Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emha mundur dari ICMI karena kecewa atas penyelesaian Kedungombo. Di Jawa Tengah, ia dilarang berceramah. EMHA pernah berkata akan keluar dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bila organisasi itu menjadi alat kepentingan tertentu. Kini, sang Ontoseno -- begitu suatu kali Emha Ainun Nadjib menyebut dirinya sendiri -- membuktikan ucapannya. Persis pada HUT Proklamasi ke-46, ia melayangkan surat pengunduran diri ke alamat Ketua Umum ICMI B.J. Habibie dan Soetjipto Wirosardjono selaku Ketua Tim ICMI-Kedungombo. Dalam suratnya, bekas Ketua Bidang Dialog Kebudayaan itu menyatakan kekecewaannya lantaran missi tim ICMI untuk penyelesaian kasus Kedungombo gagal. Seperti pernah diberitakan media massa beberapa bulan silam, ICMI membentuk tim penanganan masalah penduduk yang bertahan di lokasi waduk Kedungombo dan menuntut ganti rugi. Habibie bahkan menganjurkan agar ICMI menjadi katalisator penyelesaian seluruh problem. "Beliau mengatakan bahwa cendekiawan tak boleh "buta huruf" terhadap permasalahan rakyat kecil," Emha mengenang. Ketika itu, Emha hanya mengusulkan agar ICMI membantu penduduk di bidang pendidikan, pemukiman, dan pencarian nafkah. Berkat serangkaian perundingan antara Tim ICMI, penduduk, dan Pemerintah, akhirnya lahir jalan keluarnya. Pemerintah mengizinkan penduduk menempati sebagian daerah "sabuk hijau" waduk. Sebaliknya, penduduk mengendurkan soal ganti rugi. Mereka hanya minta biaya untuk mencari tempat tinggal dan sekadar pesangon, yang jumlahnya bisa ditawar. Karena secara birokratis tuntutan itu mustahil terkabul, ICMI bersedia mencarikan dananya lewat "pintu samping". Misalnya, dari biaya informal Pemerintah. Namun, yang terjadi kemudian mengecewakan Emha. Konsesinya berubah. Pemerintah hanya mengizinkan penduduk tinggal di sebagian wilayah "sabuk hijau" tanpa pesangon. Dan anehnya, menurut Emha, Soetjipto menganggap tuntutan yang menyangkut uang tak bisa dibicarakan lagi, termasuk soal pesangon. Perubahan sikap Soetjipto, yang di kepengurusan ICMI sebagai Ketua Departeman Pembinaan Umat, membuat Emha penasaran. Baru kemudian ia tahu bahwa Pemerintah memang tak akan memberikan ganti rugi. Bahkan, mereka yang tetap membandel, memperoleh sebutan kaum mbalelo -- pembangkang. Tak urung, Emha melihat apa yang dulu tak dipercayainya: ICMI menjadi subordinat penguasa. "Kini terbukti dan saya lebih yakin untuk mengambil sikap," katanya. Mundur. Sementara itu, dari Amerika Serikat, Soetjipto mengakui belum mendengar sendiri pengunduran diri Emha. Namun, "Saya memaklumi sikap Emha yang memang lebih dekat dengan persoalan di lapangan. Sedangkan saya lebih dekat dengan yang punya proyek Kedungombo," katanya pada Berita Buana. Tampaknya, Soetjipto masih mengharapkan orang yang dulu dirayunya menjadi pengurus ICMI ini tak terburu-buru mengambil keputusan. Tetapi, Emha telah mantap. "Pengunduran diri ini adalah harga mati. Tak ada bujuk-bujukan lagi," ia menandaskan. Ontoseno memang dikenal berwatak tegas, tak ragu-ragu, dan ceplas-ceplos. Gara-gara sikapnya itu, belakangan, ia kena larangan berceramah di Jawa Tengah. Dalam sebuah panel diskusi yang diadakan Harian Suara Merdeka di Semarang akhir Juli lalu, ia sempat menyentil bahwa Penataran P4 tak efektif. Emha juga menyinggung soal kepemimpinan nasional. Emha malah berterima kasih atas larangan itu. "Dengan demikian, saya tak repot menolak permohonan ceramah yang begitu banyak," katanya. Priyono B. Sumbogo (Jakarta), dan Rustam F. Mandayun, Nunik Ismiani (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo