Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sampai 30 hari setelah terjadinya tiga ledakan beruntun di Jakarta 4 Oktober lalu, siapa pelaku serta motivasi mereka mulai terungkap. Jumat pekan lalu, Kepolisian Resort Jakarta Barat melakukan rekonstruksi di dua tempat peledakan: di kantor BCA Jalan Gajah Mada, dan di pertokoan jembatan Metro, Glodok. Setelah itu dilakukan pula rekonstruksi di kediaman dua pelaku di Palmerah, Jakarta Barat. Rekonstruksi itu rupanya dilakukan untuk melengkapi hasil pemeriksaan para tersangka yang sekarang hampir rampung. Menurut sebuah sumber, berkas perkara para tersangka itu akan diajukan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta awal November ini. "Diharapkan sidang pengadilannya bisa dilangsungkan dalam bulan itu juga - hingga masyarakat secepatnya tahu latar belakang peristiwa itu," kata seorang pejabat. Cepat mengetahui latar belakang peristiwa peledakan itu memang sangat penting. Terjadinya sejumlah kebakaran di Jakarta dalam beberapa pekan terakhir ini bahkan yang terakhir gudang amunisi marinir (Lihat: Gudang Peluru itu, Meledak Lagi), sebagian di antaranya masih misterius penyebabnya. Dan naiklah suhu kabar angin. Banyak orang dengan serta-merta mengaitkannya dengan Peristiwa Tanjung Priok. Saat ini belasan orang sedang diperiksa atau ditahan. Tapi, kata sebuah sumber, dua pelaku utama, Tasrif dan Eddy Ramli, "kini masih buron". Di samping mereka yang terlibat langsung peledakan, yang berwajib kini juga tengah memeriksa sejumlah orang - beberapa di antaranya seorang bekas menteri dan pemilik restoran di masa Orde Baru - yang dianggap ikut "mendorong" terjadinya peledakan tersebut. Delapan tersangka sampai awal pekan ini masih disimpan di Polres Jakarta Barat. Antara lain Rachmat Basoeki, yang dianggap otak peristiwa peledakan, Yunus (pelaku peledakan di jembatan Metro), Hasnul Arifin, Chaerul Syah, dua bersaudara Muhidin Ali dan Machfuddin Ali, serta dua bersaudara Faqih Ambari dan Dimyati Ambari. Hampir semua mereka ditahan sejak 6 Oktober, dua hari setelah bom menggelegar dan membunuh dua orang. Menurut pelacakan TEMPO, jatuhnya korban dalam peristiwa Tanjung Priok rupanya membuat sejumlah orang ingin "menuntut balas". Tiga hari setelah kerusuhan itu, pada 16 September, datanglah M. Tasrif ke rumah Rachmat Basoeki di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Keduanya telah lama saling mengenal, karena pernah sama-sama ditahan dalam peristiwa 20 Maret 1978. Bahkan, dalam peristiwa itu, Rachmat, selaku sekretaris Front Aksi Pemuda dan Mahasiswa Indonesia, setelah ditahan dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan di saat sidang umum MPR tersebut. Ia dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Tasrif, 54, yang berasal dari Tasikmalaya, mengusulkan agar peristiwa Tanjung Priok "di-follow-up-i". Maksudnya, meledakkan depot Pertamina di Plumpang (Tanjung Priok), Perumtel Jakarta, dan Proyek Air Minum Jakarta. Gagasan ini ditolak Rachmat. "Kalau kita berjuang untuk keadilan rakyat, masak harus mengorbankan milik rakyat," dalih Rachmat pada Tasrif. Ia mengusulkan sasaran lain: menghantam "milik Cina". Rachmat, 42, sejak lama menganggap bahwa ekonomi Indonesia "didominasi Cina". Dalam pembelaannya, tatkala diadili pada 1980 (dalam peristiwa 20 Maret 1978) berkali-kali ia menekankan perlunya "pribumi menjadi tuan di negeri ini". Karena itu, ia menyarankan agar Tasrif meledakkan kantor BCA, yang sahamnya antara lain dimiliki sejumlah pengusaha keturunan Cina. Di samping itu, rupanya Rachmat, yang menjadi bendahara Badan Pembela al-Masjid al-Aqsa, mempunyai alasan lain. Ia mengenal baik Almarhum Amir Biki, yang tewas tertembak dalam peristiwa Tanjung Priok. Ia merasa berutang budi dengan Amir Biki, meskipun tak jelas bagaimana. Rachmat, selaku wakil ketua II GPK (Gerakan Pemuda Ka'bah) DKI Jakarta Raya, memang sering berhubungan dengan Amir Biki, yang pernah menjadi anggota pengurus pusat GPK. Pada Tasrif, Rachmat kemudian menyerahkan alamat sembilan kantor BCA di Jakarta. Juga nomor teleponnya. Maksudnya: agar setelah bom dipasang, kantor bank tersebut bisa ditelepon hingga tidak timbul korban. Diputuskan untuk memasang tiga buah bom. Untuk itu Tasrif meminta uang Rp 1 juta. Rachmat setuju. Ia menyerahkan jumlah itu: separuh di antaranya uangnya sendiri, sedang separuhnya diperolehnya dari seorang kenalannya yang kabarnya memberikan uang itu untuk membelikan skuter buat Rachmat. Sebuah sumber menjelaskan, sebetulnya Tasrif sudah lama sebelumnya memiliki dan menyimpan bom tersebut. Yang masih belum jelas benar bagaimana dan kapan Tasrif, yang juga anggota GPK, kemudian menghubungi sejumlah orang yang diajaknya berkomplot, seperti Eddy Ramli (juga anggota GPK). Pada 2 Oktober, dua hari sebelum peledakan, Tasrif menemui Rachmat. Ia menyatakan bahwa kantor pusat BCA di Jalan Asemka dijaga ketat. Juga kantor BCA di Jalan Pintu Besi. Rachmat kemudian menyerahkan pilihan sasaran pada Tasrif. Menurut rekonstruksi polisi, Tasrif pada 29 September mendatangi rurnah Hasnul Arifin di Klender. Kebetulan yang ada cuma istri Hasnul. Padanya Tasrif menitipkan sebuah bom yang dibungkus. Dikatakannya, itu mesin tik. Setelah datang, Hasnul, yang tahu bahwa isi bungkusan itu bom, merasa takut. Ia lalu mencari Tasrif untuk mengambil kembali bom tersebut. Baru pada 2 Oktober datang Eddy Ramli yang mengambil bom tersebut dan membawanya pulang ke rumahnya di Palmerah. Menurut cerita Ny. Iyah, istri Eddy Ramli, suaminya yang pergi sejak 1 Oktober baru kembali Rabu malam 3 Oktober. Malam itu, Yunus dan Chaerul Syah datang ke rumah Eddy. Yunus alias Melta Halim adalah lulusan STM yang pernah kuliah di sebuah akademi bahasa asing jurusan Inggris. Pria asal Palembang ini tinggal di rumah Faqih Ambari, di samping masjid Nurul Amal, Palmerah Barat. Ia bekerja sebagai tukang sablon pada perusahaan Eddy Ramli. Sedang Chaerul, 21, adalah mahasiswa suatu akademi industri dasar tingkat I yang baru dua bulan indekos di depan rumah Eddy Ramli. Eddy kemudian mengajar Yunus dan Chaerul cara memasang timer pada bom yang berbentuk silinder panjang 30 cm dengan diameter 15 cm itu. Berat tiap bom sekitar 1,5 kg, semuanya dibungkus kertas merah. Tiap timer ada batu baterainya sebanyak 8 buah dengan ukuran 12 volt. Pagi hari 4 Oktober itu Tasrif datang ke rumah Eddy sekitar pukul 7. Sebelumnya Yunus sudah lebih dulu datang. Mereka, termasuk juga Chaerul, kemudian sarapan. Tasrif, Eddy Ramli, dan Yunus kemudian berangkat menuju "sasaran". Yunus, yang bertugas memasang bom di pertokoan Metro, naik taksi bersama Eddy Ramli, yang kemudian turun lebih dulu di depan kantor BCA di Jalan Gajah Mada. Di taksi, Eddy Ramli memasang waktu 20 menit pada bomnya. Sedangkan Yunus, di pertokoan Metro, berhasil menitipkan bom dalam tas pada sebuah toko yang kemudian menewaskan pemilik toko Go Tjun Hien dan Effendi, petugas keamanan. Yang masih belum jelas peranan Jayadi. Ada perkiraan bahwa Jayadi, yang tidak dikenal oleh Eddy Ramli dan kawan-kawan, bertemu dengan Tasrif - dan entah dengan cara apa setuju meletakkan bom itu di lantai II gedung BCA Jalan Pecenongan. Agaknya, karena tergesa-gesa, Jayadi kurang menguasai cara menyetel timer itu, hingga langsung meledak begitu ia memasangnya. Ledakan terdengar. Sesuai dengan perjanjian, setelah itu, Eddy, Yunus, dan Tasrif berkumpul ke depan Wisma Hayam Wuruk. Bertiga mereka kemudian pulang ke rumah Eddy Ramli. Pulang ke pondokannya, Yunus kemudian bercerita pada Faqih dan Dimyati Ambari keterlibatannya dalam peledakan tersebut. Tampaknya ia menyadari konsekuensi perbuatannya. "Saya punya firasat bahwa tindakan saya sudah diketahui aparat. Saya tidak ingin melibatkan orang yang saya tumpangi. Apa pun risikonya harus saya hadapi sendiri, meski dalam bentuk yang bagaimanapun," kata Yunus. Karena itu, ia tidak melarikan diri seperti Eddy dan Tasrif. Betul juga, Sabtu malam 6 Oktober, delapan petugas menjemputnya. Terlibatnya sejumlah anggota GPK dalam peledakan ini tentu saja merepotkan GPK. Kabarnya, Rachmat Basoeki dan kelompoknya sangat aktif dalam kampanye Pemilu 1982 lalu, hingga Rachmat kemudian terpilih sebagai wakil ketua II GPKI DKI Jakarta. GPK sendiri dibentuk menjelang Pemilu 1982 untuk antara lain menampung dan menyalurkan aspirasi pemuda Islam. Sekalipun tidak menjadi onderbouw PPP, GPK menyalurkan aspirasi politiknya lewat PPP. Ketua GPK Jakarta, M. Nadjib B.S., menolak dilibatkannya GPK dalam peristiwa peledakan tersebut. "Adanya segelintir oknum GPK ataupun simpatisannya yang diduga ikut meresahkan masyarakat tidak berarti GPK sebagai organisasi terlibat," kata Nadjib, yang juga anggota MPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo