Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Montir Muda dari Yogyakarta

Sebuah sekolah menengah di Yogyakarta mengembangkan program body repair dan body painting ramah lingkungan. Usaha mendekatkan dunia pendidikan dan industri.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHAMMAD Zamruddin bukan montir. Ia siswa kelas III Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Depok, Yogyakarta. Tapi saban hari ia harus bergelut dengan bau cat yang menusuk hidung atau suara keras memekakkan telinga dari lempengan baja yang ditumbuk martil.

Awalnya Zamruddin tak begitu tertarik mengambil jurusan teknik otomotif. Namun, setelah mendengar kabar bahwa prospek lulusan jurusan ini cukup menjanjikan, ia pun mendaftar. Ia cukup beruntung. Apalagi sejak tahun lalu dibuka program khusus body repair dan body painting, yang tak didapatkan siswa di sekolah kejuruan lain di Indonesia.

Bekerja sama dengan perusahaan Toyota Astra Motor, sekolah itu kini memiliki laboratorium bengkel otomotif seluas 15 x 60 meter persegi yang terbilang komplet. Di antaranya ada spray booth (alat oven cat) dan infrared. Kegunaan alat tersebut untuk mengeringkan cat dan dempul sehingga tak bergantung pada sinar matahari.

Menurut Kepala Jurusan Teknik Otomotif Rachmad Agus Gunadi, seluruh sarana yang ada di laboratorium sekolahnya itu merupakan sumbangan dari Toyota Astra. ”Mereka ingin mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia industri agar kesenjangan tak terlalu jauh,” kata Rachmad.

Sejak 1991, perusahaan ini giat bekerja sama dengan sekolah menengah kejuruan di berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta. Program tersebut dinamai Toyota Technical Education Program (T-TEP).

Di Indonesia saat ini ada lima sekolah yang mengikuti program itu: dua di Jakarta, satu di Bandung, satu di Surabaya, dan satu di Yogyakarta. ”Kami melihat banyak sekali siswa yang keluar dari sekolah kejuruan tapi tak siap pakai. Jadi mereka harus belajar lagi dari bawah. Akhirnya percuma,” kata Johnny Darmawan, Presiden Direktur Toyota Astra Motor.

Sejak 23 Agustus tahun lalu, Toyota mengembangkan program body repair dan body painting. SMKN 2 terpilih sebagai proyek percontohan program tersebut. Alasannya, siswa sekolah ini menempati peringkat kedua skill contest otomotif tingkat dunia di Jepang pada 2004. Sejak akhir tahun lalu, sekolah yang terletak di Kabupaten Sleman ini pun mendapat bantuan peralatan body repair dan body painting.

Menurut Johnny, memang ada beberapa sekolah lain yang meminta dijadikan proyek percontohan body repair dan body painting. Kebanyakan dari Jakarta. ”Di Jakarta kan banyak sekali body repair. Di Yogyakarta boleh dikatakan lebih sedikit. Mereka meminta, kami merespons,” kata Johnny.

Selain mendapat bantuan peralatan, para guru jurusan ini diundang mengikuti pelatihan di Jakarta oleh para teknisi perusahaan. ”Setiap kali ada produk baru, kami diundang ke Jakarta,” ucap Rachmad. Para guru inilah yang diharapkan mampu mentransfer ilmu kepada para siswa didik.

Untuk membangun sebuah laboratorium, Toyota Astra mengeluarkan dana kurang-lebih Rp 1 miliar dalam bentuk barang. Sedangkan kurikulum khusus body repair dan body painting disesuaikan dengan kebutuhan industri. Kelengkapan peralatan disesuaikan dengan yang ada di bengkel Toyota.

Yang unik, siswa harus menempuh pendidikan hingga empat tahun. Saat berada di kelas III, mereka akan mengikuti tes yang diadakan Toyota. Jika lulus, mereka langsung mendapat kesempatan magang selama enam bulan di semester pertama kelas IV. Mereka yang tak lulus tetap melanjutkan pendidikan di sekolah.

