Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Muroami, Musuh Baru

Jenis pukat jepang yang beroperasi di perairan riau. pukat cincin jenis yang ada di kal-tim di perkenalkan pada nelayan tradisionil. (dh)

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM selesai menghalau pukat harimau kini nelayan tradisional di Kepulauan Riau harus berhadapan dengan muroami, jenis pukat Jepang. Bisa diduga kalau bentrokan sewaktu-waktu dapat meletus pula. Bulan lalu misalnya, sekelompok nelayan dari Desa Mentebung, Kecamatan Tambelan, turun anak-beranak menyerang muroami yang sedang menangkap ikan di perairan Pulau Mentebung. Mereka bersenjata kayu nibung yang ditajamkan. Untung awak kapal muroami segera kabur, hingga bentrokan itu tidak memakan korban. Begitu ganaskah muroami? Menurut Luzon Lanjumin, Kepala Dinas Perikanan Kepulauan Riau, alat ini tidak serakus pukat harimau. Cara beroperasinya juga statis, yaitu dengan memasang pukat secara tetap antara 2 karang. Pemasangannya pun tidak bisa di sembarang tempat karena sangat tergantung pada keadaan arus dan angin. Setelah pukat dipasang, awak kapal turun ke laut menggiring ikan falangis (delah) yang bersembunyi di celah-celah karang ke arah pukat dengan alat semacam rantai besi yang berdering-dering. "Tapi rantai besi itu tidak sampai merusak keutuhan karang," kata Luzon. Menurut Luzon pula, mata jaring muroami berukuran 1,5 inci seperti yang diizinkan, "hingga anak-cucu ikan masih bisa lolos." Lagi pula muroami tidak bisa menjaring ikan dekat pantai yang merupakan daerah operasi nelayan tradisional. Ikan falangis alias ikan ekor kuning itu pun hanya terdapat di karang-karang, "bukan sejenis ikan pancing yang biasa diburu nelayan," tambah Luzon. Rp 10 Juta Semusim Saat ini baru 7 muroami yang diizinkan beroperasi di perairan Riau. Menurut Dinas Perikanan setempat, perairan di sini masih menyimpan sekitar 90 ribu ton falangis tiap kmÿFD. Dan selama ini baru 5% saja yang ditangkap. Jadi menurut Luzon, "kalau muroami beriktikad baik sebenarnya tak perlu mengganggu sumber rezeki nelayan." Tapi mengapa bentrok? Menurut Razak, bentrokan itu gara-gara musim barat. Di musim begini muroami terpaksa berlindung di kawasan pantai -- sambil menangkap ikan. Dan kepergok nelayan tradisional. Tapi menurut seorang awak muroami, mereka sebenarnya hanya korban penyaluran rasa kesal para nelayan yang selama ini merasa rezeki mereka banyak dirampas nelayan asing. Para awak muroami yang beroperasi di Kepulauan Riau ternyata berasal dari Pulau Teledong, Teluk Jakarta. Satu unit muroami dikontrak Rp 10 juta semusim (6 bulan). Sekali merentang jaring alat ini dapat menangguk 2-3 ton ikan. Dengan harga ikan delah rata-rata Rp 400/kg, tak sulit mereka menutup harga kontrak. Sebaliknya para nelayan tradisional tetap saja "dapat pagi makan pagi". Maka bisa difaham kalau Eddiwan, Ketua Komisi IV DPR-RI dan salah seorang Ketua DPP HNSI, amat prihatin melihat ketimpangan penghasilan dua golongan nelayan di Riau itu. "Nelayan tradisional tidak sempat merlikmati produksi ikan yang lebih banyak untuk diekspor ke Singapura dan Malaysia," kata Eddiwan yang akhir Desember 1979 lalu meninjau ke sana. Untuk meningkatkan penghasilan nelayan tradisional, mulai Februari baru lalu Pemda Kalimantan Timur mengizinkan PT Tirta Raya Mina memperkenalkan alat penangkap ikan lain yang disebut pukat cincin (purst seine) kepada para nelayan tradisinya di sana, opersinya di Selat Makasar, berukuran 3040 ton dilengkapi ruang pendingin, dipasang pada kedalaman 60-90 meter di daerah 20-30 mil dari pantai, "hingga tidak mengganggu operasi para nelayan tradisional," seperti kata Ir. Kaspul Basran, Kepala Sub Pemasaran Dinas Perikanan Kal-Tim. Pukat ini juga untuk menangkap gerombolan ikan di permukaan air yang disebut pelagic fish alias ikan kembung. Bentuk pukat ini persegi panjang, tanpa kantung dan ikan diperangkap dengan melingkarkan jaring. Setelah ikan digiring dengan alat penghalau dan terkurung jaring, bagian bawah ditutup dengan menarik "tali kolor" lewat cincin-cincinnya. Tapi pukat cincin ini pula yang pernah dilabrak nelayan tradisional di Muncar, Banyuwangi, beberapa waktu lalu. (TEMPO, 29 Desember 1979).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus