Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menyatakan prihatin dan menyesalkan peristiwa perisakan terhadap seorang siswi difabel di SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo, Jawa Tengah. Kejadian tersebut, menurut dia, sangat bertentangan dengan prinsip dan kebijakan Muhammadiyah yang berusaha mengajarkan sikap dan perilaku welas asih dan sopan santun sebagai ajaran Islam dan budaya Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Atas nama pihak sekolah, PP Muhammadiyah memohon maaf kepada keluarga dan masyarakat karena belum mampu memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik," kata Abdul Mu'ti. "Muhammadiyah mendukung sepenuhnya langkah-langkah pemberian sanksi dan hukuman bagi pelaku perundungan sesuai ketentuan dan hukum yang berlaku."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diketahui ada tiga siswa SMP Muhammadiyah Butuh yang mem-bully seorang siswi berkebutuhan khusus di sekolah. Berangkat dari peristiwa perundungan itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berencana menutup sekolah tersebut. Abdul Mu'ti menyayangkan jika sekolah sampai ditutup.
Jika penutupan jadi dilakukan, menurut Abdul Mu'ti, maka langkah tersebut merupakan keputusan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam regulasi tersebut, masyarakat punya hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Rencana penutupan itu, Abdul Mu'ti melanjutkan, juga bertentangan dengan Undang-undang Pemerintah Daerah karena wewenang pembinaan SD dan SMP berada pada pemerintah kabupaten/kota bukan pada pemerintah provinsi.
Adapun rencana memindahkan siswi korban perundungan ke sekolah luar biasa atau SLB, Abdul Mu'ti mengatakan itu adalah niat mulia meski disertai beberapa catatan. Dia menjelaskan, niat tersebut bertentangan dengan berbagai peraturan dan hak asasi manusia di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 dan perubahan pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010, khususnya Pasal 53 tentang pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.
Upaya Ganjar Pranowo itu juga dianggap tidak sejalan dengan pernyataan Salamanca 1994 yang disetujui negara-negara anggota UNESCO. Isinya, anak-anak penyandang disabilitas harus mendapatkan layanan pendidikan dan sesuai melalui pendidikan inklusi.
Upaya mengirimkan siswi difabel tadi ke SLB, dia melanjutkan, juga tidak sesuai dengan hak asasi manusia karena setiap orang berhak untuk menentukan pilihan atas masa depan mereka. "Semua pihak perlu saling bekerja sama melakukan pembinaan karakter dan akhlak mulia bagi anak-anak. Perlu pembinaan intensif dan pengembangan sekolah ramah anak, toleran dan saling menghormati," katanya.