Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -– Regulasi dari pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara saat ini menurut Ombudsman RI masih memiliki banyak permasalahan terutama mengenai sembilan rencana detail tata ruang (RDTR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Ombudsman RI Dadan S Suharmawijaya mengatakan bahwa terdapat beberapa status tanah yang tumpang tindih dan beberapa desa yang sebagian wilayahnya masuk ke IKN di luar delineasi yang ditetapkan. Imbasnya terdapat tumpang tindih kebijakan antara Otorita IKN dan Pemerintah Daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ombudsman kemudian menyarankan agar pemerintah lebih memperjelas semua wilayah IKN sebelum ibu kota baru ini terbentuk. Jika tidak memperjelas wilayah tersebut nantinya akan ada permasalahan secara administratif.
Selain itu, Ombudsman juga memberikan ultimatum kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan sistem pelayanan tanah di IKN, paling lambat 30 hari sebagaimana dilansir Tempo pada 27 Juli 2023 lalu.
Sejarah Ombudsman
Ultimatum tersebut diberikan Ombudsman sebagai Lembaga Negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik, baik yang diselenggarakan oleh Negara maupun Bada Usaha Milik Negara dan Swasta.
Dilansir dari situs Ombudsman.go.id, lembaga ini merupakan lembaga yang terinspirasi dari sistem pemerintahan Swedia yang pertama kali menerapkan pada 1809 serta gagasan Khalifah Umar bin Khatab yang membentuk Qodhi Al Quadhaat dengan tugas melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh Pemerintah.
Lembaga tersebut juga bermunculan di negara-negara yang menganut demokrasi. Dengan demikian, Indonesia yang menganut paham demokrasi setelah reformasi mengadopsi sistem tersebut agar sesuai dengan cita-cita reformasi, yakni memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ide mengadopsi sistem Ombudsman sendiri sebenarnya telah muncul pada masa Orde Baru. Hal ini misalnya muncul dalam beberapa judul artikel, seperti yang ditulis oleh P. K. Ojong dan Satjipto Rahardjo pada tahun 1976. Ide Ombudsman kemudian mulai direalisasikan oleh pemerintah pada pemerintahan B.J. Habibie dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pada masa pemerintahan B. J. Habibie dilakukan tahapan rintisan yang menugaskan Sunarti Hartono untuk melakukan studi banding mengenai pranata dan lembaga Ombudsman ke berbagai negara pada 1999. Dari hasil studinya, Sunarti mengungkapkan bahwa negara demokrasi menganggap perlu adanya pembentukan Ombudsman untuk memfasilitasi keluhan masyarakat mengenai pelayanan publik.
Setelah berakhirnya pemerintahan B.J. Habibie, pada pemerintahan Gus Dur upaya membentuk Ombudsman terus digodok. Akhirnya pada 10 Maret 2000 berdiri secara resmi Komisi Ombudsman Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 yang dilandasi oleh tiga pemikiran dasar, yakni peran serta masyarakat melakukan pengawasan, peran serta masyarakat untuk meminimalisasi penyalahgunaan wewenang, dan menciptakan keadilan serta kesejahteraan.
Lalu, perkembangan Ombudsman kian diperhatikan pemerintah. Tepatnya pada 2008 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menetapkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI yang menetapkan bahwa Ombudsman memiliki kedudukan sebagai Lembaga Non-Struktural. Kedudukan tersebut berfungsi untuk menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah terkait dengan pengawasan pelayanan publik.
OMBUDSMAN.GO.ID | TIM TEMPO
Pilihan editor: Sederet Penyebab Administrasi Tanah di IKN Kacau-balau