Selama siswa mengikuti proses magang tersebut, pihak sekolah sama sekali tak dilibatkan. Bahkan penentuan materi ujian dan nilai kelulusan siswa seluruhnya menjadi tanggung jawab perusahaan. Bila ada mata pelajaran yang harus diambil dari sekolah, baru pihak sekolah memberikan nilai. ”Tapi ijazah kelulusan hanya ada satu, yaitu dari sekolah,” kata Rachmad.

Jika berprestasi, para siswa kembali ditawari magang pada semester kedua. Namun kali ini perusahaan menyediakan gaji dan fasilitas. Jika selesai, mereka disodori kontrak kerja selama tiga-empat bulan. Bila dinyatakan memenuhi syarat, mereka bisa diangkat menjadi karyawan tetap.

Untuk program magang ini, jumlah siswa dibatasi hanya 25 orang dari 62 murid yang ada di kelas III. Dari jumlah tersebut, 10 siswa akan mengikuti mata pelajaran general repair, sedangkan sisanya untuk body repair dan body painting.

Syarat mengikuti program magang ini sepenuhnya ditentukan Toyota. Kriterianya antara lain nilai produktif minimal tujuh untuk semua mata pelajaran, tak ada indikasi buta warna, lolos tes kesehatan, dan berkelakuan baik.

Proyek seperti ini ternyata tak hanya diterapkan di Indonesia. Toyota Company Jepang mengadakan proyek percontohan serupa di Cina dan Taiwan untuk membantu pendidikan otomotif, terutama body repair dan body painting.

Menurut Muhammad Wardiyanto, Wakil Kepala SMKN 2, program studi body repair dan body painting ini dibuka karena Toyota pusat tengah mengembangkan teknik baru dalam proses pengecatan yang rendah emisi. Tujuannya agar tak merusak lingkungan dan tak membahayakan manusia.

”Dulu, proses pengecatan itu cukup berbahaya. Debu-debu bekas pengecatan tak baik bagi kesehatan dan lingkungan,” kata Wardiyanto. ”Sekarang, dengan teknik dan bahan yang dikembangkan sarjana kimia dari Prancis, pengecatan bisa lebih ramah lingkungan.” Toksin dan emisi cat yang dipakai kini lebih rendah.

Meski baru sebatas proyek percontohan, program studi ini sudah mendapat legalitas dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Salah satu syarat yang diajukan pemerintah dalam proses pengecatan ini adalah harus ramah lingkungan. ”Itu sudah kami penuhi,” ucap Wardiyanto.

Meski hampir seluruh peralatan disediakan perusahaan, siswa lulusan program ini tak harus bekerja di perusahaan. Itu hanya sebuah pilihan. Menurut Johnny, pihaknya benar-benar ingin mencetak sumber daya manusia yang siap pakai. ”Mungkin saja mereka ingin buka bengkel sendiri,” katanya.

Memiliki bengkel sendiri memang menjadi cita-cita kebanyakan siswa di jurusan ini. Susanto, 18 tahun, misalnya, mengaku tertarik membuka bengkel setelah lulus. ”Tapi kendalanya di modal,” katanya. Untuk itu, ia akan mengumpulkan modal terlebih dulu dengan bekerja di bengkel besar.

Begitu pula dengan Zamruddin, 17 tahun. Lagi-lagi modal menjadi penghalang. Untuk membuka bengkel yang bagus, kata dia, setidaknya dibutuhkan modal awal Rp 100 juta. ”Kalau enggak bisa buka bengkel mobil, mungkin buka bengkel motor dulu. Modalnya lebih murah,” katanya.

Zamruddin awalnya ragu mengambil jurusan ini. Ia melihat kerja sebagai seorang mekanik itu identik dengan kotor. Namun, setelah mengikuti pendidikan yang dikembangkan, ia merasakan ada perbedaan. ”Kami diajari untuk selalu bersih, rapi, dan terutama tak membahayakan lingkungan sekitar,” katanya.

Firman Atmakusuma, Ismi Wahid, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus