Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harum masakan meruap dari sudut kompleks Akademi At-Sunrice, Singapura, di penghujung bulan lalu. Sumbernya dari ruang berukuran 50 meter persegi yang dipenuhi seperangkat kompor, wajan, bumbu, sayuran, dan bahan masakan lainnya. Tak ada seorang pun pembeli. Jangan salah, ini bukan kantin, melainkan sebuah kelas.
Siang itu, Jason Vito Suwantika bersama sembilan murid lainnya sedang mengikuti pelajaran memasak capcay di akademi khusus kuliner ini. Laki-laki asal Jakarta berumur 25 tahun itu adalah siswa tingkat akhir program diploma Culinary Craft and Service Excellence. Jurusan yang mempelajari pengetahuan dasar kuliner Barat dan Timur itu menarik hati lelaki yang pernah bekerja di media cetak di Indonesia tersebut. ”Saya ingin berkarier di bidang kuliner,” katanya.
Singapura menjadi pilihannya karena ideal untuk mengembangkan karier di tingkat internasional. Biaya sekolahnya pun lebih murah ketimbang di Eropa atau Amerika. Program diploma pilihan Jason yang memakan waktu 15 bulan berbiaya Sin$ 18 ribu (sekitar Rp 117 juta).
Jason punya bakat besar di bidang yang dicintainya ini. Di At-Sunrice ia mampu bersaing dengan 220 siswa dari 25 negara untuk masuk menjadi kandidat wakil sekolah dalam World Gourmet Summit 2008. Inilah acara yang menjadi ajang adu kemampuan para jago masak seluruh dunia. Jason pun masuk dalam Student Hall of Fame At-Sunrice pada Januari tahun ini. Sebuah prestasi yang mengundang kebanggaan.
At-Sunrice bukanlah sekolah ”ecek-ecek”. Sekolah yang juga menyediakan jurusan diploma seni membuat kue serta kursus dua minggu masakan Asia ini adalah akademi kuliner papan atas di Singapura. Bagi siswa yang ingin melanjutkan studi bisa ke program setingkat sarjana, Culinary Art and Management.
Sekolah yang berlokasi di kompleks Fort Canning peninggalan Sir Stamford Raffles pada 1822 ini dikunjungi Tempo atas undangan Dewan Pariwisata Singapura bulan lalu. Kompleks yang cantik dengan kebun berisi 200 jenis tanaman rempah-rempah yang terpelihara hingga sekarang.
Nama At-Sunrice cukup memikat siswa Indonesia untuk belajar kuliner di Negeri Singa ini. Separuh dari total siswa yang ada berasal dari luar Singapura. Dan, dari sekian murid asing itu, paling tidak 25 persennya adalah orang Indonesia. Prestasi siswa Indonesia tidak mengecewakan. Sebelum Jason, seorang mahasiswa Indonesia pernah juga menjadi pemenang World Gourmet Summit 2007, yakni Roy Wicaksono.
Ke mana para lulusan At-Sunrice mencari nafkah? Banyak. Pelajaran di sekolah yang memadukan kuliner Barat dan Timur memungkinkan lulusannya bekerja di seluruh dunia. Singapura, tentu saja, yang paling berkepentingan untuk menyerap lulusan At-Sunrice. ”Hingga dua tahun ke depan, sejumlah hotel dan restoran di Singapura masih membutuhkan 2.000 chef,” kata Mizuho Hara, dosen asal Jepang yang fasih berbahasa Indonesia sebagai hasil yang didapat setelah belasan tahun tinggal di Jakarta.
Bayaran untuk para chef profesional tidak sedikit. Bisa sampai Sin$ 12 ribu (Rp 78 juta) per bulan. Gaji besar dengan pengalaman internasional inilah yang membuat James Iskandar, 21 tahun, bertekad akan berkarier dulu di Singapura. ”Saya ingin menggali pengalaman dulu sebanyak-banyaknya di Singapura,” ujar siswa asal Jakarta yang sudah mendekati masa akhir studinya di At-Sunrice.
Singapura bisa menjadi surga buat pelajar Indonesia untuk belajar dan berkarier di bidang kuliner. Negara ini memiliki banyak sekolah khusus kuliner. Misalnya Raffles Culinary Academy, Shermay’s Cooking School, Coriander Leafcooking Studio, Palate Sensations, atau Cookery Magic. Belum lagi sekolah perhotelan yang memiliki kurikulum memasak seperti Akademi Pariwisata Sentosa.
Pilihan pendidikan kuliner di Indonesia tak sebanyak di Singapura. Hanya ada dua institusi di Jakarta yang menyebut dirinya sebagai sekolah kuliner, yakni Chezlely Culinary School dan Jakarta Culinary Center (JCC). Program kuliner setingkat diploma ke atas kebanyakan masih bernaung di bawah akademi pariwisata, perhotelan atau sebagai lembaga kursus. ”Sekolah kami muncul karena tenaga chef di Indonesia masih sangat kurang,” kata Ahmad Dzariat, kepala sekolah JCC.
JCC menawarkan program bagi calon pebisnis restoran serta mencetak juru masak profesional. Bagi mereka yang ingin menjadi juru masak profesional, 70 persen pelajaran diisi dengan praktek. Persen kebalikannya diberikan untuk program buat calon pebisnis. Lama studi kedua program ini masing-masing setahun dengan biaya Rp 30 juta.
Kurikulum di JCC merupakan hasil racikan sendiri dengan berpedoman pada sekolah-sekolah di luar negeri karena belum ada pedoman standar dari pemerintah. Sekolah ini juga menyediakan program sebulan belajar memasak dan membuat kue dengan biaya masing-masing Rp 10 juta.
Sejak berdiri pada 2004, JCC telah mendidik lebih dari 300 siswa. Menurut Ahmad, alumni sekolah ini kebanyakan membuka usaha sendiri. Dalam dua bulan ke depan, JCC akan membuka cabangnya di Semarang. ”Potensi kuliner di Indonesia sangat besar. Saya yakin bisa mengembangkan sekolah ke wilayah lain,” kata Ahmad.
Pernyataan itu dibenarkan Budi Sutomo, praktisi kuliner dan gizi. Menurut dia, hampir semua daerah di Indonesia memiliki kekhasan kuliner yang bisa memajukan industri makanan dan pariwisata. Sayang, hingga sekarang ilmu kuliner hanya dipandang sebelah mata.
Alasannya, kata Budi, pendidikan kuliner di Indonesia, formal atau nonformal, masih dipandang sebagai jurusan untuk wanita karena urusan dapur secara tradisional menjadi tanggung jawab kaum hawa. Profesi chef pun masih dinilai bukan status yang prestisius. Akibatnya, kata Budi, banyak orang tua yang kurang bangga atau mendukung anak-anaknya yang berminat untuk menekuni bidang ini. Untunglah, banyaknya liputan kuliner yang digelar media telah membuka mata orang Indonesia akan pentingnya profesi itu.
Saat ini, chef Indonesia kebanyakan masih belajar secara otodidak, berdasarkan pengalaman. Baru sebagian kecil saja yang lulusan akademi perhotelan, jurusan tata boga universitas maupun lembaga kursus lokal. Itu sebabnya, hotel berbintang atau restoran besar lebih suka menggunakan chef asing. ”Level chef eksekutif yang gajinya hingga Rp 25 juta bisa dikatakan pasti chef dari luar negeri,” ucap Budi.
Sekolah kuliner Indonesia, menurut Budi, seharusnya bisa lebih bergaung di tingkat Asia karena potensi sumber daya yang sangat besar. Nyatanya, kita ketinggalan dari sekolah kuliner di Singapura atau Thailand. Banyak orang Indonesia yang belajar ilmu memasak di dua negara ini.
Apa boleh buat, walau kaya dengan sumber daya, sekolah kuliner di Indonesia kurang pandai berimprovisasi. Bandingkan dengan sekolah Singapura dan Thailand yang memiliki pengelolaan, fasilitas, kurikulum, dan materi pembelajaran lebih maju. Sekolah kuliner di Singapura juga selalu melakukan inovasi. Roti yang awalnya dari Eropa bisa dimodifikasi menjadi roti ala Singapura dengan tekstur lebih lembut dan ”modis”.
Budi menambahkan, menu makanan Singapura tidak terlalu jauh berbeda dengan menu Indonesia, namun sekolah di Singapura mengajarkan modifikasi menu tradisional menjadi lebih pas untuk selera masa kini. selain itu, penampilan pun dibuat cantik sehingga warga dunia lebih bisa menerima.
Inilah pekerjaan rumah yang harus digarap oleh para kuliner Indonesia supaya opor ayam, soto, atau asinan bisa melanglang buana hingga ke hotel-hotel internasional di dunia.
Yandi MR (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo