Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raden Mas Acun Hadiwijoyo, 44 tahun, tengah asyik tidur. Ayunan kereta api Argo Lawu tujuan Jakarta membuat adik sepupu Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, ini lelap dalam buaian mimpi. Agar lebih nyaman, topi biru kesayangannya digunakan untuk menutup wajahnya. Tiba-tiba, di Stasiun Kereta Api Bekasi, segerombolan polisi bersenjata lengkap menyerbu dan menyeret Acun. Suara letusan senjata polisi sempat membuat panik seisi stasiun. Peristiwa memalukan yang terjadi dua pekan silam ini tak ubahnya dengan adegan film laga Hollywood?seru dan mendebarkan.
Bersama Acun, lima lelaki penumpang Argo Lawu lainnya?sebagian besar berjenggot?juga diciduk polisi. Sebelum diborgol, mereka disuruh tiarap di lantai stasiun. Kemudian tiap "tersangka" dimasukkan ke mobil Kijang terpisah yang dipenuhi polisi bersenjata. Mereka langsung dibawa ke Markas Polres Bekasi, yang tak jauh dari sana.
Acun berusaha tenang, meski ia diperiksa oleh polisi yang mengenakan topeng hitam. Setelah dimintai semua kartu identitas, seorang polisi menyuruh Acun membaca Al-Quran dan mengerjakan salat. Kesal karena Acun menolak perintah tersebut, seorang polisi menyergah dengan kasar, "Tak usah pura-pura, kamu adalah Hambali."
Meski sempat menjalani 13 jam pemeriksaan yang menjengkelkan, Acun termasuk korban yang beruntung. Tokoh yang mengaku dekat dengan Presiden Megawati Soekarnoputri ini berhasil menelepon seorang pejabat tinggi di Sekretariat Negara. Sang pejabat langsung ngelencer ke Polres Bekasi dan berhasil meyakinkan polisi bahwa Acun bukanlah Hambali?tersangka pelaku peledakan bom Bali?yang mereka cari. Kedatangan Acun ke Jakarta, ujar sang pejabat, sebenarnya untuk mengantar beberapa toples antik pesanan dari Presiden Megawati Soekarnoputri.
Lain Acun, lain pula Hafis. Pedagang buah di Pasar Rau, Kabupaten Serang, ini akhir November lalu diciduk segerombolan lelaki sangar berambut gondrong. Ayah empat orang anak ini ditangkap di rumahnya di Perumahan Griya Walantaka, Serang. Meski sempat menolak pelbagai tuduhan polisi, Hafis, 31 tahun, tak kuasa menolak paksaan delapan lelaki bersenjata yang menyeretnya ke Markas Polres Serang.
Selama berjam-jam, Hafis dipaksa mengaku sebagai Dulmatin, tersangka pelaku bom Bali yang hingga kini masih buron. Polisi sempat ngotot karena mereka menganggap Hafis sangat mirip dengan sketsa Dulmatin yang telah disebarluaskan ke masyarakat. Meski akhirnya dibebaskan, Hafis mengaku sangat shocked dengan kejadian tersebut. "Saya tak bisa melupakannya," ujar Hafis.
Aksi penangkapan yang dilakukan polisi segera menuai protes. Acun Hadiwijoyo mengaku tidak terima dengan perlakuan polisi. Apalagi Acun merasa sudah membeberkan semua identitas asli miliknya. Acun lantas menunjuk tiga pengacara dari Pos Pengaduan dan Bantuan Hukum untuk Terorisme Lembaga Bantuan Hukum, Yogyakarta, untuk menyelesaikan kasus ini secara hukum.
Belakangan, Kepala Polres Bekasi Komisaris Besar Polisi Bachtiar menelepon Acun dan meminta maaf. Sebagai orang Jawa tulen, Acun menyambut baik permintaan maaf tersebut. "Wong wis njaluk ngapura, yo tak apura (Mereka sudah meminta maaf, ya, saya beri maaf)," ujarnya.
Tim pengacara Acun pada 20 Januari lalu telah menyurati Presiden Megawati dan Wapres Hamzah Haz. Dalam suratnya, mereka meminta agar Kapolri secara resmi meminta maaf kepada Raden Mas Acun Hadiwijoyo dan keluarganya. Bila tidak, "Kami akan mengajukan gugatan praperadilan," ujar Budi Hartono, S.H., salah seorang pengacara Acun.
Berbeda dengan Raden Mas Acun, "orang kecil" seperti Hafis hanya bisa pasrah. Meski mengaku sangat malu dengan penangkapan yang dialaminya, Hafis tak berbuat apa-apa. Ia hanya mencoba melupakan perlakuan kasar gerombolan polisi yang menangkapnya.
Sebenarnya kesalahan konyol yang dilakukan polisi tak perlu terjadi. Bisa jadi, ini merupakan bukti bahwa polisi cenderung serampangan dan main tangkap. Dalam kasus Acun, misalnya, wajah Hambali sungguh jauh berbeda dengan kerabat Keraton Yogyakarta tersebut. Secara fisik, sama sekali tak ada kemiripan. Apalagi selisih usia Acun dan Hambali jauh berbeda. "Hanya orang gila yang bilang saya mirip Hambali," ujar Acun, setengah mengumpat.
Selain Acun dan Hafis, tulah dari bom Bali juga menimpa Maskur Abdul Kadir. Lelaki yang tinggal di Jalan Pulau Pinang, Gang Sembiring, Denpasar, ini diciduk polisi karena "terlibat" aksi peledakan bom Bali. Nasib sial Maskur berangkat dari perkenalannya dengan orang yang mengaku bernama "Sutomo" pada September 2002 lalu di sebuah rumah makan. Saat itu, Sutomo meminta Maskur mencarikan sebuah rumah kontrakan. Maskur lantas menunjukkan rumah milik Ni Luh Suandari, yang tak jauh dari rumahnya. Bahkan, Sutomo kemudian meminta bantuan Maskur untuk mencari mobil sewaan.
Bisnis sebagai calo alias perantara tersebut berakibat fatal bagi Maskur. Belakangan, "Sutomo"?ia tak lain adalah Imam Samudra, pelaku utama bom Bali?ditangkap polisi. Tapi Qadhar Faisal, pengacara Maskur Abdul Kadir, menyanggah keterlibatan kliennya dalam kasus peledakan bom Bali. "Mencarikan rumah dan mobil sewaan adalah hal yang lumrah di Bali," ujar Qadhar Faisal.
Selain bom Bali, bom lain pun meminta korban "salah tangkap". Peledakan Konsulat Jenderal Filipina di Manado pada 12 Oktober 2002 silam telah membuat beberapa warga Kota Manado meringkuk di sel polisi. Jouke Herman Esau Tambani, Youce Humonggio, Erik R. Tambani, Hatty Kakanda Pananggung, Idris Uno, dan Raymond Carlos saat ini sedang menjalani pemeriksaan serius. Tapi para tersangka menolak keras tudingan polisi. Bahkan Raymond Carlos, yang dituduh merakit bom, punya jawaban lugas. "SD nyanda (tidak) lulus, bagaimana merakit bom?" katanya.
Toh, dalam kasus bom Manado, pihak kepolisian merasa yakin dengan penangkapan yang dilakukan. Sejauh ini para tersangka dianggap memiliki motif dan bukti yang cukup. Bahkan, kata polisi, dari badan seorang tersangka yang bernama Oce ditemukan serbuk hitam yang juga terdapat di tempat kejadian perkara. "Kami punya bukti kuat. Jadi, tidak asal tangkap," kata Kapolresta Manado, AKBP Hengkie Kaluara.
Aksi salah tangkap itu memang jadi bunga-bunga dalam kasus bom Bali. Maklum, tak semua pekerjaan berhasil sempurna. Apalagi jumlah kasus salah tangkap lebih kecil dibanding "benar tangkap". Polisi tetap perlu diacungi jempol dalam menangkap pelaku bom Bali. Ini tentu saja berkat "senjata" baru yang dimiliki aparat keamanan, yakni adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Antiterorisme Tahun 2002. Peraturan yang dikeluarkan setelah ledakan bom Bali tersebut memberi wewenang yang sangat besar kepada polisi. Asas "praduga tak bersalah" bisa diganti menjadi asas "praduga bersalah".
Menanggapi tuduhan tak profesional, juru bicara Tim Investigasi Bom Bali, Komisaris Besar Zainuri Lubis, mencoba memberi penjelasan. Menurut Zainuri, tragedi bom Bali yang mendapat perhatian seluruh dunia menyebabkan polisi bekerja ekstrakeras untuk menangkap para pelaku bom Bali. Kesalahan penangkapan yang dilakukan polisi disebabkan beberapa kemiripan fisik dengan foto dan sketsa para tersangka. "Kami tak mau mengambil risiko mereka lolos," ujar Zainuri Lubis kepada Bernarda Rurit dari Tempo News Room.
Namun, polisi membuka pintu bila para korban penangkapan akan menempuh langkah hukum. Seperti diatur dalam KUHAP, korban kesalahan penangkapan bisa mengajukan gugatan praperadilan dan penuntutan ganti rugi. "Kami siap melayani gugatan mereka. Kami juga bersedia meminta maaf secara terbuka," ujar Zainuri Lubis.
Sebenarnya, kekonyolan pernah dilakukan polisi pada awal-awalnya. Awal November silam, saat polisi belum menangkap satu pun tersangka bom Bali, polisi menangkap seorang lelaki kumal berambut gondrong. Saat ditangkap, "pelaku bom Bali" tersebut sedang kongko di Terminal Watujadi, Bejawa, Nusa Tenggara Timur. Merasa mendapat buruan kakap, Tim Investigasi Bom Bali bergegas mengirim rombongan penjemput. Sebuah pesawat khusus disewa untuk membawa sang lelaki kumal ke markas Tim Investigasi di Kepolisian Daerah Bali. Belakangan, polisi terpaksa gigit jari dan menanggung malu. Si lelaki kumal itu ternyata orang gila yang biasa keluyuran di Terminal Watujadi.
Setiyardi, Heru C. Nugroho (Yogyakarta), Verianto Madjowa (Manado), dan Jalil Hakim (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo