Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dinilai tidak memiliki kewenangan untuk menganulir putusan MK.
Majelis Eksaminasi menilai putusan MK atas perkara Nomor 90 adalah upaya untuk merusak sendi-sendi demokrasi dan negara hukum.
BEM Unusia mengajukan gugatan untuk mengoreksi Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
JAKARTA – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dinilai tidak memiliki kewenangan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, bila menemukan adanya kecurangan dalam sebuah putusan, MKMK tidak bisa menghilangkan legalitas putusan Mahkamah Konstitusi itu. “Putusan hanya hilang legitimasinya, bukan dengan legalitasnya,” kata I Dewa Gede Palguna, pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana yang juga pernah menjadi hakim konstitusi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan MKMK, kata Palguna, bisa digunakan sebagai landasan hukum untuk meninjau kembali putusan MK yang dipermasalahkan. Sebab, berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, putusan MK hanya bisa dianulir oleh putusan lain atas permohonan yang diajukan masyarakat. Karena itu, pihak yang berkeberatan dengan putusan MK dapat mengajukan gugatan menggunakan dalil konstitusional baru, termasuk putusan MKMK itu. “Ini cara yang paling konstitusional menurut saya,” ujarnya.
Pernyataan itu disampaikan Palguna untuk menanggapi adanya kemungkinan MKMK dapat mengubah putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menetapkan syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun dan pernah menjabat kepala daerah. Palguna kemarin hadir sebagai saksi ahli dalam sidang MKMK yang memeriksa dugaan pelanggaran kode etik hakim Mahkamah Konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi berhubungan dengan penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Perkara itu secara khusus menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur syarat batas usia bagi capres dan cawapres. Dari persidangan inilah bunyi Pasal 169 huruf q yang semula hanya membatasi usia capres dan cawapres minimal 40 tahun kemudian mendapat tambahan frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum”.
I Dewa Gede Palguna. Dok. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Putusan itu menimbulkan polemik. MK dituding memberikan karpet merah kepada putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres. Demi mengakhiri polemik, MK menindaklanjutinya dengan membentuk MKMK.
Guru besar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, menilai putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu bisa dikategorikan sebagai bentuk pengujian undang-undang yang sewenang-wenang. “Ini pelanggaran serius terhadap hukum acara, sarat konflik kepentingan, dan lemah penilaian terhadap legal standing pemohon,” ujar Susi.
Atas penilaian itu, Susi bersama empat akademikus kemudian membentuk Majelis Eksaminasi publik untuk menguji putusan MK terhadap perkara Nomor 90 tersebut. Empat akademikus itu adalah Palguna; ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona; pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; dan pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
Majelis Eksaminasi menilai putusan MK atas perkara Nomor 90 adalah upaya yang dilakukan untuk merusak sendi-sendi demokrasi dan negara hukum. Perkara Nomor 90 itu diajukan oleh seorang mahasiswa asal Surakarta, Jawa Tengah, bernama Almas Tsaqibbirru Re. Dalam berkas gugatannya, Almas menyatakan kekagumannya terhadap Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. “Itu adalah argumentasi yang tidak mencukupi persyaratan legal standing,” kata Susi. “Mahkamah telah berperan terlalu jauh dari wewenangnya.”
Penggugat uji materi Undang-Undang Pemilu batas usia capres-cawapres, Almas Tsaqibbirru Re A., memberikan keterangan di Manahan, Solo, Jawa Tengah, 16 Oktober 2023. ANTARA/Mohammad Ayudha.
Titi Anggraini berpendapat, Mahkamah Konstitusi terlibat terlalu jauh dalam memproses perkara kepemiluan. Karena itu, putusan yang diambil MK dianggap menjadi bagian dari strategi politik yang menguntungkan pihak tertentu. Pengabaian juga dilakukan Mahkamah dalam menilai sifat obyek, materi, dan perkara serupa. Hal ini dapat dilihat dari sikap Mahkamah yang memutuskan bahwa gugatan perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang sama konteksnya atau menggugat Pasal 169 huruf q Undang-Undang pemilu merupakan open legal policy. “Karena seyogianya Mahkamah tidak boleh mengadili perkara yang sudah pernah diuji sebelumnya,” ujar Titi.
Palguna sependapat dengan Titi. Bahkan, dalam memutuskan perkara gugatan Nomor 90, Mahkamah secara kasatmata melanggar hukum acara. Sebab, kuasa hukum Almas, Arif Sahudi, sempat menarik gugatan pada 29 September 2023. Namun berselang satu hari kemudian penarikan itu dibatalkan. “Semestinya permohonan tidak dapat dilanjutkan,” kata Palguna. Hal ini jelas bertentangan dengan hukum acara Mahkamah.
Uji Materi Sonder Anwar Usman
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai batas usia capres dan cawapres. Melalui Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang diajukan BEM Unusia, mereka meminta MK mengoreksi Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menetapkan batas usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
BEM Unusia juga meminta Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman tidak dilibatkan dalam persidangan perkara tersebut. Pemohon juga meminta frasa "berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota" diubah menjadi "hanya berpengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi". Sidang uji materi Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 ini dijadwalkan pada 8 November mendatang.
"Kami meminta kepada Yang Mulia agar tidak mengikutsertakan Anwar Usman dalam perkara tersebut supaya tidak berulang pelanggaran benturan kepentingan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi," kata perwakilan BEM Unisia sekaligus pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim MK, Tegar Afriansyah, di Gedung MK II, Jakarta, Kamis lalu.
Tegar mengatakan Anwar Usman diduga kuat melakukan pelanggaran berupa benturan kepentingan terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, pelapor menilai Anwar tidak sepatutnya diikutsertakan dalam sidang perkara tersebut.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan gugatan uji materi yang diajukan BEM Unusia itu bisa menjadi pertimbangan putusan MKMK. "Saya sudah puji bagus itu (gugatan) dan itu bisa jadi leading case (kasus terkemuka) karena baru pertama kali ada permohonan pengujian undang-undang yang baru diputus, yang baru berubah setelah putusan MK diuji lagi," kata Jimly, kemarin. "Bisa saja putusan MK yang akan datang memutus pengujian undang-undang pascaputusan itu."
Ihwal dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi, kata Jimly, MKMK akan menyampaikan putusan pada 7 November mendatang, pukul 16.00 WIB. Keputusan MKMK itu tentu berdampak pada bakal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. "Niat kami untuk menciptakan kepastian karena pada 8 November adalah jadwal perubahan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jadi, sebelum 8 November ada keputusan MKMK," ujarnya.
ANDI ADAM FATURAHMAN | HENDRIK YAPUTRA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo