Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAKYAT Lingkungan Baranangsiang, Kecamatan Bogor, masih gigih
memperjuangkan tanah milik mereka yang bertahun-tahun menjadi
sengketa. Kepada Walikota Bogor Achmad Sobana, Senin pekan lalu
mereka menyampaikan 10 tuntutan. Antara lain agar bangunan
kantor dan bedeng milik PT Pioneer Trading Co Ltd di Kampung
Ciheuleut segera dibongkar dalam waktu 3 hari. Bila dalam batas
waktu tersebut bangunan-bangunan itu masih berdiri, "kami akan
melakukan pembongkaran secara beramai-ramai."
Tapi sampai Sabtu siang pekan lalu, kantor dan bedeng Pioneer
masih nongkrong di atas tanah almarhum kakek H.M. Hasyim bin
Rafii itu. Traktor-traktor pun masih bercokol di atas tanah
nenek H. Suryadana, istri Hasyim, di Tangkil. Dan posko Pioneer
juga masih menempel di Kantor Kecamatan Bogor Timur. Tapi rakyat
pun menuntut pula agar Barnas S.A. (Kepala Lingkungan
Baranangsiang) dan Jumala BA (Camat Bogor Timur) segera diganti
karena dianggap tidak mengayomi warganya.
Itulah buntut kasus sengketa tanah Baranangsiang sejak 7 tahun
silam dan belum usai juga. Kasus itu sempat melibatkan beberapa
aparat Pemda, sampai Sekwilda Kodya Bogor Sumadi harus mundur
untuk digantikan Zoetia Danoe yang ketika itu Kepala Subdit
Pemerintahan Kodya Bogor (TEMPO, 21 Januari 1978).
Sengketa ini bermula ketika Pemda Bogor memutuskan untuk
memekarkan kota ke arah timur dan utara seperti disebut dalam
Pola Pengembangan Kota Bogor 1974-2000. Daerah timur dan utara
itu (Baranangsiang, Babakan dan Bantarjati) antara lain
direncanakan untuk perumahan orang-orang asing yang disebut
International Embassy Hill.
Dua buah penanam modal mendapat izin PT Sembada Buana dan PT
Pioneer. Mula-mula Sembada mendapat 200 ha, belakangan menyusut
menjadi 100 ha. Adapun Pioneer, semula mendapat 75 ha, kemudian
150 ha. Belakangan, pada 1975, izin dicabut. Tapi 15 bulan
kemudian diberi jatah 45 ha. Untuk "membebaskan" tanah rakyat
tersebut, Sembada memberi kuasa kepada H. Husein bin H. Thohir,
42 tahun, Kepala Lingkungan Baranangsiang waktu itu, sedang
Pioneer menguasakan kepada H.M.S. Suryajaya, 46 tahun, Mantri
Polisi Baranangsiang.
Akte Kosong
Mula-mula rakyat menurut. Misalnya ketika Husein bin Thohir
mengumpulkan mereka dan meyakinkan bahwa tanah Baranangsiang,
sekitar 500 sampai 600 ha itu, akan digunakan untuk "proyek
pemerintah" dan mengumpulkan girik-girik tanah mereka. Tahu-tahu
muncul para petugas Sembada membawa akte-akte mematok tanah
rakyat. Ternyata (ini pengakuan rakyat) akte itu dulunya kosong,
disodorkan oleh Husein bin Haji Thohir untuk ditandatangani
rakyat.
Husein ternyata juga dituduh memanipulasikan 20 ha tanah untuk
perumahan. Jatah Sembada itu, 1975 dijual kepada Perumnas,
padahal Sembada sendiri sudah membayar Rp 50 juta. Sampai di
sini Sembada menyerahkan persoalannya kepada Polri. Belum
selesai dengan Sembada, kini muncul sengketa rakyat lawan
Pioneer. Perusahaan ini mengaku sudah membayar ganti rugi Rp 200
juta lewat Suryajaya. Seperti halnya Husein, Suryajaya pun
dituduh ada main.
Misalnya menjual tanah jatah Pioneer kepada Sumber Cipta Sarana
dan PT Pamada yang dikenal sebagai perusahaan yang sempat
mengenyam monopoli proyek-proyek di Bogor, seperti kios atas
Pasar Anyar, pasar Kebon Kembang, pasar Nyi Raja Permas. Ada
pula sebagian tanah 8.000 mÿFD, dijual kepada PT Lampiri Jaya
untuk pembangunan perumahan IPB. Semua itu tentu saja dengan
harga lebih mahal. Dengan kata lain, tanah yang semula
dijanjikan untuk "proyek pemerintah" ternyata diperjual-belikan.
Husein dan Suryajaya bersaudara sempat ditahan.
"Rakyat sebetulnya juga mengakui telah menerima uang penjualan
tanah mereka. Tapi sekarang mereka menuntut tambahan ganti rugi
karena merasa tertipu," kata Ny. Sally Soemantri, 37 tahun, yang
bertindak sebagai pendamping rakyat. Selain ternyata tanah itu
diperjual-belikan, janji-janji manis (antara lain akan membangun
pemukiman yang lebih baik untuk rakyat) tak kunjung dipenuhi.
Bahkan dalam resolusi Selasa pekan lalu rakyat bertekad akan
menanami kembali tanah yang telah ditraktor.
Walikota Bogor Achmad Sobana ternyata bersikap keras. "Saya
mempertaruhkan jabatan untuk membela rakyat Baranangsiang,"
katanya kepada TEMPO pekan lalu, "kalau rakyat minta
perlindungan, itu tugas saya. Tapi penyelesaiannya juga
tergantung pihak Pioneer." Maksudnya harus melalui musyawarah
tanpa merugikan rakyat.
Repotnya, Pioneer sendiri juga bingung. Perusahaan ini sudah
membayar sekitar Rp 200 juta kepada Suryajaya, tapi dari jatah
yang 45 ha, baru 9 ha yang di tangan. Kata Widodo dari PT
Pioneer: "Dan bayangkan, tanah-tanah yang strategis sekarang
sudah dikuasai PT Pamada, sedang Pioneer kebagian ranah yang
tidak punya jalan. Kan ya juga rugi." Dan rakyat Baranangsiang
tetap meriang alias demam -- tak hanya bingung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo