Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mimpi listrik itu masih merangkak listrik masuk desa

Listrik masuk desa diprioritaskan bagi desa-desa yang ekonominya tinggi. desa bajang, ja-tim, memiliki sumber listrik sendiri. pembiayaan pln cukup mahal. ada desa yang memakai generator. (ds)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYANGKAN jika di tahun 2.000 nanti seluruh desa di Indonesia sudah terang benderang berlistrik. Mungkin jangkrik-jangkrik akan takut dan membisu. Tapi para manusia mungkin akan lebih senang --bisa lebih banyak menikmati malam di luar waktu tidur. Apa itu bukan mimpi? Usaha pemerintah untuk memasukkan listrik ke desa-desa memang tak begitu terasa menggebu. Ketika Menteri PUTL mengeluarkan surat keputusan akhir oklober 1976, pada mulanya diduga dengan cepat listrik akan menjelajahi pelosok-pelosok desa Indonesia. Tapi dugaan ini tak mudah menjadi benar. Surat Keputusan Menteri PUTL itu menentukan terbentuknya Sub Direktorat Perlistrikan Desa di lingkungan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Ini berarti bahwa menerangi desa dengan cahaya listrik mulai ditangani secara khusus. Dalam program ini disebutkan bahwa yang lebih diutamakan adalah ibukota-ibukota kecamatan dan desa-desa yang dari segi ekonomi dipandang potensil. Pada pelaksanaannya rencana ini selalu dikaitkan dengan pembangunan prasarana dan sarana-sarana lainnya di desa bersangkutan. Ada lebih dari 58.000 buah desa di Indonesia ini. Tak mungkin untuk meneranginya tanpa urutan prioritas, mengingat kemampuan masing-masing desa itu, maupun kesanggupan pemerintah. Disebutkan misalnya urutan pilihan itu didahulukan bagi desa-desa yang penduduknya mempunyai aktifitas tinggi, mempunyai potensi ekonomi relatip tinggi, mempunyai peranan dalam meningkatkan ketahanan nasional, urgen dalam pengembangan wilayah dan di samping ada perhatian dari pihak pemda setempat akan soal listrik ini, juga harus mendapat sambutan baik dari masyarakat setempat. Juga dari segi teknis desa itu dekat dengan jaringan PLN, ada air terjun alamiah untuk pembangkit mikro-hydro (PLTM) dan mudah mengadakan bahan bakar untuk pembangkit diesel (PLTD). Tak semua syarat prioritas itu mudah difahami warga desa. Tapi lebih penting dari itu agaknya, mampukah PLN menjangkau desa-desa itu sebab di tengah kluh-kesah masyarakat kota tentang kelemahan-kelemahan dalam tubuh perusahaan milik negara itu, sementara pejabat PLN sendiri kerap mengungkapkan masih terbatasnya kemampuannya mengurusi kepentingan konsumen yang ada sekarang. Beberapa waktu lalu misalnya masih banyak timbul kekusutan administrasi, lalu kesulitan manajemen dalam tubuh PLN. Belakangan warga kota-kota besar maupun kota kecil menyaksikan kelambatan PLN memenuhi sebagian besar kebutuhan mereka. Bahkan pada gilirannya, mereka yang sudah menikmati aliranpun kerap mencela nyala listrik di rumah atau perusahaan mereka tak seluruhnya dapat dinikmati. Juga di Jakarta. Bahkan di Condet dan kampung-kampung di tengah maupun pinggiran Jakarta, nyala listrik belum seluruhnya tampak. Tapi bukan hanya Condet. Juga ibukota-ibukota kabupaten, terutama di luar Jawa pada umumnya masih mengandalkan penerangan dari mesin pembangkit milik pemerintah daerah (PLD) atau swasta. Dalam hubungan ini Dir-Ut PLN sendiri, Prof. ir. Suryono, pernah mengungkapkan bahwa kemampuan daya listrik non-PLN lebih besar dibanding daya yang dimiliki PLN. Disebutkannya, non-PLN sebesar 1837 MW, sedangkan PLN hanya 1376 MW. Harus diakui tak sedikit konsumen PLN yang masih lalai memenuhi pembayaran langganannya. Tapi kelemahan-kelemahan di atas untuk sebagian besar memang bersumber dari pihak PLN sendiri. Menteri Pertambangan dan Energi, Prof. Dr. Subroto, menyebut misalnya karena faktor biaya. Ini tentu bukan hal baru. Tapi dengan uang yang serba terbatas, rupanya pihak PLN dipaksa menarik jumlah pembayaran tak kecil dari langganan-langganannya. Satu hal saja, biaya sambung yang ratusan ribu rupiah ongkosnya di beberapa kota, banyak menjadi sumber celaan calon pemakai listrik PLN. Jika negara sekecil Singapura dengan penduduk sekitar 2 juta memiliki daya bangkit listrik 2.000 MW, sedang PLN hanya mempunyai 1.376 MW, tak sulit dibayangkan betapa masih kerdilnya listrik di sini. Tahun lalu tercatat konsumsi perkapita listrik di Indonesia 22,35 kwh. Dari seluruh daya yang ada 70% di antaranya bersifat konsumtif, sisanya yang 30% dipakai secara produkti. Seluruh rumah tangga di Indonesia baru 7% saja yang memakai listrik. Dan sekarang aliran itu harus disalurkan pula ke desa-desa. Mampukah? Pertanyaan itu tak perlu dijawab. Sebab seperti dikatakan Menteri Subroto, "yang penting keinginan kita untuk menyebarkan hasil pembangunan secara menyeluruh, sampai ke desa-desa." Dengan listrik, kata Subroto, tingkat hidup warga pedesaan dapat ditingkatkan. Sebab diharapkan, listrik itu kelak tak hanya menerangai rumah-rumah, tapi juga akan mempercepat meningkatkan kecerdasan, kreatifitas budaya dan industri-industri kecil. "Pokoknya akan bermanfaat dari segi sosial, budaya dan ekonomis," tambah Subroto. MENYADARI kelemahan-kelemahan dalam tubuh PLN itulah, rencana melistriki seluruh desa di Indonesia baru akan terwujud tahun 2.000 nanti. Tak ada lonjakan-lonjakan dalam kerja PLN untuk mengejar waktu itu, "sebab semuanya sudah direncanakan secara sistimatis" seperti dikatakan Menteri Subroto. Tapi yang penting juga agaknya disesuaikan dengan kemampuan biaya, di antaranya berupa bantuan-bantuan luar negeri. Memang sampai sekarang sudah cukup banyak negara menjanjikan bantuan berupa pinjaman bagi listrik pedesaan Indonesia. Di antaranya Kanada, Perancis, Inggeris, Australia, Belanda dan Amerika Serikat. Belanda misalnya telah menyanggupi bantuan untuk listrik di desa-desa Aceh dan Maluku. Tapi selain Amerika Serikat, sampai sekarang bantuan-bantuan itu belum terwujud. Ketika berkunjung ke Indonesia Mei lalu, Wakil Presiden AS, Walter Mondale, telah menandatangani bantuan sebesar US$ 48 juta yang disalurkan US-AID (badan bantuan Amerika) melalui Ditjen Koperasi. Menyangkut-pautkan koperasi dalam pengurusan listrik pedesaan ini, tampaknya mengambil pengalaman dari Pilipina, negara tetangga kita yang dipandang telah berhasil memasukkan listrik ke desa melalui koperasi. Bahkan Prof. Dr. Subroto, ketika masih menjadi Menteri Nakertranskop, memperkenalkan ide agar koperasi juga mengambil peranan dalam mengurus penerangan desa itu (lihat: Bagaimana, Menteri Subroto?). Mampukah koperasi itu nanti? Keraguan ini tentu muncul karena cukup ruwetnya baik administrasi maupun pengurusan teknis listrik itu nanti. Sebab PLN sendiri yang sudah berpengalaman dan punya banyak tenaga ahli, masih merasa kewalahan mengurus listrik ini. "PLN yang sudah ada sejak tahun 30-an masih kewalahan mengurus listrik apalagi koperasi yang masih baru sama sekali," ungkap seorang pejabat tinggi PLN. Pejabat itu menggambarkan kesulitan tadi dengan melihat ke berbagai PLD (Perusahaan Listrik Daerah) milik pemerintah daerah. Begitu ruwetnya mengurus listrik ini sehingga beberapa waktu lalu berbagai PLD di Sulawesi dan Kalimantan menyerahkan pengelolaannya kepada PLN. Walaupun penyerahan itu bulat-bulat dan tanpa syarat, namun PLN menerimanya tidak dengan hati senang. Tapi Menteri Subroto tak meragukan kemampuan koperasi itu, sepanjang memang di suatu desa pengurusan listrik memenuhi syarat untuk diurus oleh badan usaha itu. Sebab bagi Subroto masih harus diteliti sebelumnya, apakah koperasi di desa itu memang mampu mengurus listrik atau tidak. Dan yang penting bukan hanya soal koperasi atau langsung diurusi PLN. Tapi juga bagaimana mengejar waktu agar dengan biaya terbatas listrik secara bertahap menjangkau desa-desa yang memerlukannya. Sepanjang dua tahun belakangan ini saja, baru sekitar 350 buah desa yang sudah dan akan dijangkau listrik. Sedangkan untuk Pelita III nanti, menurut Menteri Pertambangan dan Energi, rata-rata aliran listrik akan dimasukkan ke 700 buah desa setiap tahunnya. Dari pihak lain usaha ke arah itu ditempuh PLN dengan mengadakan lokakarya, khusus mengenai listrik pedesaan. Sampai sekarang tak kurang dari 4 kali telah diadakan lokakarya tentang itu, terakhir di Medan akhir Juli hingga awal Agustus tadi. Di samping itu agaknya sekarang PLN sudah mulai memperhatikan sumber-sumber daya pembangkit listrik. Misalnya dengan lebih banyak melihat ke sumber-sumber tenaga air, gas alam dan batubara, panas bumi bahkan tenaga nuklir Tapi rupanya tak kalah penting pula, mencari upaya agar PLN mampu mendorong makin banyaknya perusahaan-perusahaan listrik swasta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus