Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Konstitusi akan melaporkan Denny Indrayana ke asosiasi advokat.
Denny Indrayana mengapresiasi MK yang tidak menempuh jalur pidana.
Putusan MK sebenarnya sudah membuktikan informasi yang disebar Denny Indrayana salah.
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) berencana melaporkan Denny Indrayana ke asosiasi advokat. Bekas Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu diduga telah menyebarkan informasi keliru soal putusan uji materi sistem proporsional terbuka sebelum agenda sidang digelar. “Agar ini bisa menjadi pembelajaran, kami akan melaporkan Denny Indrayana ke organisasi advokat tempat dia berada,” kata Wakil Ketua MK, Saldi Isra, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Informasi yang disebarkan Denny itu dilakukan melalui akun Twitter-nya pada 28 Mei lalu. Dia mengklaim telah memperoleh informasi bahwa MK akan mengabulkan gugatan sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Dia juga merinci akan ada enam hakim yang menyatakan setuju dan tiga hakim berbeda pendapat alias mengajukan dissenting opinion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saldi mengatakan uji materi sistem proporsional terbuka itu diajukan pada 14 November 2022. Permohonan uji materi itu diajukan oleh pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Demas Brian Wicaksono; anggota Partai NasDem, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, kemudian teregistrasi dua hari setelah didaftarkan. Belakangan, NasDem membantah bahwa Yuwono merupakan kadernya. Adapun gugatan mereka tercatat dalam perkara nomor 114/PUU-X/X/2022. Para pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sidang pendahuluan perkara itu, kata Saldi, digelar pada 26 November 2022 hingga masuk tahap pleno pada Desember 2022. Anggota majelis hakim bersepakat memutuskan perkara setelah pleno. “Karena dianggap perlu mendengarkan pihak-pihak terkait,” ujar dia.
Menurut Saldi, perjalanan sidang terbilang panjang karena mesti mendengarkan banyak pihak terkait. Sidang berjalan selama enam bulan hingga 23 Mei lalu. Sedangkan pembahasan putusan sidang baru dilakukan pada 5 Juni lalu. “Tapi pembahasan intens baru kami laksanakan pada 7 Juni. Hari itulah baru diputuskan posisi masing-masing hakim,” ujarnya. “Ketika dilakukan RPH (rapat permusyawaratan hakim), hanya dihadiri tujuh hakim konstitusi karena salah satu hakim sedang berdinas ke luar negeri.”
Sebelum 7 Juni lalu, Saldi menegaskan, belum ada putusan soal perkara uji materi sistem proporsional terbuka. Sedangkan Denny telah mencuit soal informasi putusan sidang pada sepuluh hari sebelum putusan. “Pendapat itu merugikan kami secara institusi karena seolah-olah itu bocor dan diketahui pihak luar. Padahal putusan itu baru terjadi tanggal 7,” tutur Saldi. “Sebelum itu belum ada putusan.”
Denny Indrayana di Jakarta, 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Selain itu, fakta dalam putusan berbeda dengan informasi yang disebarkan Denny. Sebabnya, dalam putusannya, hakim Mahkamah yang menolak uji materi sebanyak tujuh orang. Sedangkan satu lainnya memberi pendapat berbeda. Karena informasi tersebut tidak benar, Mahkamah memutuskan melaporkan Denny ke asosiasi advokat tempat dia bernaung, baik di Indonesia maupun di Australia. “Pekan depan kami siapkan (laporannya).”
Denny mengapresiasi langkah MK yang tidak menempuh jalur pidana atas cuitannya. Menurut dia, Mahkamah tidak mau menggunakan tangan paksa negara, yang artinya masih memberikan ruang terhadap kebebasan berpendapat dan menyampaikan pikiran. “Pilihan yang menarik dan bijak,” ucapnya. “Tentu saya akan menyampaikan pandangan bahwa apa yang saya lakukan sebenarnya dalam peran saya selaku akademikus.”
Sebagai guru besar hukum tata negara, menurut Undang-Undang Guru dan Dosen, Denny merasa berkewajiban menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Denny mengatakan tindakannya itu dilakukan karena sistem penegakan hukum di Indonesia belum ideal. “Masih banyak praktik mafia hukum sehingga kontrol publik justru diperlukan untuk mengawal kinerja hakim untuk menghadirkan keadilan,” ucapnya.
Salah satu upaya yang Denny lakukan adalah dengan kampanye publik dan media. Dalam kasus mencegah terjadinya praktik mafia hukum dalam uji materi sistem pemilu, Denny menggunakan cara tersebut yang terbukti efektif melahirkan keadilan dan menguatkan daulat rakyat. “Kami mengapresiasi putusan MK,” ucapnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan sebaiknya MK tidak melaporkan Denny ke asosiasi advokat atau mana pun karena putusan MK sudah membuktikan bahwa informasi yang disebarkan Denny tidak benar. “Secara tidak langsung MK sudah menunjukkan bahwa mereka tidak main-main dalam menjatuhkan putusan,” ucapnya. “Jadi, tidak mengingkari keinginan publik yang mau mempertahankan sistem proporsional terbuka."
Namun, kata Charles, jika MK tetap mau melaporkan Denny ke asosiasi advokat, sebenarnya hal itu bisa menjadi forum kepada yang dilaporkan untuk membuktikan informasi yang diberikan punya dasar dan iktikad baik. “Yang pasti dengan kaidah profesi beliau sebagai seorang lawyer.”
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo