sebuah pidato radio saja pemberontak bisa diobrak-abriknya. Tapi kali ini PKI tidak berontak dengan gaya Madiun, melainkan melancarkan suatu gerakan militer yang memberi kesan bahwa ada soal intern Angkatan Darat yang harus diselesaikan oleh tentara sendiri. Tentara, yang yakin betul bahwa di balik gerakan Letnan Kolonel Untung itu adalah PKI, dengan cepat melakukan pembersihan. Dalam waktu yang relatif singkat Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad waktu itu, menguasai keadaan. Setelah itu, PKI mulai dibekuk. Akhir cerita bisa ditebak: Soekarno mundur setelah terus-menerus terdesak, terutama oleh demonstrasi-demonstrasi besar mahasiswa, pemuda, dan pelajar yang antikomunis dan menyaksikan kebangkrutan ekonomi waktu itu. Pada awalnya di kalangan demonstran memang tak kuat sikap antiSoekarno. Pertemuan Bung Karno dengan tokoh-tokoh mahasiswa yang berdemonstrasi antara lain dengan Cosmas Batubara (kini menteri perumahan rakyat) dan lain-lain dicoba diadakan, tapi tak ada hasil. Bung Karno menolak menjadikan PKI sebuah partai yang terlarang seperti dulu dilakukannya terhadap Partai Masyumi dan Partai Sosialis yang dipimpin Sjahrir. Dua puluh tahun yang lalu, setelah melalui krisis politik yang panjang, Presiden Soekarno dimakulkan oleh MPRS dan digantikan oleh Jenderal Soeharto. Dari keterangan Durmawel Achmad tampak bahwa Soekarno kemudian juga diperiksa oleh Kopkamtib. Hasil pemeriksaan secara pasti tidak akan pernah kita ketahui karena Soekarno meninggal tatkala perkaranya belum diajukan ke depan mahkamah. Ketika ia wafat, setelah sakit sebagai tokoh yang jatuh, masih tampak bahwa banyak orang masih memujanya atau telah memaafkan kesalahan-kesalahannya. Presiden Soeharto datang menjenguk jenazahnya dan kemudian menyediakan makam yang besar di Blitar, tempat ribuan orang masih datang berziarah. Tokoh yang semasa jadi presiden dan, kemudian, bergelar "Pemimpin Besar Revolusi" ini memang terus mendapat pujaan, juga di kalangan anak muda sekarang yang tak mengalami kontroversi puluhan tahun yang lalu. Barangkali karena ada sesuatu dalam pribadi Bung Karno, yang kharismatis dan hangat itu, yang memikat pria dan terutama wanita, yang sampai kini masih tetap dicari dan dirindukan khalayak ramai. Tak semua orang memujanya, ada yang membencinya dan beberapa kali ia dicoba dibunuh, tapi itu pun mungkin tanda ia tokoh amat besar. Bung Karno tak jadi proklamator hanya lantaran kebetulan. Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus