Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengizinkan organisasi masyarakat atau ormas keagamaan untuk mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan ini menuai beragam reaksi. Ada ormas yang menerima, namun banyak juga yang menolak. Berikut deretan ormas keagamaan yang tegas menolak izin tambang dari pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), melalui perwakilannya Kardinal Suharyo, menyatakan tidak akan mengajukan izin usaha pertambangan batubara. KWI menilai bahwa pengelolaan tambang batubara bukan ranah mereka dan fokus mereka adalah pada pelayanan umat.
"Saya tidak tahu kalau ormas-ormas yang lain ya, tetapi di KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu karena bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya," kata Kardinal Suharyo usai bersilaturahmi di Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Jalan DI Panjaitan, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom menilai pemberian IUP kepada ormas keagamaan oleh Jokowi adalah bentuk komitmen untuk melibatkan rakyat dalam mengelola kekayaan alam. Kebijakan ini juga menunjukkan penghargaan kepada ormas yang telah berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Namun, Gomar mengingatkan bahwa mengelola tambang tidak mudah. Ormas keagamaan memiliki keterbatasan, sedangkan dunia tambang sangat kompleks. Ia mewanti-wanti agar ormas keagamaan tidak mengesampingkan tugas utamanya dalam membina umat dan tidak terjebak dalam mekanisme pasar. Yang paling penting, ormas keagamaan tidak boleh tersandera oleh kepentingan yang dapat melemahkan daya kritis dan suara profetik mereka.
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
Ormas keagamaan lainnya yang menolak IUP adalah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Ephorus HKBP, Pendeta Robinson Butarbutar menjelaskan bahwa keputusan HKBP untuk menolak keterlibatan dalam izin tambang itu didasarkan pada Konfesi HKBP tahun 1996.
“Kami dengan segala kerendahan hati menyatakan bahwa HKBP tidak akan melibatkan dirinya sebagai Gereja untuk bertambang,” kata Ephorus dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Sabtu, 8 Juni 2024.
Robinson menyebut Konfesi HKBP tahun 1996 menetapkan bahwa HKBP memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan dari eksploitasi manusia atas nama pembangunan. Eksploitasi sumber daya alam, menurut Robinson, telah terbukti menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan dan pemanasan global yang tidak terkendali.
Ia juga mengutip sejumlah ayat Alkitab yang menyatakan bahwa melestarikan lingkungan adalah tanggung jawab manusia.
“Dengan ini: Kita menyaksikan tanggung jawab manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah supaya manusia itu dapat bekerja sehat, dan sejahtera (Mazmur 8:4-10). Kita menentang setiap kegiatan yang merusak lingkungan seperti membakar dan menebang pohon di hutan atau hutan belantara (Ulangan 5:20;19-30),” bunyi beberapa ayat yang dikutip Robinson.
Selain menolak terlibat dalam aktivitas tambang, HKBP juga mendesak pemerintah untuk menindak tegas para penambang yang melanggar aturan lingkungan. Mereka menegaskan bahwa setiap penambangan harus dilakukan dengan mematuhi regulasi yang bertujuan melindungi lingkungan dari kerusakan.
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI)
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI) tidak akan mendaftar untuk Izin Usaha Pertambangan setelah pemerintah memperbolehkan ormas keagamaan mengelola usaha tambang. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, mengatakan pemberian IUP kepada ormas keagamaan memang bertujuan baik, yakni agar ormas keagamaan dilibatkan dalam proses pembangunan.
“Untuk Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah sendiri belum ada rencana untuk mendaftar terkait dengan izin pengelolaan pertambangan,” kata TGB dalam pesan suara kepada Tempo, Ahad, 9 Juni 2024.
TGB merasa NWDI tidak memiliki kemampuan dan manajemen untuk mengurus usaha pertambangan di Indonesia. Di samping itu, pertimbangan lain NWDI menolak karena maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat untuk kemaslahatan umat) meminta agar manusia juga menjaga lingkungan dari kerusakan.
“Pengelolaan lingkungan itu menjadi bagian dari tujuan utama syariat. Artinya agama itu sangat ‘concern’ kepada pemeliharaan lingkungan,” ujar TGB.
TGB menilai saat ini masih banyak masalah dalam pertambangan tanah air. Dalam beberapa hari terakhir, NWDI telah mengkaji untuk melihat pertambangan mana yang tidak berdampak buruk atau merusak lingkungan setelah dieksploitasi. Namun, NWDI tidak menemukan wilayah pascapertambangan yang lingkungannya pulih kembali. Sehingga hal ini menjadi perhatian NWDI untuk tidak menerima tawaran IUP.
“Yang kami lihat justru pascapertambangan itu daerah-daerah yang kaya dengan tambang tersebut, kemudian menjadi daerah yang bermasalah dengan lingkungan. Artinya degradasi lingkungannya luar biasa dan ekosistem kehidupan juga sangat terganggu,” ujar TGB.
HATTA MUARABAGJA | MYESHA FATINA RACHMAN I SAPTO YUNUS I DEVY ARNIS | MICHELLE GABRIELA | BAGUS PRIBADI | HENDRIK KHOIRUL