Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Meriang Di Baranangsiang

Wali kota bogor tentang kasus tanah milik rakyat. terdapat kasus akte kosong dan masalah ganti rugi.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAKYAT Lingkungan Baranangsiang, Kecamatan Bogor, masih gigih memperjuangkan tanah milik mereka yang bertahun-tahun menjadi sengketa. Kepada Walikota Bogor Achmad Sobana, Senin pekan lalu mereka menyampaikan 10 tuntutan. Antara lain agar bangunan kantor dan bedeng milik PT Pioneer Trading Co Ltd di Kampung Ciheuleut segera dibongkar dalam waktu 3 hari. Bila dalam batas waktu tersebut bangunan-bangunan itu masih berdiri, "kami akan melakukan pembongkaran secara beramai-ramai." Tapi sampai Sabtu siang pekan lalu, kantor dan bedeng Pioneer masih nongkrong di atas tanah almarhum kakek H.M. Hasyim bin Rafii itu. Traktor-traktor pun masih bercokol di atas tanah nenek H. Suryadana, istri Hasyim, di Tangkil. Dan posko Pioneer juga masih menempel di Kantor Kecamatan Bogor Timur. Tapi rakyat pun menuntut pula agar Barnas S.A. (Kepala Lingkungan Baranangsiang) dan Jumala BA (Camat Bogor Timur) segera diganti karena dianggap tidak mengayomi warganya. Itulah buntut kasus sengketa tanah Baranangsiang sejak 7 tahun silam dan belum usai juga. Kasus itu sempat melibatkan beberapa aparat Pemda, sampai Sekwilda Kodya Bogor Sumadi harus mundur untuk digantikan Zoetia Danoe yang ketika itu Kepala Subdit Pemerintahan Kodya Bogor (TEMPO, 21 Januari 1978). Sengketa ini bermula ketika Pemda Bogor memutuskan untuk memekarkan kota ke arah timur dan utara seperti disebut dalam Pola Pengembangan Kota Bogor 1974-2000. Daerah timur dan utara itu (Baranangsiang, Babakan dan Bantarjati) antara lain direncanakan untuk perumahan orang-orang asing yang disebut International Embassy Hill. Dua buah penanam modal mendapat izin PT Sembada Buana dan PT Pioneer. Mula-mula Sembada mendapat 200 ha, belakangan menyusut menjadi 100 ha. Adapun Pioneer, semula mendapat 75 ha, kemudian 150 ha. Belakangan, pada 1975, izin dicabut. Tapi 15 bulan kemudian diberi jatah 45 ha. Untuk "membebaskan" tanah rakyat tersebut, Sembada memberi kuasa kepada H. Husein bin H. Thohir, 42 tahun, Kepala Lingkungan Baranangsiang waktu itu, sedang Pioneer menguasakan kepada H.M.S. Suryajaya, 46 tahun, Mantri Polisi Baranangsiang. Akte Kosong Mula-mula rakyat menurut. Misalnya ketika Husein bin Thohir mengumpulkan mereka dan meyakinkan bahwa tanah Baranangsiang, sekitar 500 sampai 600 ha itu, akan digunakan untuk "proyek pemerintah" dan mengumpulkan girik-girik tanah mereka. Tahu-tahu muncul para petugas Sembada membawa akte-akte mematok tanah rakyat. Ternyata (ini pengakuan rakyat) akte itu dulunya kosong, disodorkan oleh Husein bin Haji Thohir untuk ditandatangani rakyat. Husein ternyata juga dituduh memanipulasikan 20 ha tanah untuk perumahan. Jatah Sembada itu, 1975 dijual kepada Perumnas, padahal Sembada sendiri sudah membayar Rp 50 juta. Sampai di sini Sembada menyerahkan persoalannya kepada Polri. Belum selesai dengan Sembada, kini muncul sengketa rakyat lawan Pioneer. Perusahaan ini mengaku sudah membayar ganti rugi Rp 200 juta lewat Suryajaya. Seperti halnya Husein, Suryajaya pun dituduh ada main. Misalnya menjual tanah jatah Pioneer kepada Sumber Cipta Sarana dan PT Pamada yang dikenal sebagai perusahaan yang sempat mengenyam monopoli proyek-proyek di Bogor, seperti kios atas Pasar Anyar, pasar Kebon Kembang, pasar Nyi Raja Permas. Ada pula sebagian tanah 8.000 mÿFD, dijual kepada PT Lampiri Jaya untuk pembangunan perumahan IPB. Semua itu tentu saja dengan harga lebih mahal. Dengan kata lain, tanah yang semula dijanjikan untuk "proyek pemerintah" ternyata diperjual-belikan. Husein dan Suryajaya bersaudara sempat ditahan. "Rakyat sebetulnya juga mengakui telah menerima uang penjualan tanah mereka. Tapi sekarang mereka menuntut tambahan ganti rugi karena merasa tertipu," kata Ny. Sally Soemantri, 37 tahun, yang bertindak sebagai pendamping rakyat. Selain ternyata tanah itu diperjual-belikan, janji-janji manis (antara lain akan membangun pemukiman yang lebih baik untuk rakyat) tak kunjung dipenuhi. Bahkan dalam resolusi Selasa pekan lalu rakyat bertekad akan menanami kembali tanah yang telah ditraktor. Walikota Bogor Achmad Sobana ternyata bersikap keras. "Saya mempertaruhkan jabatan untuk membela rakyat Baranangsiang," katanya kepada TEMPO pekan lalu, "kalau rakyat minta perlindungan, itu tugas saya. Tapi penyelesaiannya juga tergantung pihak Pioneer." Maksudnya harus melalui musyawarah tanpa merugikan rakyat. Repotnya, Pioneer sendiri juga bingung. Perusahaan ini sudah membayar sekitar Rp 200 juta kepada Suryajaya, tapi dari jatah yang 45 ha, baru 9 ha yang di tangan. Kata Widodo dari PT Pioneer: "Dan bayangkan, tanah-tanah yang strategis sekarang sudah dikuasai PT Pamada, sedang Pioneer kebagian ranah yang tidak punya jalan. Kan ya juga rugi." Dan rakyat Baranangsiang tetap meriang alias demam -- tak hanya bingung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus