Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPARAN sawah itu retak-retak, ditumbuhi rumput liar. Di sana
sini pematang dan saluran air dibiarkan rusak. Sampai akhir
November lalu, pemandangan begitu agak ganjil di Kabupaten
Karawang. Sebab memasuki Desember biasanya petani-petani wanita
sudah siap menanam benih.
Musim tanam di Karawang kali ini memang agak terlambat. Dari
sawah seluas 100 ribu hektar lebih, diperkirakan hanya 45,5 ribu
hektar yang bisa dita nami bila sampai pertengahan Desember
mendatang tak ada penanganan serius. Areal sawah yang selebihnya
dikhawatirkan tak tergatap dan menjadi tanah bera.
Keterlambatan waktu tanam bukan tanpa sebab. Sejak awal November
hujan memang mulai turun di kawasan lumbung padi Jawa Barat itu.
Bahkan air dari jaringan utama "sudah dialirkan sampai saluran
tersier dan sekunder, sejak 1 September lalu," tutur Kardono,
Kepala Pengairan Wilayah Tengah Proyek Otorita Jatiluhur (POJ).
Tapi akibat kemarau panjang, air yang mengalir ke sawah selama
dua minggu, hampir tak berbekas. Air itu mengalir ke
bongkahan-bongkahan tanah dan hanya sedikit yang sempat
membasahi permukaan. Air tak sampai menggenangi sawah. Tambahan
lagi menurut Kardono, seretnya air masuk ke sawah karena banyak
saluran tersier yang rusak. Praktis, hanya sawah yang lekat
dengan saluran yang cukup air dan bisa digarap segera.
Saluran tersier yang rusak memang tak diperbaiki oleh POJ .
Karena biasanya 'hal itu menjadi tanggung jawab petani." Untuk
menggenjot kekurangan air, pihak POJ kini mengambil air lebih
banyak dari waduk Jatiluhur.
Yang Tetap Betah
Lebih dari semua itu, masalah sebenarnya tak hanya soal air.
Langkanya tenaga kerja punya andil, hingga sawah-sawah di
Karawang tak tergarap. Jumlah ternak pun, yang biasa membantu
menggarap sawah, dikabarkan kian berkurang.
Hasil survei Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, Bandung,
bekerjasama dengan POJ tahun 1979, menyebut jumlah buruh tani di
Kabupaten Karawang 70.000 orang. Tapi laporan para camat kepada
bupati, menyebut angka separuhnya 35.000 Amir Oetman, Kepala
Dinas Pertanim Karawang berpendapat, tenaga pria di sana banyak
tersedot ke Bekasi dan Jakarta. Mereka menjadi buruh bangunan
atau bekerja di bidang industri (pabrik). Bahkan menurut Humas
Pemda Karawang, Gozali, "ada sementara kepala desa yang
mengorganisasikan warganya untuk bekerja di kota." Ia menyebut
Kepala Desa Palawad, yang memberkati warganya bekerja di proyek
pelabuhan udara Cengkareng.
Bekerja di kota memang menarik, dibanding jadi buruh tani yang
berpenghasilan antara Rp 500-Rp 700/hari, plus sekali makan.
Bekerja di proyek, paling tidak bisa mendapat Rp 2.000/hari.
Atau kalau di pabrik, sekitar Rp 15.000/minggu.
Tapi memang ada buruh tani yang tetap betah di kampungnya.
Owang, 30 tahun, misalnya, penduduk Desa Ciparage, Kecamatan
Cilamaya, Karawang. Selain memburuh di sawah, "terkadang ada
yang menyuruh memperbaiki rumah atau bikin pagar," katanya
polos. Di desanya, ia kini seperti tak ada saingan.
Menghadapi kurangnya tenaga kerja, Bupati Opon Supanji tak
kelewat risau. Itu bisa diatasi segera dengan mendatangkan
traktor (lihat box). Apalagi, katanya, sawah yang belum tergarap
tak seluas seperti yang diramaikan orang. "Tak sampai 30 ribu
hektar," katanya.
Yang ia risaukan justru menghadapi musim panen, Maret tahun
depan. Ini tak bisa diatasi dengan traktor. Tapi bila seluruh
anggota Korpri di Karawang terjun ke sawah, semuanya akan beres.
"Saya sedang berpikir-pikir untuk mengeluarkan instruksi itu,"
kata Opon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo