Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menduga Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hasil revisi cacat hukum. Kesimpulan awal itu dikuatkan dengan bukti bahwa pembahasan hingga pengesahan undang-undang itu ditengarai tidak melibatkan partisipasi publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perlu ada partisipasi masyarakat, yaitu pelibatan publik, dulu dalam rangka proses politik sebelum RUU digolkan. Asumsi kami, proses itu tidak ada," kata Adrianus Meliala kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adrianus mengatakan lembaganya sudah meminta berita acara pertemuan antara DPR dan masyarakat untuk mengklarifikasi dugaan tersebut. Ombudsman sudah mengirim surat permintaan itu sejak pertengahan Desember, tapi hingga saat ini belum dijawab. Tim Ombudsman juga mendatangi Komisi Hukum DPR, yang membahas revisi undang-undang, tapi belum mendapat jawaban. "Bahkan tak ada satu pun anggota Komisi III yang mau menemui Ombudsman," kata Adrianus.
Ia menduga Komisi Hukum enggan menjelaskan persoalan tersebut karena revisi undang-undang ini dibahas dan disahkan oleh anggota DPR periode terdahulu. "Walaupun pekerjaan yang dulu, anggota DPR sekarang harus menanggung beban juga," ujarnya.
Ombudsman menyelidiki dugaan kejanggalan dalam pembahasan dan revisi Undang-Undang KPK ini karena menerima laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, bulan lalu. Pada saat yang sama, koalisi juga mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Proses uji materi ini tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dari Indonesian Parliamentary Center, Sulastio, mengatakan setiap penyusunan peraturan perundang-undangan harus melalui tahap partisipasi publik. Sebab, kata dia, berdasarkan asas fiksi hukum, peraturan perundang-undangan langsung mengikat setelah termuat dalam lembaran negara. Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mewajibkan adanya partisipasi publik dalam setiap pembahasan undang-undang.
"Ketiadaan aspirasi publik dalam pembahasan undang-undang membuat masyarakat seakan-akan dipaksa untuk menaati regulasi," katanya.
Ia mengatakan memang masyarakat sipil sempat mengusulkan revisi undang-undang, yang isinya menguatkan pemberantasan korupsi. Misalnya, penambahan kewenangan KPK untuk merekrut penyidik independen. Namun, kata dia, DPR justru membuat revisi yang isinya melemahkan pemberantasan korupsi. "Gagasan revisi oleh publik disetujui, tapi isinya yang dikesampingkan. Justru DPR mengesahkan substansi yang tak pernah dibahas oleh publik," ujar Sulastio.
Sulastio mengatakan revisi UU KPK tak lepas dari peran pemerintah. Antara lain, Presiden Joko Widodo menyetujui pembahasan revisi hanya beberapa jam setelah menerima daftar inventaris masalah (DIM). "DPR dan Presiden sepertinya sama-sama ingin prosesnya cepat karena sama-sama punya kepentingan," kata Sulastio.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengklaim sudah menjaring usulan masyarakat saat pembahasan revisi UU KPK tersebut. Ia berdalih bahwa rencana revisi UU KPK itu tidak serta-merta muncul pada September lalu. Tapi rencana itu sudah ada sejak 2012. "Proses revisi UU KPK jangan dilihat hanya pada September kemarin, tapi harus ditarik sejak 2012," katanya. ROBBY IRFANY | M. ROSSENO AJI
Ombudsman Menduga Undang-Undang KPK Cacat Hukum
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo