Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengintegrasikan layanan laporan penculikan anak.
Jumlah kasus penculikan, penjualan, dan perdagangan anak cenderung meningkat.
Orang tua dan keluarga dianggap sebagai pemeran utama dalam pencegahan tindak pidana penculikan.
JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) akan memperkuat dan mengintegrasikan layanan pelindungan anak di pusat maupun daerah. Deputi Perlindungan Khusus Anak pada Kementerian PPPA, Nahar, mengatakan bahwa tingginya kasus penculikan, penjualan, dan perdagangan anak dalam beberapa tahun terakhir membutuhkan intervensi penanganan multipihak. “Upaya untuk memastikan anak mendapatkan pelindungan khusus, bebas dari kekerasan dan diskriminasi, harus dilakukan bersama-sama,” kata Nahar kepada Tempo, Selasa, 14 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nahar menjelaskan, Kementerian PPPA telah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga, kelompok masyarakat, maupun organisasi perangkat daerah (OPD) yang berfokus pada isu pelindungan anak. Adapun korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak merupakan satu dari 15 tipe anak yang harus mendapatkan pelindungan khusus dari negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain melakukan upaya pencegahan dengan memperkuat regulasi, kata Nahar, kerja sama multipihak itu diperlukan untuk memastikan berjalannya pengawasan, pelindungan, perawatan, dan rehabilitasi. “Untuk pengawasan ini tidak hanya dilakukan pemerintah, tapi juga perlu peran orang tua, keluarga, dan masyarakat di sekitar,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian PPPA menggelar Rapat Koordinasi Pelaksanaan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak yang diikuti perwakilan OPD seluruh provinsi. Digelar di Denpasar, pada 8-9 Februari lalu, pertemuan itu menyepakati pengembangan dan pengintegrasian data pelindungan perempuan dan anak lintas instansi. Kementerian PPPA berniat menggandeng pemerintah daerah untuk mengaplikasikan Sahabat Perempuan dan Anak (Sapa), platform yang diluncurkan pada 2021 untuk menerima laporan perempuan dan anak korban kekerasan.
Selama ini, berserakannya data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dinilai menjadi salah satu kendala untuk menganalisis dan memantau penanganan kasus maupun pembuatan kebijakan. “Pada 2023 ini, kita harus memastikan layanan pengaduan bersifat one stop services dengan memberi pendampingan dan penanganan yang jauh lebih baik, lebih responsif, dan terintegrasi bagi seluruh masyarakat, baik itu korban, keluarga korban, maupun pelapor,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, saat membuka rapat koordinasi tersebut, Rabu, 8 Februari lalu.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga saat mengikuti Rapat Pleno Pengambilan Keputusan RUU TPKS di Badan Legislasi, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 April 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Kasus Penculikan, Penjualan, dan Perdagangan Anak Meningkat
Nahar menyoroti adanya tren peningkatan jumlah kasus dan korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang tahun lalu, platform Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) menerima laporan sebanyak 28 kasus penculikan, penjualan, dan perdagangan anak. Sebanyak 89 anak menjadi korban dalam kasus-kasus tersebut. "Dominasinya di kasus perdagangan anak,” kata Nahar.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding data pembanding yang dikumpulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam catatan KPAI, sedikitnya 28 anak menjadi korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak pada 2021. Data ini sebetulnya juga menunjukkan tren peningkatan karena KPAI mencatat sedikitnya 34 anak menjadi korban penculikan dan 17 anak menjadi korban penjualan dan/atau perdagangan anak pada 2022. Adapun dalam kurun dua bulan terakhir, Januari-Februari 2023, KPAI sudah mencatat sebanyak 14 anak menjadi korban penculikan.
Nahar mengatakan, modus penculikan selama ini amat beragam, bergantung pada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya. Dari sisi pelaku, dia mencontohkan, banyak ditemukan adanya faktor masalah ekonomi yang mendorong pelaku melakukan tindak pidana. Dalam beberapa kasus, Kementerian PPPA menemukan anak korban penculikan dijadikan pengepul rongsokan dan pengemis. Ada pula praktik kejahatan yang disinyalir berhubungan dengan perdagangan organ tubuh. “Ada juga yang diculik karena masalah keluarga, seperti di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, yang disebabkan salah satu anggota keluarga korban merupakan penasihat hukum dalam kasus sengketa lahan,” kata Nahar. “Pelaku penculikan ini bisa beragam: keluarga ataupun orang asing.”
Di sisi lain, penculikan juga rentan terjadi akibat adanya celah dari sisi korban maupun keluarga. Nahar mengatakan, pola pengasuhan oleh keluarga yang terlalu bebas dan kesibukan orang tua dapat membuka celah tersebut. "Mudahnya anak-anak dalam menjalin relasi lewat media sosial terhadap orang yang tidak dikenal juga menjadi modus belakangan ini, terlebih sejak makin dinamisnya perkembangan teknologi informasi," kata Nahar.
Menurut Nahar, anak korban penculikan amat rentan terserang secara psikologis, apalagi jika mengalami berbagai bentuk kekerasan. Karena itu, kata dia, upaya pelindungan korban dilakukan hingga pada tahap perawatan dan rehabilitasi. "Upaya mempercepat kesembuhan psikologi anak ini memerlukan dukungan dari lingkar terdekat korban, seperti keluarga, dan intervensi dari profesional," ujar Nahar.
Sejumlah barang bukti kasus penculikan anak saat rilis di Polres Cilegon, Banten, 25 Januari 2023. ANTARA/Asep Fathulrahman
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, pemicu kasus penculikan anak didominasi oleh permasalahan keluarga. Kerap kali orang tua justru menjadi pelaku penculikan anak akibat perebutan atas hak asuh. “Ketika pasangan tidak bisa menjawab persoalan di keluarga, menjadi perebutan kuasa asuh anak, yang sering kali disertai penculikan anak, karena berbagai sebab,” ujarnya.
Selain dilatarbelakangi masalah keluarga, kata Jasra, kasus penculikan anak dipicu oleh adanya kebutuhan di bisnis gelap, seperti perdagangan narkoba, minuman keras, hingga prostitusi. “Anak ini menjadi kelompok yang paling rentan karena belum bisa melindungi diri sendiri. Secara fisik mudah dikuasai. Pemahamannya pun mudah dibelokkan,” ujarnya. Menurut Jasra, anak yang tidak tercatat negara juga rentan menjadi korban penculikan karena kerap kali berpindah pengasuhan.
Jasra mengimbau orang tua dan keluarga turut serta menekan angka kasus penculikan anak. Anak-anak, dia mencontohkan, perlu diajarkan untuk menolak ajakan orang asing, menyampaikan pikirannya, dan mengetahui apa yang harus dilakukan jika ada hal yang mencurigakan atau membuatnya takut. “Artinya, mari kita lihat rumah masing-masing seperti apa. Apakah tersedia tempat yang aman? Apakah anak-anak kita tidak beraktivitas di tempat yang rawan?"
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo